Tidak Libatkan Masyarakat, Rencana Revisi UU MK Dianggap Langgar UUD 1945

Senin, 04 Mei 2020 - 15:12 WIB
loading...
Tidak Libatkan Masyarakat, Rencana Revisi UU MK Dianggap Langgar UUD 1945
Sejumlah lembaga swadaya yang bergerak di bidang hukum dan antikorupsi menilai rencana revisi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang MK tidak mendesak. Foto/Ilustrasi/SINDOphoto
A A A
JAKARTA - Sejumlah lembaga swadaya yang bergerak di bidang hukum dan antikorupsi menilai rencana revisi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mendesak. Diduga ada nuansa konflik kepentingan dalam rencana pembahasan RUU ini.

ICW, YLBHI, Pusako, Pukat, PSHK, dan Kode Inisiatif yang tergabung dalam Koalisi Save MK meminta DPR dan pemerintah fokus penanganan pandemi COVID-19. DPR sebaiknya melakukan fungsinya legislasi, anggaran, dan pengawasan pada permasalahan kesehatan masyarakat.

“Bukan membentuk undang-undang yang bermuatan kontroversial,” ujar Juru Bicara Koalisi Save MK Kurnia Ramadhan dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Senin (4/5/2020).

Dalam draf RUU yang beredar, DPR ingin mengubah masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK dari 2,5 menjadi 5 tahun. Selain itu, menaikkan batas minimal hakim dari 47 menjadi 60 tahun. Masa pensiun berubah dari 60 menjadi 70 tahun.

Koalisi Save MK menilai rencana perubahan ini sangat kental akan nuansa konflik kepentingan, baik bagi DPR maupun presiden. Alasannya, MK sedang menyidangkan dua UU, yakni uji formil UU KPK dan uji materi Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Kedua beleid itu menuai hujan kritik dari masyarakat.

“Jika menelisik substansi RUU ini justru yang diuntungkan adalah MK itu sendiri. Publik khawatir akan menjadi bagian “tukar guling” antara DPR, presiden, dan MK,” terang Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) itu.

Kurnia mengatakan tren di beberapa negara usia hakim konstitusi ini usianya minimalnya 35-45 tahun. Sedangkan, usia 65-75 itu itu pensiun. artinya perubahan ini tidak substansial terhadap kelembagaan MK.

“Lagi pula untuk mengukur integritas dan kapabilitas tidak bisa hanya mengandalkan usia seseorang. Akan lebih baik jika poin perubahan terletak pada syarat kualitas dari seorang hakim MK,” paparnya.

Koalisi menyebut isu lain yang lebih bagus untuk dimasukkan dalam RUU, antara lain perluasan kewenangan MK untuk pengaduan dan pertanyaan konstitusional. Juga tentang pengaturan hukum acara MK yang lebih komprehensif.

Poin-poin itu dianggap penting untuk mengoptimalkan peran MK. Perubahan pada materi tersebut akan menyelesaikan dan memulihkan pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara oleh penyelenggara negara.

Kurnia mengungkapkan rencana perubahan ini menambah panjang produk legislasi DPR yang cacat formil. Perubahan ini, menurutnya, tidak sejalan dengan kebutuhan dan kehendak publik.

DPR dianggap tidak melibatkan masyarakat atau mungkin lembaga MK itu sendiri dalam RUU ini. Ini melanggar Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

“Yang menjamin keterlibatan masyarakat dalam proses legislasi. Apalagi revisi UU MK tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas 2020. Artinya, tidak bisa dibahas di tahun ini,” pungkasnya.
(kri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3848 seconds (0.1#10.140)