Masyarakat ekonomi ASEAN dan ketakutan kita
A
A
A
POTRET kecemasan kita menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) barangkali tergambar di Kota Tangerang Selatan. Di sana, menjelang akhir September 2013, puluhan dokter yang bekerja di Rumah Sakit Umum (RSU) Kota Tangerang Selatan itu melakukan aksi unjuk rasa ke kantor wali kota.
Mereka di antaranya menyuarakansuaramenolakkehadiran dokter-dokter asing asal Malaysia yang bekerja di rumah sakit tersebut. Berapa banyak dokter asing yang bekerja—disebutkan, untuk melakukan transfer knowledge—di RSU tersebut? Hanya dua! Keduanya adalah dokter spesialis bidang ortopedi.
Reaktif dan inkonsistensi
Respons yang dilakukan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan juga barangkali mewakili gambaran sikap reaktif kita dalam menanggapi permasalahan tersebut. Dinas Kesehatan kota tersebut memecat lima dokter yang melakukan aksi unjuk rasa tersebut karena dianggap melakukan tindak indisipliner dengan meninggalkan tugas. Sementara dokter-dokter lain yang ikut melakukan aksi unjuk rasa mendapat surat peringatan pertama dan kedua.
Jika kedatangan dua dokter asing itu saja sudah membuat ramai Tangerang Selatan, apalagi bila saat era MEA resmi diberlakukan pada 2015? Saya membaca diberbagai media online, menurut perkiraan Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PFKI), sebanyak 870 dokter asing siap menyerbu pasar Indonesia saat MEA berlaku. Tak diberitakan berapa banyak dokter kita yang punya nyali sebaliknya, berpraktik di negeri jiran. Itu baru praktik kedokteran untuk memberikan layanan kesehatan primer, belum yang lebih advance.
Jika ditambah dokter-dokter spesialis, jumlahnya pasti lebih dari itu. Bukankah kita sering mendengar “dokter-dokter kita jauh lebih hebat dari dokter lulusan negeri tetangga”, atau, “mereka itu dulu belajarnya juga di sini”.
Coba saja tengok fakultas-fakultas kedokteran di Jakarta, Yogyakarta, dan Medan. Banyak sekali mahasiswa asal Malaysia. Dalam soal liberalisasi ekonomi dan perdagangan, pemerintah kita memang sering mengeluarkan kebijakan yang saling bertolak belakang.
Tak mengherankan kalau praktiknya di lapangan menjadi kurang memotivasi kita untuk membangun keunggulan daya saing. Kita dikenal sangat agresif dalam melakukan liberalisasi pasar, namun belakangan sering terhenyak karena kita ternyata belum sepenuhnya siap dan dipersiapkan. Kasus para dokter di Tangerang Selatan hanyalah salah satu contoh.
Kasus-kasus serupa masih sangat banyak. Dalam industri perbankan, kita dengan mudah menemukan cabang-cabang bank asing di pusat-pusat kota. Tapi, cobalah temukan cari cabang bank kita yang bisa menembus negara-negara tetangga. Sulit.
Kolega saya dari kalangan perbankan mengeluhkan, bukan saja sulit membuka outlet, melainkan juga sekadar membangun jaringan mesin ATM di sana. Padahal, negara tersebut banyak mempekerjakan tenaga kerja Indonesia dan sangat dimudahkan menjaring nasabah di sini. Di pusat-pusat perbelanjaan dengan mudah kita menemukan berbagai produk impor— mulai dari produk manufaktur sampai produk pertanian. Kita kewalahan menghadapi serbuan produk-produk garmen dan tekstil dari China.
Begitu pula jeruk brastagi atau jeruk pontianak yang kalah bersaing dengan jeruk ponkam yang diimpor dari China. Menjelang Imlek, jeruk santang selalu menyerbu pusat-pusat perbelanjaan kita. Kalau kita baca di berbagai media, sikap pemerintah sendiri terbelah.
