Perubahan iklim tanggung jawab bersama
A
A
A
UNTUK pertama kalinya dialog antara pejabat pemerintah dengan perwakilan perusahaan swasta dan masyarakat sipil diselenggarakan pada pertemuan PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC COP19).
Dialog yang diprakarsai Menteri Lingkungan Hidup Polandia selaku presiden COP19 ini membahas peluang dan hambatan yang dialami sektor swasta dan masyarakat sipil agar pemanfaatan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk menangani perubahan iklim berjalan secara maksimal.
Cuaca ekstrem yang menimbulkan bencana ekologis dan kemanusiaan yang dialami Filipina, Vietnam, dan Palau mengingatkan dunia bahwa perubahan iklim merupakan persoalan yang nyata.
Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat dunia dituntut untuk meningkatkan upaya pembangunan berkelanjutan sedemikian rupa sehingga dampak bencana yang diakibatkan perubahan iklim dapat ditekan sekecil mungkin.
Pemerintah menjalankan peran sebagai pembuat kebijakan dan peraturan dalam pengendalian sumber emisi dan dampak perubahan iklim, sementara pihak swasta dan masyarakat sipil menggunakan kebijakan tersebut dalam kegiatan mereka.
Komitmen Indonesia: Penurunan emisi 26%
Pemerintahan Presiden SBY telahmenghasilkanberbagaikebijakan terkait perubahan iklim yang dibuat untuk mendukung komitmen penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) 26% dari perkiraan skenario business as usual pada tahun 2020.
Upaya penurunan emisi dilakukan oleh kementerian/ lembaga terkait dan lebih dari 30 pemerintah daerah dalam bentuk Rencana Aksi Nasional (RAN) dan Rencana Aksi Daerah (RAD) Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca yang didukung mekanisme pemantauan dan pelaporan hasil yang transparan dan berstandar internasional.
Untuk mencapai target tersebut, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan peraturan, di antaranya mengembangkan kebijakan fiskal seperti insentif pajak dan penetapan tarif khusus untuk energi terbarukan, juga bersama Bank Indonesia menerbitkan panduan perbankan hijau (green banking).
Selain memberikan kemudahan perizinan dan mempromosikan program sertifikasi seperti standarisasi hemat energi, pemerintah juga menerbitkan kebijakan moratorium pemanfaatan hutan alam dan lahan gambut.
Berbagai peraturan dan kebijakan tersebut ditujukan untuk mengubah perilaku baik di tingkat produsen, konsumen maupun masyarakat luas. Sejumlah Rp239.5 miliar dana APBN telah dialokasikan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2011–2014 yang tersebar di 16 kementerian/ lembaga untuk pembiayaan program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Kebijakan dan peraturan terkait perubahan iklim dibuat untuk menciptakan situasi yang kondusif bagi investasi pembangunan ekonomi yang rendah emisi karbon.
Sektor swasta diharapkan mampu memanfaatkan peluang investasi tersebut dan memberikan solusi yang cost effective terhadap tantangan meningkatnya emisi karbon GRK. Selain itu, kejelasan arah, penetapan prioritas, dan batasan dalam berbagai upaya adaptasi perubahan iklim diharapkan menghasilkan keterpaduan upaya dan meningkatnya kesiapan warga masyarakat dalam menghadapi bencana dan tantangan perubahan iklim.
Setelah pemerintah menetapkan sasaran, prioritas, dan batasan dalam upaya mencegah lepasnya emisi karbon, sektor swasta kemudian dituntut untuk berkontribusi dalam mewujudkan langkah nyata melalui pengembangan teknologi baru, mobilisasi pelaku bisnis yang lain, dan melakukan kampanye perubahan perilaku masyarakat secara lebih luas. Pihak swastalah yang pada akhirnya menentukan kecepatan pelaksanaan kegiatan perubahan iklim.
Peran pemerintah menjadi terbatas dan mengecil bila para pelaku pasar bersedia melakukan internalisasi terhadap biayabiaya (eksternal) yang selama ini dibebankan kepada masyarakat dan pemerintah di berbagai negara, termasuk masyarakat miskin di kepulauan kecil.
