Banjir Jakarta dan solusinya
A
A
A
HARAPAN warga Jakarta untuk hidup bebas dari bencana banjir tampaknya ’masih jauh panggang dari api’. Masalah klasik ibu kota negara ini tak kunjung terpecahkan, meski pemerintahan DKI Jakarta telah silih berganti. Bahkan, frekuensi dan luasan daerah yang terkena dampak banjir cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Hujan yang mengguyur Jakarta dan wilayah sekitarnya sejak sepekan terakhir telah mengakibatkan genangan air dan banjir di sejumlah wilayah DKI Jakarta. Menurut BMKG, itu hanya permulaan. Banjir yang lebih besar boleh jadi akan menyusul bersamaan dengan puncak musim hujan yang diperkirakan turun akhir Januari sampai awal Maret. Banjir memang merupakan fenomena alam yang melanda negara mana pun di dunia.
Yang membedakan kita dengan bangsa-bangsa lain yang lebih maju adalah sikap kita yang tidak pernah mau belajar dari pengalaman, dan tidak pernah tuntas dalam menyelesaikan masalah banjir. Selama ini upaya penganganannya bersifat parsial, terpilah-pilah, dan top-down. Padahal, banjir Jakarta merupakan permasalahan yang kompleks. Bukan hanya terkait dengan aspek teknis, melainkan juga nonteknis.
Akar masalah banjir
Banjir terjadi di suatu kawasan, bila masukan air yang berasal dari hujan di kawasan tersebut ditambah dengan air hujan yang berasal dari kawasan hulu, jumlahnya lebih besar ketimbang yang dapat teralirkan ke laut dan yang terserap ke dalam tanah pada periode waktu tertentu. Tak heran, bencana banjir besar melanda Jakarta terjadi manakala hujan lebat turun di wilayah Bogor bersamaan dengan hujan deras di Jakarta dan pasang tertinggi di laut Teluk Jakarta.
Ini biasanya terjadi sekali dalam lima tahun, seperti banjir besar pada tahun 1997, 2002, 2007, dan 2012. Maka secara keruangan (spatial), segenap faktor penyebab banjir Jakarta dapat dikelompokkan menjadi tiga: (1) yang berasal dari kawasan hulu Jakarta, (2) dari dalam wilayah DKI Jakarta, dan (3) dari laut. Fungsi hidro-orologis daerah hulu (Bopunjur/Bogor-Puncak- Cianjur) untuk menyimpan air saat hujan dan mengeluarkannya saat kemarau sudah sangat menurun, tinggal 25% dari kapasitas aslinya.
Ini tecermin dari fluktuasi debit Sungai Ciliwung yang sangat besar antara musim penghujan dan kemarau. Penyebabutamanya taklain adalah kurangnya luasan kawasan lindung dan ruang terbuka hijau (RTH). Sebagian besar kawasan lindung dan RTH di sepanjang hulu Ciliwung telah dikonversi menjadi perumahan, vila, kawasan industri, pertanian, dan peruntukan lainnya. Pada 1992, kawasan terbangun di daerah tangkapan air (catchment area) hulu Ciliwung seluas 101.363 ha, kemudian pada 2006 naik dua kali lipat lebih menjadi 225.171 ha.
Sementara itu, kawasan tidak terbangun yang pada 1992 seluas 665.035 ha berkurang menjadi 541.227 ha (Lapan, 2006). Di dalam wilayah DKI Jakarta sendiri, kemampuan 13 sungai yang membelah DKI Jakarta, BKT (Banjir Kanal Timur), BKB (Banjir Kanal Barat), dan sejumlah saluran untuk mengalirkan air hujan ke laut terus berkurang akibat beragam ulah manusia yang destruktif. Pada saat yang sama, kapasitas tanah untuk menyerap air juga semakin terpangkas.
Ini disebabkan oleh kian menyusutnya daerah resapan air, situ, RTH, dan pemadatan tanah akibat semakin masifnya pembangunan gedung-gedung perkantoran, mal, perumahan, apartemen, pabrik, jalan, dan infrastruktur lainnya. Saat ini luas keseluruhan RTH hanya 9%, sedangkan idealnya 30% dari total luas wilayah DKI. Fakta bahwa sekitar 40% wilayah DKI berada di bawah permukaan air sungai dan laut, juga membuat Jakarta sangat rentan terhadap banjir.