Menteri Perindustrian MS Hidayat mengaku gelisah dan gugup menghadapi era MEA. Persisnya, ia merasa Indonesia belum siap menghadapi MEA. Salah satu penyebabnya adalah mahalnya biaya logistik kita yang masih mencapai 16% dari total biaya produksi.
Padahal, di negara-negara lain biasanya biaya logistik hanya mencapai 4-10% dari total biaya. Mahalnya biaya logistik itulah yang menyebabkan produk- produk Indonesia bisa kalah bersaing dengan produk dari negara-negara tetangga.
Kita semua tentu tahu penyebab tingginya biaya logistik di negeri ini. Pungli, korupsi, tak ada keberanian memutuskan, dan terlalu takut menghadapi preman. Selain itu, kondisi infrastruktur dan manajemen kita juga yang buruk. Siapa yang tidak pusing menghadapi kemacetan yang menggilaketikaangin barat dan musim hujan tiba.
Petarung bukan anak rumahan
Tapi, saya senang juga mendengar ada menteri kita yang optimistis walau baru hanya semampu melihat bahwa MEA bukan ancaman, melainkan peluang. Karena dalam menghadapi MEA, saya menilai kondisi kita sebetulnya tidak jelek-jelek amat.
Perusahaan semen kita, PT Semen Indonesia Tbk, sudah masuk ke pasar negara tetangga, Vietnam dan Kamboja, dengan mengakuisisi pabrik semen yang ada di sana. Tahun ini Semen Indonesia menargetkan mengakuisisi pabrik semen di Myanmar.
Kita tahu sejak 2013 perusahaan semen ini sudah menjadi yang terbesar di Asia Tenggara, mengalahkan kompetitornya dari Thailand, Siam Cement. Jika pada 2013 volume produksi Siam Cement mencapai 23 juta ton per tahun, Semen Indonesia sudah 27 juta ton.
Dalam industri penerbangan, usaha patungan kita juga jagoan. Maskapai penerbangan Lion Air melebarkan sayapnya hingga ke China, India, dan Bangladesh. Lion Air mendirikan perusahaan penerbangan Malindo Air, berpatungan dengan perusahaan asal Malaysia.
Ketika airlines Singapura dan Malaysia merugi, Garuda Indonesia justru mendapat pujian dari Skytrax. Dalam industri jasa konstruksi kita juga hebat. PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) misalnya jauh sebelumnya sudah dipercaya ikut membangun jalan tol di Aljazair, flyover di pusat Kota Kuala Lumpur, Malaysia, jembatan di Sungai Mekong, Vietnam, dan gedung bertingkat di Manila, Filipina. WIKA kini sedang bersiap-siap melanjutkan ekspansinya ke Myanmar dan Timor Leste.
Selain potret-potret tersebut, secara makro kondisi kita juga membaik. Saya cek ini dari data Global Competitiveness Index (GCI) yang setiap tahun selalu dikeluarkan oleh World Economic Forum. Memang tahun lalu kita sempat turun dari posisi ke-46 menjadi ke-50.
Namun, data terakhir yang dirilis GCI menyebutkan peringkat kita naik lumayan tajam, menjadi ke-38. Meski begitu, kita tak boleh ge-er dulu. Meski naik, peringkat daya saing kita masih kalah dibandingkan dengan Malaysia (peringkat ke-24), Thailand (peringkat ke-37), dan Brunei (ke-26).
Saya tak menyebut Singapura karena peringkatnya jauh sekali di atas kita. Singapura menempati peringkat kedua dunia. Itulah modal kita menghadapi MEA. Masih jauh dari memuaskan, tetapi juga tidak jelek- jelek amat.
Maka itu, ketimbang sibuk dengan ketakutan dan merengek meminta pemerintah melakukan berbagai proteksi regulasi, lebih baik kita terus mengasah daya saing dengan memperbaiki diri. Itu jauh lebih sehat. Menjadi petarung itu butuh gizi dan nyali, bukan menjadi “anak mami” yang selalu merengek dan minta perlindungan. Perantau yang menyerang pasar asing jauh lebih hebat daripada anak rumahan yang gampang merajuk.