Dengan menginternalisasi biaya kerusakan lingkungan dan kerawanan sosial yang diakibatkan dari kegiatan investasi ekonomi yang dilakukan, gerakan menuju pembangunan rendah emisi karbon berlangsung atas inisiatif sektor swasta dan bukan disebabkan kebijakan yang “memaksa” para pelaku pasar.
Mendapatkan rate of return yang tinggi adalah kewajiban setiap investor. Meskipun demikian, selalu ada pilihan bagi para investor dan pelaku bisnis antara (1) meraup keuntungan sebesar-besarnya dalam kurun waktu yang pendek dan sesudahnya beralih ke bidang usaha yang lain atau (2) mengurangi margin keuntungan dalam tahun-tahun pertama untuk keberlanjutan keuntungan puluhan tahun ke depan. Investor dan pelaku bisnis kerap dituntut konsumen untuk mengambil risiko melalui pengembangan produk baru dengan teknologi yang ramah lingkungan.
Inisiatif inovatif
Dunia telah menciptakan berbagai mekanisme pasar mengenai emisi karbon. Untuk menangkap peluang dan tantangan yang ada, berbagai kegiatan pilot pada tingkat proyek sedang berjalan di Indonesia, termasuk Joint Credit Mechanism (JCM), sebuah kemitraan pemerintah Indonesia dengan Jepang yang dibentuk pada Agustus 2013.
JCM yang di Indonesia dimotori Dewan Nasional Perubahan Iklim adalah sebuah inisiatif dari Pemerintah Jepang untuk meningkatkan investasi hijau (green i n ve s tment) sebagai bagian dari komitmen pengurangan emisi GRK di Jepang dan beberapa negara berkembang yang terlibat dalam skema kredit bersama ini.
Di Warsawa bulan November yang lalu, Jepang mengumumkan komitmen pengurangan emisi GRK sebesar 3,28% di bawah tahun 2005, sementara target Indonesia adalah sebesar 26% dari business as usualpada tahun 2020.
Indonesia juga terlibat di dalam kerja sama Partnership for Market Readiness (PMR) yang melibatkan 14 negara dan difasilitasi Bank Dunia untuk membangun mekanisme pasar karbon sukarela di tingkat domestik. Saat ini telah ada 214 proyek Clean Development Mechanism (CDM) di Indonesia, sejumlah 141 proyek telah terdaftar diUNFCCC dengan 33 proyek telah menghasilkan 9,22 juta ton CO2.
Bila rata-rata harga satu ton CO2 di pasar karbon adalah 10 dolar Amerika Serikat maka jumlah 9 juta ton CO2 tersebut sudah, pendapatan sekitar USD90 juta bagi perusahaan yang melakukan investasi CDM di fasilitas produksi mereka.
Kemajuan REDD+
Salah satu keputusan penting di COP19 adalah Warsaw Framework for REDD+. Keputusan ini memastikan bahwa seluruh instrumen internasional yang diperlukan untuk memulai implementasi penuh REDD+ telah tersedia. Keputusan ini diperkuat dengan komitmen pendanaan dari Amerika Serikat, Norwegia, dan Inggris sebesar USD 280 juta.
Sejak COP di Bali sampai Warsawa, telah disepakati 14 keputusan COP mengenai REDD+. Tujuh keputusan telah memberikan pedoman untuk kesiapan dan transisi dan 7 keputusan yang dikeluarkan di Warsawa memberikan pedoman bagi negara berkembang yang berkomitmen untuk melaksanakan REDD+ secara penuh (full implementation) dengan MRV (measurement, reporting and verification) yang akan diterapkan sebagai basis untuk menerima pembayaran atas hasil REDD+.
Tantangan bagi Indonesia adalah menerjemahkan dan menjabarkan keputusan hasil COP ini ke dalam konteks nasional untuk menyamakan pemahaman di antara kementerian/ lembaga terkait. Untuk itu diperlukan proses dialog untuk menyepakati hasil interpretasi sesuai konteks nasional.