Selain topografi alamiah yang rendah, terutama Jakarta Utara, banyaknya lokasi yang elevasinya di bawah permukaan laut itu juga akibat penyedotan air tanah dan aktivitas konstruksi yang masif. Sifat tanah wilayah DKI yang lunak ditambah dengan penyedotan air tanah yang tak terkendali telah menyebabkan land subsidence (penurunan muka tanah) antara 3–10 cm per tahun.
Selain itu, drainase yang buruk juga memperparah masalah banjir di Jakarta. Sementara itu, perubahan iklim global telah mengakibatkan permukaan laut meningkat, curah hujan dengan intensitas yang lebih tinggi di musim basah, dan rob semakin sering menyambangi Jakarta pada waktu dan lokasi yang tidak kita inginkan.
Solusi teknis
Maka itu, penanganan masalah banjir Jakarta secara tuntas hanya dapat terwujud melalui program pengendalian banjir secara terpadu berbasis daerah aliran sungai (DAS) dari hulu sampai hilir. Mengatasi banjir di daerah hilir (wilayah DKI) tanpa membenahi daerah hulu (Bopunjur) akan sia-sia belaka. Sehubungan dengan besarnya volume air ketika musim hujan, untuk wilayah DKI Jakarta kita mesti menerapkan kombinasi tiga konsep pengelolaan tata air secara simultan.
Pertama, mengendalikan aliran air dari daerah hulu (banjir kiriman) dan membatasi volume air yang masuk wilayah Ibu Kota. Untuk itu, fungsi BKT sebagai saluran kolektor untuk menampung limpahan air dari hulu yang dialirkan melalui sisi timur Ibu Kota harus segera dioptimalkan.
Pada saat yang sama, BKB untuk menampung limpahan air yang dialirkan lewat sisi barat kota harus ditinggikan dan direhabilitasi, karena banyak yang rusak akan mengalami penyempitan dan penyumbatan.
Kedua, mengupayakan agar air hujan sebanyak mungkin diresapkan ke dalam tanah guna memperbesar cadangan air tanah, yang sangat dibutuhkan saat kemarau. Untuk itu, kita harus memperbaiki dan memperluas daerah resapan air berupa taman, hutan kota, dan RTH lainnya hingga mencapai 30% luas wilayah DKI. Danaudanau baru juga perlu dibangun, sembari merevitalisasi puluhan danau dan situ yang kondisinya sudah parah.
Kini saatnya pemerintah mewajibkan pembangunan satu sumur resapan untuk setiap rumah dan pembuatan lubang biopori sebanyak mungkin di lahanlahan terbuka di wilayah yang muka air tanah (water table) nya masih dalam. Ketiga,memperlancar aliran air dari permukaan tanah yang terbuka ke saluran-saluran drainase, sungai-sungai, dan akhirnya ke laut.
Karena hampir semua saluran drainase dan ketiga belas sungai yang mengaliri DKI Jakarta telah mengalami penyempitan dan penyumbatan, pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama secara serius dan penuh disiplin untuk membongkar bangunan di sepanjang bantaran sungai, membersihkan sampah dan sedimen dari badan sungai dan kanal-kanal.
Penyedotan air tanah harus segera dibatasi atau dilarang (moratorium). Untuk memperluas RTH dan daerah resapan air, sudah saatnya kita beralih dari pola pembangunan perumahan dan perkantoran mendatar (satu lantai) menjadi rumah dan kantor bertingkat, seperti halnya megapolitan di negara-negara maju.
Karena sistem drainase Jakarta sebagian besar merupakan warisan Belanda yang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang, sudah saatnya kita menata ulang sistem drainase sesuai dengan kondisi saat ini serta dinamika kependudukan, pembangunan, dan alam di masa mendatang.
Contohnya dengan membuat sistem drainase polder dengan pemompaan di kawasankawasan rendah (seperti Kelapa Gading dan Sunter) yang tidak memungkinkan air drainase mengalir ke sungai dan laut secara gravitasi.