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
Mereka di antaranya menyuarakansuaramenolakkehadiran dokter-dokter asing asal Malaysia yang bekerja di rumah sakit tersebut. Berapa banyak dokter asing yang bekerja—disebutkan, untuk melakukan transfer knowledge—di RSU tersebut? Hanya dua! Keduanya adalah dokter spesialis bidang ortopedi.
Reaktif dan inkonsistensi
Respons yang dilakukan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan juga barangkali mewakili gambaran sikap reaktif kita dalam menanggapi permasalahan tersebut. Dinas Kesehatan kota tersebut memecat lima dokter yang melakukan aksi unjuk rasa tersebut karena dianggap melakukan tindak indisipliner dengan meninggalkan tugas. Sementara dokter-dokter lain yang ikut melakukan aksi unjuk rasa mendapat surat peringatan pertama dan kedua.
Jika kedatangan dua dokter asing itu saja sudah membuat ramai Tangerang Selatan, apalagi bila saat era MEA resmi diberlakukan pada 2015? Saya membaca diberbagai media online, menurut perkiraan Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PFKI), sebanyak 870 dokter asing siap menyerbu pasar Indonesia saat MEA berlaku. Tak diberitakan berapa banyak dokter kita yang punya nyali sebaliknya, berpraktik di negeri jiran. Itu baru praktik kedokteran untuk memberikan layanan kesehatan primer, belum yang lebih advance.
Jika ditambah dokter-dokter spesialis, jumlahnya pasti lebih dari itu. Bukankah kita sering mendengar “dokter-dokter kita jauh lebih hebat dari dokter lulusan negeri tetangga”, atau, “mereka itu dulu belajarnya juga di sini”.
Coba saja tengok fakultas-fakultas kedokteran di Jakarta, Yogyakarta, dan Medan. Banyak sekali mahasiswa asal Malaysia. Dalam soal liberalisasi ekonomi dan perdagangan, pemerintah kita memang sering mengeluarkan kebijakan yang saling bertolak belakang.
Tak mengherankan kalau praktiknya di lapangan menjadi kurang memotivasi kita untuk membangun keunggulan daya saing. Kita dikenal sangat agresif dalam melakukan liberalisasi pasar, namun belakangan sering terhenyak karena kita ternyata belum sepenuhnya siap dan dipersiapkan. Kasus para dokter di Tangerang Selatan hanyalah salah satu contoh.
Kasus-kasus serupa masih sangat banyak. Dalam industri perbankan, kita dengan mudah menemukan cabang-cabang bank asing di pusat-pusat kota. Tapi, cobalah temukan cari cabang bank kita yang bisa menembus negara-negara tetangga. Sulit.
Kolega saya dari kalangan perbankan mengeluhkan, bukan saja sulit membuka outlet, melainkan juga sekadar membangun jaringan mesin ATM di sana. Padahal, negara tersebut banyak mempekerjakan tenaga kerja Indonesia dan sangat dimudahkan menjaring nasabah di sini. Di pusat-pusat perbelanjaan dengan mudah kita menemukan berbagai produk impor— mulai dari produk manufaktur sampai produk pertanian. Kita kewalahan menghadapi serbuan produk-produk garmen dan tekstil dari China.
Begitu pula jeruk brastagi atau jeruk pontianak yang kalah bersaing dengan jeruk ponkam yang diimpor dari China. Menjelang Imlek, jeruk santang selalu menyerbu pusat-pusat perbelanjaan kita. Kalau kita baca di berbagai media, sikap pemerintah sendiri terbelah.
Menteri Perindustrian MS Hidayat mengaku gelisah dan gugup menghadapi era MEA. Persisnya, ia merasa Indonesia belum siap menghadapi MEA. Salah satu penyebabnya adalah mahalnya biaya logistik kita yang masih mencapai 16% dari total biaya produksi.