Dalam sebuah presentasi di Jakarta pada awal Desember 2013, Kementerian Kehutanan menggambarkan tingkat acuan emisi (reference emission level) sebesar 1,125 juta/ha/tahu yang dihitung berdasarkan laju deforestasi dalam beberapa dekade terakhir. Kemenhut juga mengumumkan laju deforestasi Indonesia pada 2011– 2012 adalah 0.61 juta/ha. Penetapan acuan emisi ini merupakan langkah penting bagi Indonesia karena menjadi persyaratan dalam pelaksanaan REDD+ secara penuh.
Upaya dunia
Pertemuan PBB mengenai Perubahan Iklim digelar tiap tahun untuk mendapatkan kesepakatan dari para pihak (negara) dalam upaya bersama mengendalikan perubahan iklim, termasuk menurunkan emisi GRK dan menanggulangi dampak perubahan iklim.
Dalam upaya mencapai kesepakatan global pengurangan emisi GRK, pada UNFCCC COP 21 di Paris pada 2015 akan dihasilkan Kesepakatan 2015, sebuah kesepakatan penting yang diharapkan mampu mencegah kenaikan temperatur permukaan bumi pada tingkat di bawah 2 derajat Celsius.
Berbagai upaya untuk memobilisasi aksi dan komitmen Kesepakatan 2015 telah direncanakan, di antaranya inisiatif Sekjen PBB Ban Ki-moon menyelenggarakan UN Climate Summit di New York, Amerika Serikat, menjelang Sidang Umum PBB bulan September 2014.
Pertemuan para kepala negara dan kepala pemerintahan di New York tersebut diharapkan berhasil menggalang dukungan politis di tingkat tertinggi sehingga menjadi katalisator Kesepakatan 2015.
Pada akhirnya penanganan perubahan iklim merupakan tanggung jawab bersama antara negara, pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil, yang memerlukan kerja sama dan sinergi atas upayanya masing- masing untuk melakukan transformasi ekonomi menuju pembangunan rendah emisi yang bersahabat dengan iklim dan memiliki ketahanan terhadap dampak perubahan iklim.
YANI SALOH
Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim
Dialog yang diprakarsai Menteri Lingkungan Hidup Polandia selaku presiden COP19 ini membahas peluang dan hambatan yang dialami sektor swasta dan masyarakat sipil agar pemanfaatan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk menangani perubahan iklim berjalan secara maksimal.
Cuaca ekstrem yang menimbulkan bencana ekologis dan kemanusiaan yang dialami Filipina, Vietnam, dan Palau mengingatkan dunia bahwa perubahan iklim merupakan persoalan yang nyata.
Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat dunia dituntut untuk meningkatkan upaya pembangunan berkelanjutan sedemikian rupa sehingga dampak bencana yang diakibatkan perubahan iklim dapat ditekan sekecil mungkin.
Pemerintah menjalankan peran sebagai pembuat kebijakan dan peraturan dalam pengendalian sumber emisi dan dampak perubahan iklim, sementara pihak swasta dan masyarakat sipil menggunakan kebijakan tersebut dalam kegiatan mereka.
Komitmen Indonesia: Penurunan emisi 26%
Pemerintahan Presiden SBY telahmenghasilkanberbagaikebijakan terkait perubahan iklim yang dibuat untuk mendukung komitmen penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) 26% dari perkiraan skenario business as usual pada tahun 2020.
Upaya penurunan emisi dilakukan oleh kementerian/ lembaga terkait dan lebih dari 30 pemerintah daerah dalam bentuk Rencana Aksi Nasional (RAN) dan Rencana Aksi Daerah (RAD) Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca yang didukung mekanisme pemantauan dan pelaporan hasil yang transparan dan berstandar internasional.
Untuk mencapai target tersebut, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan peraturan, di antaranya mengembangkan kebijakan fiskal seperti insentif pajak dan penetapan tarif khusus untuk energi terbarukan, juga bersama Bank Indonesia menerbitkan panduan perbankan hijau (green banking).