Di bawah koordinasi pemerintah pusat, Pemprov DKI Jakarta harus bekerja sama dengan Pemprov Jabar dan Banten untuk merehabilitasi (menghijaukan) hutan lindung dan RTH yang telah rusak, terus membongkar vila dan bangunan lain yang dibangun di atas lahan dengan kemiringan lebih dari 45% dan di bantaran sungai, dan memperbaiki sistem pertanian sesuai asas konservasi tanah.
Dengan demikian, ekosistem hutan, RTH, dan tata guna lahan di wilayah hulu DAS Ciliwung akan mampu menahan dan menyimpan air saat musim penghujan, lalu mengeluarkannya secara teratur pada musim kemarau.
Selain itu, kita harus membangun waduk-waduk atau kolam-kolam penampung (retarding basins) di kanan-kiri Ciliwung mulai Ciawi sampai sebelum masuk wilayah DKI. Prinsip kerja pendekatan ini adalah menghadang aliran air dari hulu saat banjir, kemudian mengalirkannya ke dalam retarding basins, sebelum masuk wilayah yang hendak diselamatkan (Jakarta).
Retarding basins berupa waduk-waduk dan kolam juga bisa dimanfaatkan untuk tempat rekreasi dan pariwisata alam berupa pemancingan (sport fishing), dayung, berperahu, dan olahraga air lainnya serta menikmati keindahan panorama.
Untuk mencegah penyebab banjir dari laut berupa rob dan semakin meningkatnya permukaan laut, kita perlu membangun tanggul laut yang terintegrasi dengan reklamasi pantura Jakarta. Solusi teknis di atas hanya dapat berhasil, bila diikuti oleh perbaikan perilaku dan etos kerja aparat pemerintah, DPR, swasta, dan masyarakat secara mendasar dan revolusioner.
Semua pihak harus sadar bahwa menjinakkan banjir Jakarta merupakan tanggung jawab bersama. Tidak lagi saling melempar kesalahan. Setiap komponen bangsa harus menyumbangkan kemampuan terbaiknya dan bekerja sama secara sinergis untuk mengatasi masalah banjir secara tuntas.
PROF DR IR ROKHMIN DAHURI, MS
Guru Besar Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan IPB
Hujan yang mengguyur Jakarta dan wilayah sekitarnya sejak sepekan terakhir telah mengakibatkan genangan air dan banjir di sejumlah wilayah DKI Jakarta. Menurut BMKG, itu hanya permulaan. Banjir yang lebih besar boleh jadi akan menyusul bersamaan dengan puncak musim hujan yang diperkirakan turun akhir Januari sampai awal Maret. Banjir memang merupakan fenomena alam yang melanda negara mana pun di dunia.
Yang membedakan kita dengan bangsa-bangsa lain yang lebih maju adalah sikap kita yang tidak pernah mau belajar dari pengalaman, dan tidak pernah tuntas dalam menyelesaikan masalah banjir. Selama ini upaya penganganannya bersifat parsial, terpilah-pilah, dan top-down. Padahal, banjir Jakarta merupakan permasalahan yang kompleks. Bukan hanya terkait dengan aspek teknis, melainkan juga nonteknis.
Akar masalah banjir
Banjir terjadi di suatu kawasan, bila masukan air yang berasal dari hujan di kawasan tersebut ditambah dengan air hujan yang berasal dari kawasan hulu, jumlahnya lebih besar ketimbang yang dapat teralirkan ke laut dan yang terserap ke dalam tanah pada periode waktu tertentu. Tak heran, bencana banjir besar melanda Jakarta terjadi manakala hujan lebat turun di wilayah Bogor bersamaan dengan hujan deras di Jakarta dan pasang tertinggi di laut Teluk Jakarta.
Ini biasanya terjadi sekali dalam lima tahun, seperti banjir besar pada tahun 1997, 2002, 2007, dan 2012. Maka secara keruangan (spatial), segenap faktor penyebab banjir Jakarta dapat dikelompokkan menjadi tiga: (1) yang berasal dari kawasan hulu Jakarta, (2) dari dalam wilayah DKI Jakarta, dan (3) dari laut. Fungsi hidro-orologis daerah hulu (Bopunjur/Bogor-Puncak- Cianjur) untuk menyimpan air saat hujan dan mengeluarkannya saat kemarau sudah sangat menurun, tinggal 25% dari kapasitas aslinya.
