Tipping point, protest vote, dan social media
A
A
A
TIPPING point merupakan istilah yang digunakan oleh Malcolm Gladwell dalam bukunya untuk menggambarkan bagaimana hal kecil dapat memberikan perubahan besar. Di buku tersebut, Gladwell memberikan contoh pada produk sepatu kulit merek Hush Puppies awal 1995.
Bagaimana tidak merek Hush Puppies dari sebuah sepatu yang hampir dilupakan orang dapat berubah menjadi merek populer secara dramatis melalui sedikit perubahan desain. Fenomena ini di ilmu fisika dikenal dengan teori critical mass atau di ilmu matematika dikenal dengan nama chaos theory. Secara ilmiah, tipping point dapat dijelaskan sebagai bagaimana sesuatu hal kecil dapat berimbas menjadi hal besar dan menyebar melalui jaringan sehingga saling berpengaruh dan contagiousness/menular seperti virus.
Belum ditemukan istilah yang pas untuk fenomena seperti ini di hukum dan politik, mungkin kita bisa menggunakan istilah ‘protest vote’ yang dapat diartikan dengan ‘asal bukan…’, Seperti di tahun 1998 asal bukan Pak Harto atau Asal Jangan Foke di Pilkada DKI 2012. Di era internet sekarang ini, ternyata social network cukup berperan memberikan tipping point terutama pada fenomena hukum dan politik. Kita tentu masih ingat dengan kasus Prita atau kasus Cicak-Buaya yang melibatkan Polri dan KPK, social network berperan sekali membentuknya.
Atau kita ambil contoh fenomena yang sedang berlangsung sampai sekarang yakni Jokowi Effect. Jokowi Effect/Harapan Semu sebenarnya adalah akumulasi dari jumlah ‘like’ yang sebenarnya disebabkan oleh jumlah ‘dislike’ berlebihan kepada Fauzi Bowo pada saat Pilkada DKI 2012.
Orang-orang membutuhkan karakter yang kontra dengan karakter Fauzi Bowo dan dari semua kandidat yang ada di Pilkada DKI saat itu, Jokowi-lah orangnya. Baju kotak-kotak dan blusukanadalahsedikitperubahan desain kampanye oleh Jokowi dibandingkan dengan kandidat lainnya.
Social media seperti Facebook, Twitter, Blog, dan YouTube memiliki peran penting sebagai tools untuk memengaruhi dan menyebarluaskan informasi secara efektif. Like/DislikePilkada DKI 2012 sangat kentara pada Sentiment Index Social Media antara Jokowi-Ahok vs Fauzi-Nachrowi diambil dari Indexpolitica.com (13 Juni 2012). Pembicaraan negatif terhadap Fauzi-Nachrowi sangat dominan, namun sebaliknya Jokowi-Ahok memengaruhi secara positif. Kondisi yang hampir serupa untuk kandidat calon presiden 2014 (Indexpolitica.com, 18 Januari 2014.
Melalui sosial network, ide-ide merakyat Jokowi dipublikasikan melalui sebuah grup/komunitas di mana orang-orang yang belum mengetahui menjadi tertarik dan terinspirasi untuk ikut menyebarkan dan melakukan, termasuk di dalamnya adalah media massa seperti media online, TV, koran, dan radio. Selanjutnya, media mengekspos Jokowi Effect sehingga berlanjut ke pilpres yang waktunya tidak terlalu jauh.
Dan, kebetulan saat ini rakyat sedang kecewa dengan Presiden SBY yang dinilai lamban, full pencitraan, bikin album, membunuh teroris, ditambah lagi kader-kadernya ditangkapi oleh KPK dan sebagainya sehingga muncul kembali protest vote.
Protest vote lebih mereferensi kepada orang baru dibandingkan dengan orang lama. Maka protest vote ini tidak akan ke Prabowo, Megawati, atau Jusuf Kalla. Protes vote membutuhkan figur baru untuk pilpres dan figur tersebut untuk saat ini kembali tertuju kepada Jokowi.
Hal ini tidak akan terjadi di tahun 2019 kepada Jokowi, karena momentum Jokowi adalah sekarang ini di tahun 2014. Siapakah penantang ideal Jokowi di 2014 nanti? Politik itu adalah citra, bayangan, proyeksi yang dilihat dari kejauhan baik visual maupun persepsi, jadi tidak bicara kompetensi, program, visi, atau misi.
Dalam sebuah survei, seorang memilih kandidat A dengan alasan Y sebenarnya karena pertanyaan yang diajukan adalah pilihan berganda, alasan sebenarnya orang tersebut memilih A adalah hanya karena ‘Like/ Dislike’. Jadi harus ada tokoh yang mempunyai karakter kontra terhadap Jokowi saat ini sehingga memunculkan tipping point baru di masyarakat.