Selain memberikan kemudahan perizinan dan mempromosikan program sertifikasi seperti standarisasi hemat energi, pemerintah juga menerbitkan kebijakan moratorium pemanfaatan hutan alam dan lahan gambut.
Berbagai peraturan dan kebijakan tersebut ditujukan untuk mengubah perilaku baik di tingkat produsen, konsumen maupun masyarakat luas. Sejumlah Rp239.5 miliar dana APBN telah dialokasikan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2011–2014 yang tersebar di 16 kementerian/ lembaga untuk pembiayaan program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Kebijakan dan peraturan terkait perubahan iklim dibuat untuk menciptakan situasi yang kondusif bagi investasi pembangunan ekonomi yang rendah emisi karbon.
Sektor swasta diharapkan mampu memanfaatkan peluang investasi tersebut dan memberikan solusi yang cost effective terhadap tantangan meningkatnya emisi karbon GRK. Selain itu, kejelasan arah, penetapan prioritas, dan batasan dalam berbagai upaya adaptasi perubahan iklim diharapkan menghasilkan keterpaduan upaya dan meningkatnya kesiapan warga masyarakat dalam menghadapi bencana dan tantangan perubahan iklim.
Setelah pemerintah menetapkan sasaran, prioritas, dan batasan dalam upaya mencegah lepasnya emisi karbon, sektor swasta kemudian dituntut untuk berkontribusi dalam mewujudkan langkah nyata melalui pengembangan teknologi baru, mobilisasi pelaku bisnis yang lain, dan melakukan kampanye perubahan perilaku masyarakat secara lebih luas. Pihak swastalah yang pada akhirnya menentukan kecepatan pelaksanaan kegiatan perubahan iklim.
Peran pemerintah menjadi terbatas dan mengecil bila para pelaku pasar bersedia melakukan internalisasi terhadap biayabiaya (eksternal) yang selama ini dibebankan kepada masyarakat dan pemerintah di berbagai negara, termasuk masyarakat miskin di kepulauan kecil.
Dengan menginternalisasi biaya kerusakan lingkungan dan kerawanan sosial yang diakibatkan dari kegiatan investasi ekonomi yang dilakukan, gerakan menuju pembangunan rendah emisi karbon berlangsung atas inisiatif sektor swasta dan bukan disebabkan kebijakan yang “memaksa” para pelaku pasar.
Mendapatkan rate of return yang tinggi adalah kewajiban setiap investor. Meskipun demikian, selalu ada pilihan bagi para investor dan pelaku bisnis antara (1) meraup keuntungan sebesar-besarnya dalam kurun waktu yang pendek dan sesudahnya beralih ke bidang usaha yang lain atau (2) mengurangi margin keuntungan dalam tahun-tahun pertama untuk keberlanjutan keuntungan puluhan tahun ke depan. Investor dan pelaku bisnis kerap dituntut konsumen untuk mengambil risiko melalui pengembangan produk baru dengan teknologi yang ramah lingkungan.
Inisiatif inovatif
Dunia telah menciptakan berbagai mekanisme pasar mengenai emisi karbon. Untuk menangkap peluang dan tantangan yang ada, berbagai kegiatan pilot pada tingkat proyek sedang berjalan di Indonesia, termasuk Joint Credit Mechanism (JCM), sebuah kemitraan pemerintah Indonesia dengan Jepang yang dibentuk pada Agustus 2013.
JCM yang di Indonesia dimotori Dewan Nasional Perubahan Iklim adalah sebuah inisiatif dari Pemerintah Jepang untuk meningkatkan investasi hijau (green i n ve s tment) sebagai bagian dari komitmen pengurangan emisi GRK di Jepang dan beberapa negara berkembang yang terlibat dalam skema kredit bersama ini.
Di Warsawa bulan November yang lalu, Jepang mengumumkan komitmen pengurangan emisi GRK sebesar 3,28% di bawah tahun 2005, sementara target Indonesia adalah sebesar 26% dari business as usualpada tahun 2020.