Ini tecermin dari fluktuasi debit Sungai Ciliwung yang sangat besar antara musim penghujan dan kemarau. Penyebabutamanya taklain adalah kurangnya luasan kawasan lindung dan ruang terbuka hijau (RTH). Sebagian besar kawasan lindung dan RTH di sepanjang hulu Ciliwung telah dikonversi menjadi perumahan, vila, kawasan industri, pertanian, dan peruntukan lainnya. Pada 1992, kawasan terbangun di daerah tangkapan air (catchment area) hulu Ciliwung seluas 101.363 ha, kemudian pada 2006 naik dua kali lipat lebih menjadi 225.171 ha.
Sementara itu, kawasan tidak terbangun yang pada 1992 seluas 665.035 ha berkurang menjadi 541.227 ha (Lapan, 2006). Di dalam wilayah DKI Jakarta sendiri, kemampuan 13 sungai yang membelah DKI Jakarta, BKT (Banjir Kanal Timur), BKB (Banjir Kanal Barat), dan sejumlah saluran untuk mengalirkan air hujan ke laut terus berkurang akibat beragam ulah manusia yang destruktif. Pada saat yang sama, kapasitas tanah untuk menyerap air juga semakin terpangkas.
Ini disebabkan oleh kian menyusutnya daerah resapan air, situ, RTH, dan pemadatan tanah akibat semakin masifnya pembangunan gedung-gedung perkantoran, mal, perumahan, apartemen, pabrik, jalan, dan infrastruktur lainnya. Saat ini luas keseluruhan RTH hanya 9%, sedangkan idealnya 30% dari total luas wilayah DKI. Fakta bahwa sekitar 40% wilayah DKI berada di bawah permukaan air sungai dan laut, juga membuat Jakarta sangat rentan terhadap banjir.
Selain topografi alamiah yang rendah, terutama Jakarta Utara, banyaknya lokasi yang elevasinya di bawah permukaan laut itu juga akibat penyedotan air tanah dan aktivitas konstruksi yang masif. Sifat tanah wilayah DKI yang lunak ditambah dengan penyedotan air tanah yang tak terkendali telah menyebabkan land subsidence (penurunan muka tanah) antara 3–10 cm per tahun.
Selain itu, drainase yang buruk juga memperparah masalah banjir di Jakarta. Sementara itu, perubahan iklim global telah mengakibatkan permukaan laut meningkat, curah hujan dengan intensitas yang lebih tinggi di musim basah, dan rob semakin sering menyambangi Jakarta pada waktu dan lokasi yang tidak kita inginkan.
Solusi teknis
Maka itu, penanganan masalah banjir Jakarta secara tuntas hanya dapat terwujud melalui program pengendalian banjir secara terpadu berbasis daerah aliran sungai (DAS) dari hulu sampai hilir. Mengatasi banjir di daerah hilir (wilayah DKI) tanpa membenahi daerah hulu (Bopunjur) akan sia-sia belaka. Sehubungan dengan besarnya volume air ketika musim hujan, untuk wilayah DKI Jakarta kita mesti menerapkan kombinasi tiga konsep pengelolaan tata air secara simultan.
Pertama, mengendalikan aliran air dari daerah hulu (banjir kiriman) dan membatasi volume air yang masuk wilayah Ibu Kota. Untuk itu, fungsi BKT sebagai saluran kolektor untuk menampung limpahan air dari hulu yang dialirkan melalui sisi timur Ibu Kota harus segera dioptimalkan.
Pada saat yang sama, BKB untuk menampung limpahan air yang dialirkan lewat sisi barat kota harus ditinggikan dan direhabilitasi, karena banyak yang rusak akan mengalami penyempitan dan penyumbatan.
