Ego MK bikin pemilu jadi bencana
A
A
A
Sindonews.com - Pengabulan gugatan uji materi terhadap Undang-undang (UU) Pemilu oleh Mahkamah Konstitusi (MK) menimbulkan keprihatinan pakar hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Dr Sudjito SH MSi.
Menurut Sudjito, pengabulan tersebut menjadikan UU Pemilu cacat dan mampu menimbulkan bencana hukum pada Pemilu 2014.
"Persetujuan MK atas penyelenggaraan Pemilu Legislatif dan Presiden harus berbarengan, jelas menganulir pasal dalam UU Pemilu yang berkaitan dengan waktu pemilu. Jika pasalnya saja dinilai cacat, tentu UU Pemilu menjadi cacat secara hukum. Tapi UU cacat ini masih akan digunakan sebagai landasan pelaksanaan Pemilu 2014. Ini bencana hukum," tutur Sudjito, Kamis (30/1/2014).
Ditemui di Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM, Sudjito menuturkan, keputusan yang diambil lembaga konstitusi tersebut mencerminkan MK hanya berbuat untuk diri sendiri. MK kurang memperhatikan dampak sosial politik akibat keputusannya. Dengan UU yang cacat, keinginan melaksanakan pemilu yang damai tidak akan terwujud.
"Menurut saya pada MK ada ego dan kecongkakan kelembagaan. Dalam hukum, begitu gugatan dikabulkan seharusnya UU yang digugat ikut tidak berlaku. Tapi nyatanya keputusan baru berlaku untuk Pemilu 2019 dengan alasan Pemilu 2014 sudah direncanakan. Ini seakan mempermainkan hukum," imbuhnya.
Menurut Kepala PSP UGM ini, kemungkinan besar usai penyelenggaraan Pemilu 2014 akan banyak bermunculan gugatan-gugutan hasil pemilu. Dengan dasar penyelenggaraan yang cacat, tak heran jika banyak pihak yang melakukan dekonstruksi hukum guna mengobati ketidakpuasannya atas hasil pemilu mendatang.
"Setelah pemilu pasti banyak gugatan yang masuk ke MK. Apalagi MK sudah membuat program bimbingan teknis tentang membuat gugatan pada MK yang baik dan benar. Bimbingan ini dilakukan bagi parpol, calon legislatif dan kalangan lainnya yang akan terlibat dalam pemilu dengan alasan pendidikan politik. Tapi jangan salah, usai pemilu bisa jadi meja hakim-hakim MK akan penuh dengan berkas gugatan," tuturnya.
Seperti diketahui, putusan MK atas Pemilu serentak 2019 sebenarnya telah diputuskan sejak 26 Maret 2013, namun baru diucapkan kepada publik pada 23 Januari 2014. Keputusan tersebut sudah bersifat final dan mengikat.
Di lain sisi, Sudjito pun berharap masyarakat bisa selalu waspada terhadap berbagai kerawanan Pemilu 2014. Kerawanan pemilu antara lain bisa terjadi pada masa kampanye, pemungutan suara dan pengumuman pemenang. Tahap kampanye merupakan tahap paling rawan dengan kemungkinan terjadinya bentrokan antara pendukung partai politik.
"Kampanye harusnya digunakan untuk penyampaian visi, misi dan program partai bukan untuk membuat antipati masyarakat. Tahap pemungutan suara dan pengumuman pemenang juga menjadi tahap krusial jika tidak dijalankan secara jujur dan transparan," ujarnya.
Menurut Sudjito, pengabulan tersebut menjadikan UU Pemilu cacat dan mampu menimbulkan bencana hukum pada Pemilu 2014.
"Persetujuan MK atas penyelenggaraan Pemilu Legislatif dan Presiden harus berbarengan, jelas menganulir pasal dalam UU Pemilu yang berkaitan dengan waktu pemilu. Jika pasalnya saja dinilai cacat, tentu UU Pemilu menjadi cacat secara hukum. Tapi UU cacat ini masih akan digunakan sebagai landasan pelaksanaan Pemilu 2014. Ini bencana hukum," tutur Sudjito, Kamis (30/1/2014).
Ditemui di Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM, Sudjito menuturkan, keputusan yang diambil lembaga konstitusi tersebut mencerminkan MK hanya berbuat untuk diri sendiri. MK kurang memperhatikan dampak sosial politik akibat keputusannya. Dengan UU yang cacat, keinginan melaksanakan pemilu yang damai tidak akan terwujud.
"Menurut saya pada MK ada ego dan kecongkakan kelembagaan. Dalam hukum, begitu gugatan dikabulkan seharusnya UU yang digugat ikut tidak berlaku. Tapi nyatanya keputusan baru berlaku untuk Pemilu 2019 dengan alasan Pemilu 2014 sudah direncanakan. Ini seakan mempermainkan hukum," imbuhnya.
Menurut Kepala PSP UGM ini, kemungkinan besar usai penyelenggaraan Pemilu 2014 akan banyak bermunculan gugatan-gugutan hasil pemilu. Dengan dasar penyelenggaraan yang cacat, tak heran jika banyak pihak yang melakukan dekonstruksi hukum guna mengobati ketidakpuasannya atas hasil pemilu mendatang.
"Setelah pemilu pasti banyak gugatan yang masuk ke MK. Apalagi MK sudah membuat program bimbingan teknis tentang membuat gugatan pada MK yang baik dan benar. Bimbingan ini dilakukan bagi parpol, calon legislatif dan kalangan lainnya yang akan terlibat dalam pemilu dengan alasan pendidikan politik. Tapi jangan salah, usai pemilu bisa jadi meja hakim-hakim MK akan penuh dengan berkas gugatan," tuturnya.
Seperti diketahui, putusan MK atas Pemilu serentak 2019 sebenarnya telah diputuskan sejak 26 Maret 2013, namun baru diucapkan kepada publik pada 23 Januari 2014. Keputusan tersebut sudah bersifat final dan mengikat.
Di lain sisi, Sudjito pun berharap masyarakat bisa selalu waspada terhadap berbagai kerawanan Pemilu 2014. Kerawanan pemilu antara lain bisa terjadi pada masa kampanye, pemungutan suara dan pengumuman pemenang. Tahap kampanye merupakan tahap paling rawan dengan kemungkinan terjadinya bentrokan antara pendukung partai politik.
"Kampanye harusnya digunakan untuk penyampaian visi, misi dan program partai bukan untuk membuat antipati masyarakat. Tahap pemungutan suara dan pengumuman pemenang juga menjadi tahap krusial jika tidak dijalankan secara jujur dan transparan," ujarnya.
(hyk)