Seluruh Hakim Konstitusi diminta mundur!
A
A
A
Sindonews.com - Seluruh Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) diminta mundur dari jabatannya. Hal ini diserukan jika dalam beberapa hari ke depan tidak juga membacakan putusan Pengujian Undang-Undang (PUU) tentang pemilu serentak yang diajukan oleh Effendi Gazali.
Undang-undang yang dimaksud, PUU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) terhadap UUD 1945.
"Tuntutan ini didasari oleh sedikitnya tiga alasan," kata pengamat pemilu dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin kepada Sindonews melalui pesan singkat, Rabu (8/1/2014).
Pertama, ujar dia, para Hakim Konstitusi teridentifikasi telah bersikap tidak jujur dan tidak transparan dalam memproses perkara tersebut. Hal ini, berangkat dari pengakuan mantan Ketua MK Mahfud MD yang menyatakan, sesungguhnya MK sudah mengambil keputusan terkait perkara dimaksud sejak April 2013.
"Itu artinya sudah sekitar delapan bulan, MK menyembunyikan keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat," ucapnya.
Said menegaskan, janji MK kepada pihak Efendi Gazali untuk membacakan putusan pada November 2013 pun tidak pernah ditunaikan. Menurutnya, sikap MK demikian tidak menunjukkan sifat lembaga peradilan yang kredibel.
Kedua, Hakim Konstitusi seperti telah kehilangan independensinya karena tidak memiliki keberanian untuk segera membacakan putusan yang potensial berdampak pada berubahnya konstelasi politik.
"Dalam hal ini para Hakim Konstitusi diduga telah terkooptasi oleh kekuatan politik mayoritas, sehingga secara sengaja mengulur-ulur waktu untuk membacakan putusan dimaksud," ungkapnya.
Ketiga, Hakim Konstitusi diduga telah bersikap diskriminatif terhadap pemohon judicial review. "Terhadap permohonan yang diajukan oleh masyarakat sipil, MK lamban dalam memproses perkara, sedangkan jika permohonan diajukan oleh kelompok politik maka proses penanganan perkaranya lebih cepat," tuturnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, hal ini terlihat saat permohonan pemilu serentak yang diajukan oleh Effendi Gazali yang mewakili masyarakat sipil, berproses sangat lama. Sedangkan terhadap permohonan serupa yang diajukan oleh Yusril Ihza Mahendra yang mewakili kepentingan partai politik justru prosesnya sangat cepat.
Seperti diberitakan sebelumnya, pihak pemohon meminta MK mencabut PUU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres terhadap UUD 1945. Menurut pemohon Effendi Gazali, melalui kuasa hukumnya, setidaknya ada dua tujuan perihal permintaan pencabutan perkara Nomor 14/PUU-XI/2013 tersebut.
"Pertama, agar tidak tercampur dengan kepentingan syahwat berkuasa yang melekat pada tokoh-tokoh pemohon PUU, yang sekarang atau bahkan selanjutnya mengajukan PUU untuk Pemilu serentak," ujar kuasa hukum pemohon, Wakil Kamal di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa 7 Januari 2014.
Sedangkan pihaknya, ujar dia, murni untuk kepentingan pemilih, menegakkan sistem presidential dan menjamin political efficacy (kedaulatan dan kecerdasan) pemilih, serta mencegah agar tidak terulang transaksi politik dan penyanderaan kabinet dari presiden terpilih.
Kedua, lanjut dia, pihaknya tidak ingin dicap sebagai pengacau persiapan pemilu. Walaupun sebelumnya, pihaknya sudah meminta MK memberikan putusan secepat yang dimungkinkan untuk memberikan kepastian hukum pelaksanaan pemilu.
"Demikian surat ini kami sampaikan untuk segera mendapat informasi dari MK, demi memulihkan citra, wibawa dan martabat MK ke depan. Kami berniat menarik PUU kami sebelum MK memulai persidangan dari PUU yang kami anggap sama persis namun diajukan bukan murni untuk kepentingan civil society, namun kental aroma kepentingan parpol dan syahwat berkuasa," tutur dia.
Seperti diketahui, PUU tentang pemilu serentak yang diajukan Efffendi Gazali telah selesai pada 14 Maret 2013. Kini, kata dia, usia PUU pihaknya telah hampir satu tahun sejak pendaftaran tanggal 10 Januari 2013.
Dikatakannya, sejak awal dalam pengajuan, pihaknya memohon MK memberikan prioritas agar PUU ini dapat diputuskan dengan cepat, apapun hasilnya untuk membantu kepastian hukum pelaksanaan pemilu.