Kedua, mengupayakan agar air hujan sebanyak mungkin diresapkan ke dalam tanah guna memperbesar cadangan air tanah, yang sangat dibutuhkan saat kemarau. Untuk itu, kita harus memperbaiki dan memperluas daerah resapan air berupa taman, hutan kota, dan RTH lainnya hingga mencapai 30% luas wilayah DKI. Danaudanau baru juga perlu dibangun, sembari merevitalisasi puluhan danau dan situ yang kondisinya sudah parah.
Kini saatnya pemerintah mewajibkan pembangunan satu sumur resapan untuk setiap rumah dan pembuatan lubang biopori sebanyak mungkin di lahanlahan terbuka di wilayah yang muka air tanah (water table) nya masih dalam. Ketiga,memperlancar aliran air dari permukaan tanah yang terbuka ke saluran-saluran drainase, sungai-sungai, dan akhirnya ke laut.
Karena hampir semua saluran drainase dan ketiga belas sungai yang mengaliri DKI Jakarta telah mengalami penyempitan dan penyumbatan, pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama secara serius dan penuh disiplin untuk membongkar bangunan di sepanjang bantaran sungai, membersihkan sampah dan sedimen dari badan sungai dan kanal-kanal.
Penyedotan air tanah harus segera dibatasi atau dilarang (moratorium). Untuk memperluas RTH dan daerah resapan air, sudah saatnya kita beralih dari pola pembangunan perumahan dan perkantoran mendatar (satu lantai) menjadi rumah dan kantor bertingkat, seperti halnya megapolitan di negara-negara maju.
Karena sistem drainase Jakarta sebagian besar merupakan warisan Belanda yang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang, sudah saatnya kita menata ulang sistem drainase sesuai dengan kondisi saat ini serta dinamika kependudukan, pembangunan, dan alam di masa mendatang.
Contohnya dengan membuat sistem drainase polder dengan pemompaan di kawasankawasan rendah (seperti Kelapa Gading dan Sunter) yang tidak memungkinkan air drainase mengalir ke sungai dan laut secara gravitasi.
Di bawah koordinasi pemerintah pusat, Pemprov DKI Jakarta harus bekerja sama dengan Pemprov Jabar dan Banten untuk merehabilitasi (menghijaukan) hutan lindung dan RTH yang telah rusak, terus membongkar vila dan bangunan lain yang dibangun di atas lahan dengan kemiringan lebih dari 45% dan di bantaran sungai, dan memperbaiki sistem pertanian sesuai asas konservasi tanah.
Dengan demikian, ekosistem hutan, RTH, dan tata guna lahan di wilayah hulu DAS Ciliwung akan mampu menahan dan menyimpan air saat musim penghujan, lalu mengeluarkannya secara teratur pada musim kemarau.
Selain itu, kita harus membangun waduk-waduk atau kolam-kolam penampung (retarding basins) di kanan-kiri Ciliwung mulai Ciawi sampai sebelum masuk wilayah DKI. Prinsip kerja pendekatan ini adalah menghadang aliran air dari hulu saat banjir, kemudian mengalirkannya ke dalam retarding basins, sebelum masuk wilayah yang hendak diselamatkan (Jakarta).
Retarding basins berupa waduk-waduk dan kolam juga bisa dimanfaatkan untuk tempat rekreasi dan pariwisata alam berupa pemancingan (sport fishing), dayung, berperahu, dan olahraga air lainnya serta menikmati keindahan panorama.
Untuk mencegah penyebab banjir dari laut berupa rob dan semakin meningkatnya permukaan laut, kita perlu membangun tanggul laut yang terintegrasi dengan reklamasi pantura Jakarta. Solusi teknis di atas hanya dapat berhasil, bila diikuti oleh perbaikan perilaku dan etos kerja aparat pemerintah, DPR, swasta, dan masyarakat secara mendasar dan revolusioner.
Semua pihak harus sadar bahwa menjinakkan banjir Jakarta merupakan tanggung jawab bersama. Tidak lagi saling melempar kesalahan. Setiap komponen bangsa harus menyumbangkan kemampuan terbaiknya dan bekerja sama secara sinergis untuk mengatasi masalah banjir secara tuntas.
PROF DR IR ROKHMIN DAHURI, MS
Guru Besar Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan IPB
(nfl)