Indonesia juga terlibat di dalam kerja sama Partnership for Market Readiness (PMR) yang melibatkan 14 negara dan difasilitasi Bank Dunia untuk membangun mekanisme pasar karbon sukarela di tingkat domestik. Saat ini telah ada 214 proyek Clean Development Mechanism (CDM) di Indonesia, sejumlah 141 proyek telah terdaftar diUNFCCC dengan 33 proyek telah menghasilkan 9,22 juta ton CO2.
Bila rata-rata harga satu ton CO2 di pasar karbon adalah 10 dolar Amerika Serikat maka jumlah 9 juta ton CO2 tersebut sudah, pendapatan sekitar USD90 juta bagi perusahaan yang melakukan investasi CDM di fasilitas produksi mereka.
Kemajuan REDD+
Salah satu keputusan penting di COP19 adalah Warsaw Framework for REDD+. Keputusan ini memastikan bahwa seluruh instrumen internasional yang diperlukan untuk memulai implementasi penuh REDD+ telah tersedia. Keputusan ini diperkuat dengan komitmen pendanaan dari Amerika Serikat, Norwegia, dan Inggris sebesar USD 280 juta.
Sejak COP di Bali sampai Warsawa, telah disepakati 14 keputusan COP mengenai REDD+. Tujuh keputusan telah memberikan pedoman untuk kesiapan dan transisi dan 7 keputusan yang dikeluarkan di Warsawa memberikan pedoman bagi negara berkembang yang berkomitmen untuk melaksanakan REDD+ secara penuh (full implementation) dengan MRV (measurement, reporting and verification) yang akan diterapkan sebagai basis untuk menerima pembayaran atas hasil REDD+.
Tantangan bagi Indonesia adalah menerjemahkan dan menjabarkan keputusan hasil COP ini ke dalam konteks nasional untuk menyamakan pemahaman di antara kementerian/ lembaga terkait. Untuk itu diperlukan proses dialog untuk menyepakati hasil interpretasi sesuai konteks nasional.
Dalam sebuah presentasi di Jakarta pada awal Desember 2013, Kementerian Kehutanan menggambarkan tingkat acuan emisi (reference emission level) sebesar 1,125 juta/ha/tahu yang dihitung berdasarkan laju deforestasi dalam beberapa dekade terakhir. Kemenhut juga mengumumkan laju deforestasi Indonesia pada 2011– 2012 adalah 0.61 juta/ha. Penetapan acuan emisi ini merupakan langkah penting bagi Indonesia karena menjadi persyaratan dalam pelaksanaan REDD+ secara penuh.
Upaya dunia
Pertemuan PBB mengenai Perubahan Iklim digelar tiap tahun untuk mendapatkan kesepakatan dari para pihak (negara) dalam upaya bersama mengendalikan perubahan iklim, termasuk menurunkan emisi GRK dan menanggulangi dampak perubahan iklim.
Dalam upaya mencapai kesepakatan global pengurangan emisi GRK, pada UNFCCC COP 21 di Paris pada 2015 akan dihasilkan Kesepakatan 2015, sebuah kesepakatan penting yang diharapkan mampu mencegah kenaikan temperatur permukaan bumi pada tingkat di bawah 2 derajat Celsius.
Berbagai upaya untuk memobilisasi aksi dan komitmen Kesepakatan 2015 telah direncanakan, di antaranya inisiatif Sekjen PBB Ban Ki-moon menyelenggarakan UN Climate Summit di New York, Amerika Serikat, menjelang Sidang Umum PBB bulan September 2014.
Pertemuan para kepala negara dan kepala pemerintahan di New York tersebut diharapkan berhasil menggalang dukungan politis di tingkat tertinggi sehingga menjadi katalisator Kesepakatan 2015.
Pada akhirnya penanganan perubahan iklim merupakan tanggung jawab bersama antara negara, pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil, yang memerlukan kerja sama dan sinergi atas upayanya masing- masing untuk melakukan transformasi ekonomi menuju pembangunan rendah emisi yang bersahabat dengan iklim dan memiliki ketahanan terhadap dampak perubahan iklim.
YANI SALOH
Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim
(nfl)