Tudingan miring Yusril terhadap putusan MK
A
A
A
Sindonews.com - Ketua Dewan Syuro Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra menuding kalau Mahkamah Konstitusi (MK) mendapat tekanan kuat ketika memutuskan pemilu serentak dilakukan tahun 2019.
"Bagi saya banyak misteri dengan putusan MK ini. MK seolah ditekan oleh parpol-parpol besar agar pemilu serentak baru dilaksanakan tahun 2019," ujar Yusril di akun jejaring sosial Twitter-nya, Kamis (23/1/2014) malam.
Kini, ujar Yusril, dirinya sedang mempertimbangkan, apakah akan meneruskan permohonannya atau tidak. Dirinya mengaku akan mengambil keputusan setelah menimbang-nimbang dengan seksama.
"Kalau permohonan saya dengan Effendi Gazali banyak kesamaannya, mengapa MK tak satukan saja pembacaan putusan, agar dua permohonan sama-sama menjadi pertimbangan," katanya.
Pria yang juga sebagai pakar hukum tata negara ini mengaku sudah membaca dengan seksama putusan MK atas uji Undang-Undang Pilpres yang dimohonkan Effendi Gazali.
"Intinya seluruh pasal-pasal UU Pilpres yang dimohon uji dinyatakan MK bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak punya kekuatan hukum mengikat," kata calon presiden (Capres) dari PBB ini.
MK, ujar dia, dalam pertimbangannya menyatakan bahwa pemilu serentak baru berlaku untuk Pemilu 2019 dan seterusnya, bukan untuk Pemilu 2014.
"Meski pasal-pasal UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak punya kekuatan hukum mengikat, namun pasal-pasal tersebut tetap sah digunakan untuk pemilu 2014," ungkapnya.
MK, lanjut dia, juga mengatakan bahwa dengan putusan tentang pemilu serentak yang dimohonkan Effendi Gazali, maka perlu UU Pileg maupun Pilpres untuk dilaksanakan dan seterusnya.
Lebih lanjut dia menuturkan, itu disebabkan Effendi tidak memberikan jalan keluar setelah pasal-pasal UU Pilpres yang diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Dengan demikian, sambung dia, setelah dinyatakan bertentangan dan tidak punya kekuatan hukum mengikat, akan terjadi kevakuman hukum.
"Dalam permohonan saya, saya menunjukkan jalan keluar itu. Saya minta MK menafsirkan secara langsung maksud pasal 6a ayat 2 dan pasal 22e UUD 1945," kata dia.
Dia menambahkan, jika MK tafsirkan maksud pasal 6 ayat 2 parpol peserta pemilu mencalonkan pasangan capres sebelum Pileg, maka tak perlu UU lagi untuk melaksanakannya.
"Kalau MK tafsirkan pasal 22e ayat 1 bahwa pemilu dilaksanakan sekali dalam setahun berarti Pileg dan Pilpres disatukan, tak perlu ubah UU untuk melaksanakannya," sambung dia.
Maka, tutur Yusril, penyatuan Pileg dan Pilpres dilaksanakan pada tahun 2014 ini juga.
"Namun apa boleh buat MK sudah ambil keputusan rupanya sejak setahun lalu, namun baru hari ini putusannya dibacakan," pungkasnya.
Baca juga: Eva Sundari: Yusril tak perlu sebar psyway
"Bagi saya banyak misteri dengan putusan MK ini. MK seolah ditekan oleh parpol-parpol besar agar pemilu serentak baru dilaksanakan tahun 2019," ujar Yusril di akun jejaring sosial Twitter-nya, Kamis (23/1/2014) malam.
Kini, ujar Yusril, dirinya sedang mempertimbangkan, apakah akan meneruskan permohonannya atau tidak. Dirinya mengaku akan mengambil keputusan setelah menimbang-nimbang dengan seksama.
"Kalau permohonan saya dengan Effendi Gazali banyak kesamaannya, mengapa MK tak satukan saja pembacaan putusan, agar dua permohonan sama-sama menjadi pertimbangan," katanya.
Pria yang juga sebagai pakar hukum tata negara ini mengaku sudah membaca dengan seksama putusan MK atas uji Undang-Undang Pilpres yang dimohonkan Effendi Gazali.
"Intinya seluruh pasal-pasal UU Pilpres yang dimohon uji dinyatakan MK bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak punya kekuatan hukum mengikat," kata calon presiden (Capres) dari PBB ini.
MK, ujar dia, dalam pertimbangannya menyatakan bahwa pemilu serentak baru berlaku untuk Pemilu 2019 dan seterusnya, bukan untuk Pemilu 2014.
"Meski pasal-pasal UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak punya kekuatan hukum mengikat, namun pasal-pasal tersebut tetap sah digunakan untuk pemilu 2014," ungkapnya.
MK, lanjut dia, juga mengatakan bahwa dengan putusan tentang pemilu serentak yang dimohonkan Effendi Gazali, maka perlu UU Pileg maupun Pilpres untuk dilaksanakan dan seterusnya.
Lebih lanjut dia menuturkan, itu disebabkan Effendi tidak memberikan jalan keluar setelah pasal-pasal UU Pilpres yang diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Dengan demikian, sambung dia, setelah dinyatakan bertentangan dan tidak punya kekuatan hukum mengikat, akan terjadi kevakuman hukum.
"Dalam permohonan saya, saya menunjukkan jalan keluar itu. Saya minta MK menafsirkan secara langsung maksud pasal 6a ayat 2 dan pasal 22e UUD 1945," kata dia.
Dia menambahkan, jika MK tafsirkan maksud pasal 6 ayat 2 parpol peserta pemilu mencalonkan pasangan capres sebelum Pileg, maka tak perlu UU lagi untuk melaksanakannya.
"Kalau MK tafsirkan pasal 22e ayat 1 bahwa pemilu dilaksanakan sekali dalam setahun berarti Pileg dan Pilpres disatukan, tak perlu ubah UU untuk melaksanakannya," sambung dia.
Maka, tutur Yusril, penyatuan Pileg dan Pilpres dilaksanakan pada tahun 2014 ini juga.
"Namun apa boleh buat MK sudah ambil keputusan rupanya sejak setahun lalu, namun baru hari ini putusannya dibacakan," pungkasnya.
Baca juga: Eva Sundari: Yusril tak perlu sebar psyway
(ysw)