Ditangkap di China, Anggoro pernah buron ke Singapura
A
A
A
Sindonews.com - Anggoro Widjojo, pemilik PT Masaro Radiocom sekaligus tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan (Dephut) tahun anggaran 2006-2007 yang sudah buron sejak 2008 akhirnya dibekuk Komisi Pemberantasan Korupsi bersama Kepolisian Zhenzhen, China.
Penangkapan Anggoro bermula dari upaya pemalsuan dokumen identitas yang dilakukannya di Zhenzhen. Kepolisian Zhenzhen mengetahui pemalsuan itu kemudian menangkapnya. Tim KPK sebenarnya sudah mengejar Anggoro dan mendeteksinya di Hongkong dan Zhenzhen.
"Pas ditangkap, polisi China langsung berkoordinasi dengan KPK. Kemudian Anggoro dibawa ke Guangzho untuk dilakukan pemeriksaan dokumen oleh Kedutaan Besar RI (KBRI) dan Imigrasi," ujar sumber KPK, Kamis (30/1/14) malam.
Saudara kandung Anggodo itu buron dan memalsukan dokumen identitas karena dia butuh paspor untuk pindah-pindah tempat. Dia bahkan memakai nama Indonesia.
"AW pernah buron ke Singapura, Hongkong, dan domisili lama di Zhenzhen, China. KPK pernah nangkap tapi gagal saat di Zhenzhen," tandasnya.
Anggoro buron ke luar negeri saat kasusnya masih dalam tahapan penyelidikan atau sesaat setelah KPK menggeledah kantor perusahaanya pada pertengahan 2008.
Kasus Anggoro ini meledak menjadi skandal besar di antara KPK, Mabes Polri dan Kejaksaan Agung setelah adiknya, Anggodo Widjojo berusaha mempengaruhi penyidik Polri dan memperkarakan pimpinan KPK waktu itu Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Inilah bagian awal dari skandal Cicak Vs Buaya Jilid I.
Anggodo bersama Presiden Direktur (Presdir) PT Masaro Radiocom Putranefo Alexander Prayugo, mantan anggota Komisi IV DPR Fraksi Partai Golkar Azwar Chesputra, Hilman Indra (Fraksi PBB), dan Fahri Andi Leluasa (Fraksi Golkar) telah divonis bersalah dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta.
Putranefo terbukti telah memperkaya diri sendiri, PT Masaro Radiokom dan orang lain dalam proyek SKRT yang dimenangkan perusahaan tersebut. Rinciannya, memperkaya mantan Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan Dephut Wandojo Siswanto sebesar Rp20 juta dan USD10.000, mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dephut Boen Mochtar Purnama sebesar USD20.000, dan PT Masaro Radiokom sebesar Rp89,3 miliar.
Dalam kasus ini, Azwar, Hilman, dan Fahri Andi divonis terbukti menerima uandalam rangka memuluskan persetujuan anggaran proyek SKRT yang dimenangkan PT Masaro Radiokom. Azwar menerima sebesar 5.000 dolar Singapura, Fahri 30.000 dolar Singapura, dan Hilman sebesar 140.000 Singapura. Uang pelicin itu berasal dari Anggoro, yang didistribusikan melalui mantan Ketua Komisi IV Yusuf Erwin Faisal.
KPK juga pernah memeriksa sejumlah saksi untuk tersangka Anggoro di antaranya mantan Menteri Kehutanan MS Ka'ban.
Penangkapan Anggoro bermula dari upaya pemalsuan dokumen identitas yang dilakukannya di Zhenzhen. Kepolisian Zhenzhen mengetahui pemalsuan itu kemudian menangkapnya. Tim KPK sebenarnya sudah mengejar Anggoro dan mendeteksinya di Hongkong dan Zhenzhen.
"Pas ditangkap, polisi China langsung berkoordinasi dengan KPK. Kemudian Anggoro dibawa ke Guangzho untuk dilakukan pemeriksaan dokumen oleh Kedutaan Besar RI (KBRI) dan Imigrasi," ujar sumber KPK, Kamis (30/1/14) malam.
Saudara kandung Anggodo itu buron dan memalsukan dokumen identitas karena dia butuh paspor untuk pindah-pindah tempat. Dia bahkan memakai nama Indonesia.
"AW pernah buron ke Singapura, Hongkong, dan domisili lama di Zhenzhen, China. KPK pernah nangkap tapi gagal saat di Zhenzhen," tandasnya.
Anggoro buron ke luar negeri saat kasusnya masih dalam tahapan penyelidikan atau sesaat setelah KPK menggeledah kantor perusahaanya pada pertengahan 2008.
Kasus Anggoro ini meledak menjadi skandal besar di antara KPK, Mabes Polri dan Kejaksaan Agung setelah adiknya, Anggodo Widjojo berusaha mempengaruhi penyidik Polri dan memperkarakan pimpinan KPK waktu itu Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Inilah bagian awal dari skandal Cicak Vs Buaya Jilid I.
Anggodo bersama Presiden Direktur (Presdir) PT Masaro Radiocom Putranefo Alexander Prayugo, mantan anggota Komisi IV DPR Fraksi Partai Golkar Azwar Chesputra, Hilman Indra (Fraksi PBB), dan Fahri Andi Leluasa (Fraksi Golkar) telah divonis bersalah dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta.
Putranefo terbukti telah memperkaya diri sendiri, PT Masaro Radiokom dan orang lain dalam proyek SKRT yang dimenangkan perusahaan tersebut. Rinciannya, memperkaya mantan Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan Dephut Wandojo Siswanto sebesar Rp20 juta dan USD10.000, mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dephut Boen Mochtar Purnama sebesar USD20.000, dan PT Masaro Radiokom sebesar Rp89,3 miliar.
Dalam kasus ini, Azwar, Hilman, dan Fahri Andi divonis terbukti menerima uandalam rangka memuluskan persetujuan anggaran proyek SKRT yang dimenangkan PT Masaro Radiokom. Azwar menerima sebesar 5.000 dolar Singapura, Fahri 30.000 dolar Singapura, dan Hilman sebesar 140.000 Singapura. Uang pelicin itu berasal dari Anggoro, yang didistribusikan melalui mantan Ketua Komisi IV Yusuf Erwin Faisal.
KPK juga pernah memeriksa sejumlah saksi untuk tersangka Anggoro di antaranya mantan Menteri Kehutanan MS Ka'ban.
(hyk)