Effendi Gazali cabut gugatan pemilu serentak di MK
Undang-undang yang dimaksud, PUU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) terhadap UUD 1945.
"Tuntutan ini didasari oleh sedikitnya tiga alasan," kata pengamat pemilu dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin kepada Sindonews melalui pesan singkat, Rabu (8/1/2014).
Pertama, ujar dia, para Hakim Konstitusi teridentifikasi telah bersikap tidak jujur dan tidak transparan dalam memproses perkara tersebut. Hal ini, berangkat dari pengakuan mantan Ketua MK Mahfud MD yang menyatakan, sesungguhnya MK sudah mengambil keputusan terkait perkara dimaksud sejak April 2013.
"Itu artinya sudah sekitar delapan bulan, MK menyembunyikan keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat," ucapnya.
Said menegaskan, janji MK kepada pihak Efendi Gazali untuk membacakan putusan pada November 2013 pun tidak pernah ditunaikan. Menurutnya, sikap MK demikian tidak menunjukkan sifat lembaga peradilan yang kredibel.
Kedua, Hakim Konstitusi seperti telah kehilangan independensinya karena tidak memiliki keberanian untuk segera membacakan putusan yang potensial berdampak pada berubahnya konstelasi politik.
"Dalam hal ini para Hakim Konstitusi diduga telah terkooptasi oleh kekuatan politik mayoritas, sehingga secara sengaja mengulur-ulur waktu untuk membacakan putusan dimaksud," ungkapnya.
Ketiga, Hakim Konstitusi diduga telah bersikap diskriminatif terhadap pemohon judicial review. "Terhadap permohonan yang diajukan oleh masyarakat sipil, MK lamban dalam memproses perkara, sedangkan jika permohonan diajukan oleh kelompok politik maka proses penanganan perkaranya lebih cepat," tuturnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, hal ini terlihat saat permohonan pemilu serentak yang diajukan oleh Effendi Gazali yang mewakili masyarakat sipil, berproses sangat lama. Sedangkan terhadap permohonan serupa yang diajukan oleh Yusril Ihza Mahendra yang mewakili kepentingan partai politik justru prosesnya sangat cepat.
Seperti diberitakan sebelumnya, pihak pemohon meminta MK mencabut PUU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres terhadap UUD 1945. Menurut pemohon Effendi Gazali, melalui kuasa hukumnya, setidaknya ada dua tujuan perihal permintaan pencabutan perkara Nomor 14/PUU-XI/2013 tersebut.
"Pertama, agar tidak tercampur dengan kepentingan syahwat berkuasa yang melekat pada tokoh-tokoh pemohon PUU, yang sekarang atau bahkan selanjutnya mengajukan PUU untuk Pemilu serentak," ujar kuasa hukum pemohon, Wakil Kamal di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa 7 Januari 2014.
Sedangkan pihaknya, ujar dia, murni untuk kepentingan pemilih, menegakkan sistem presidential dan menjamin political efficacy (kedaulatan dan kecerdasan) pemilih, serta mencegah agar tidak terulang transaksi politik dan penyanderaan kabinet dari presiden terpilih.
Kedua, lanjut dia, pihaknya tidak ingin dicap sebagai pengacau persiapan pemilu. Walaupun sebelumnya, pihaknya sudah meminta MK memberikan putusan secepat yang dimungkinkan untuk memberikan kepastian hukum pelaksanaan pemilu.
"Demikian surat ini kami sampaikan untuk segera mendapat informasi dari MK, demi memulihkan citra, wibawa dan martabat MK ke depan. Kami berniat menarik PUU kami sebelum MK memulai persidangan dari PUU yang kami anggap sama persis namun diajukan bukan murni untuk kepentingan civil society, namun kental aroma kepentingan parpol dan syahwat berkuasa," tutur dia.
Seperti diketahui, PUU tentang pemilu serentak yang diajukan Efffendi Gazali telah selesai pada 14 Maret 2013. Kini, kata dia, usia PUU pihaknya telah hampir satu tahun sejak pendaftaran tanggal 10 Januari 2013.
Dikatakannya, sejak awal dalam pengajuan, pihaknya memohon MK memberikan prioritas agar PUU ini dapat diputuskan dengan cepat, apapun hasilnya untuk membantu kepastian hukum pelaksanaan pemilu.
Effendi Gazali cabut gugatan pemilu serentak di MK
(maf)