Padahal, di negara-negara lain biasanya biaya logistik hanya mencapai 4-10% dari total biaya. Mahalnya biaya logistik itulah yang menyebabkan produk- produk Indonesia bisa kalah bersaing dengan produk dari negara-negara tetangga.
Kita semua tentu tahu penyebab tingginya biaya logistik di negeri ini. Pungli, korupsi, tak ada keberanian memutuskan, dan terlalu takut menghadapi preman. Selain itu, kondisi infrastruktur dan manajemen kita juga yang buruk. Siapa yang tidak pusing menghadapi kemacetan yang menggilaketikaangin barat dan musim hujan tiba.
Petarung bukan anak rumahan
Tapi, saya senang juga mendengar ada menteri kita yang optimistis walau baru hanya semampu melihat bahwa MEA bukan ancaman, melainkan peluang. Karena dalam menghadapi MEA, saya menilai kondisi kita sebetulnya tidak jelek-jelek amat.
Perusahaan semen kita, PT Semen Indonesia Tbk, sudah masuk ke pasar negara tetangga, Vietnam dan Kamboja, dengan mengakuisisi pabrik semen yang ada di sana. Tahun ini Semen Indonesia menargetkan mengakuisisi pabrik semen di Myanmar.
Kita tahu sejak 2013 perusahaan semen ini sudah menjadi yang terbesar di Asia Tenggara, mengalahkan kompetitornya dari Thailand, Siam Cement. Jika pada 2013 volume produksi Siam Cement mencapai 23 juta ton per tahun, Semen Indonesia sudah 27 juta ton.
Dalam industri penerbangan, usaha patungan kita juga jagoan. Maskapai penerbangan Lion Air melebarkan sayapnya hingga ke China, India, dan Bangladesh. Lion Air mendirikan perusahaan penerbangan Malindo Air, berpatungan dengan perusahaan asal Malaysia.
Ketika airlines Singapura dan Malaysia merugi, Garuda Indonesia justru mendapat pujian dari Skytrax. Dalam industri jasa konstruksi kita juga hebat. PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) misalnya jauh sebelumnya sudah dipercaya ikut membangun jalan tol di Aljazair, flyover di pusat Kota Kuala Lumpur, Malaysia, jembatan di Sungai Mekong, Vietnam, dan gedung bertingkat di Manila, Filipina. WIKA kini sedang bersiap-siap melanjutkan ekspansinya ke Myanmar dan Timor Leste.
Selain potret-potret tersebut, secara makro kondisi kita juga membaik. Saya cek ini dari data Global Competitiveness Index (GCI) yang setiap tahun selalu dikeluarkan oleh World Economic Forum. Memang tahun lalu kita sempat turun dari posisi ke-46 menjadi ke-50.
Namun, data terakhir yang dirilis GCI menyebutkan peringkat kita naik lumayan tajam, menjadi ke-38. Meski begitu, kita tak boleh ge-er dulu. Meski naik, peringkat daya saing kita masih kalah dibandingkan dengan Malaysia (peringkat ke-24), Thailand (peringkat ke-37), dan Brunei (ke-26).
Saya tak menyebut Singapura karena peringkatnya jauh sekali di atas kita. Singapura menempati peringkat kedua dunia. Itulah modal kita menghadapi MEA. Masih jauh dari memuaskan, tetapi juga tidak jelek- jelek amat.
Maka itu, ketimbang sibuk dengan ketakutan dan merengek meminta pemerintah melakukan berbagai proteksi regulasi, lebih baik kita terus mengasah daya saing dengan memperbaiki diri. Itu jauh lebih sehat. Menjadi petarung itu butuh gizi dan nyali, bukan menjadi “anak mami” yang selalu merengek dan minta perlindungan. Perantau yang menyerang pasar asing jauh lebih hebat daripada anak rumahan yang gampang merajuk.
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
(nfl)