DENNY CHARTER
Direktur Eksekutif Indexpolitica @dennycharter
Bagaimana tidak merek Hush Puppies dari sebuah sepatu yang hampir dilupakan orang dapat berubah menjadi merek populer secara dramatis melalui sedikit perubahan desain. Fenomena ini di ilmu fisika dikenal dengan teori critical mass atau di ilmu matematika dikenal dengan nama chaos theory. Secara ilmiah, tipping point dapat dijelaskan sebagai bagaimana sesuatu hal kecil dapat berimbas menjadi hal besar dan menyebar melalui jaringan sehingga saling berpengaruh dan contagiousness/menular seperti virus.
Belum ditemukan istilah yang pas untuk fenomena seperti ini di hukum dan politik, mungkin kita bisa menggunakan istilah ‘protest vote’ yang dapat diartikan dengan ‘asal bukan…’, Seperti di tahun 1998 asal bukan Pak Harto atau Asal Jangan Foke di Pilkada DKI 2012. Di era internet sekarang ini, ternyata social network cukup berperan memberikan tipping point terutama pada fenomena hukum dan politik. Kita tentu masih ingat dengan kasus Prita atau kasus Cicak-Buaya yang melibatkan Polri dan KPK, social network berperan sekali membentuknya.
Atau kita ambil contoh fenomena yang sedang berlangsung sampai sekarang yakni Jokowi Effect. Jokowi Effect/Harapan Semu sebenarnya adalah akumulasi dari jumlah ‘like’ yang sebenarnya disebabkan oleh jumlah ‘dislike’ berlebihan kepada Fauzi Bowo pada saat Pilkada DKI 2012.
Orang-orang membutuhkan karakter yang kontra dengan karakter Fauzi Bowo dan dari semua kandidat yang ada di Pilkada DKI saat itu, Jokowi-lah orangnya. Baju kotak-kotak dan blusukanadalahsedikitperubahan desain kampanye oleh Jokowi dibandingkan dengan kandidat lainnya.
Social media seperti Facebook, Twitter, Blog, dan YouTube memiliki peran penting sebagai tools untuk memengaruhi dan menyebarluaskan informasi secara efektif. Like/DislikePilkada DKI 2012 sangat kentara pada Sentiment Index Social Media antara Jokowi-Ahok vs Fauzi-Nachrowi diambil dari Indexpolitica.com (13 Juni 2012). Pembicaraan negatif terhadap Fauzi-Nachrowi sangat dominan, namun sebaliknya Jokowi-Ahok memengaruhi secara positif. Kondisi yang hampir serupa untuk kandidat calon presiden 2014 (Indexpolitica.com, 18 Januari 2014.
Melalui sosial network, ide-ide merakyat Jokowi dipublikasikan melalui sebuah grup/komunitas di mana orang-orang yang belum mengetahui menjadi tertarik dan terinspirasi untuk ikut menyebarkan dan melakukan, termasuk di dalamnya adalah media massa seperti media online, TV, koran, dan radio. Selanjutnya, media mengekspos Jokowi Effect sehingga berlanjut ke pilpres yang waktunya tidak terlalu jauh.
Dan, kebetulan saat ini rakyat sedang kecewa dengan Presiden SBY yang dinilai lamban, full pencitraan, bikin album, membunuh teroris, ditambah lagi kader-kadernya ditangkapi oleh KPK dan sebagainya sehingga muncul kembali protest vote.
Protest vote lebih mereferensi kepada orang baru dibandingkan dengan orang lama. Maka protest vote ini tidak akan ke Prabowo, Megawati, atau Jusuf Kalla. Protes vote membutuhkan figur baru untuk pilpres dan figur tersebut untuk saat ini kembali tertuju kepada Jokowi.
Hal ini tidak akan terjadi di tahun 2019 kepada Jokowi, karena momentum Jokowi adalah sekarang ini di tahun 2014. Siapakah penantang ideal Jokowi di 2014 nanti? Politik itu adalah citra, bayangan, proyeksi yang dilihat dari kejauhan baik visual maupun persepsi, jadi tidak bicara kompetensi, program, visi, atau misi.
Dalam sebuah survei, seorang memilih kandidat A dengan alasan Y sebenarnya karena pertanyaan yang diajukan adalah pilihan berganda, alasan sebenarnya orang tersebut memilih A adalah hanya karena ‘Like/ Dislike’. Jadi harus ada tokoh yang mempunyai karakter kontra terhadap Jokowi saat ini sehingga memunculkan tipping point baru di masyarakat.
DENNY CHARTER
Direktur Eksekutif Indexpolitica @dennycharter
(nfl)