Kenaikan harga elpiji dan era energi terbarukan
A
A
A
SETELAH terjadi perubahan status kita sebagai salah satu pengekspor minyak terbesar menjadi negara pengimpor besar, harga minyak yang tinggi telah menyebabkan pembengkakan anggaran dan menekan nilai tukar rupiah. Hal yang sama berlaku juga untuk gas.
PT Pertamina awal tahun ini mengaku telah mengalami kerugian sebesar Rp22 triliun dalam penjualan gas elpiji selama kurun waktu enam tahun terakhir. Ini disebabkan oleh kenaikan harga gas elpiji 12 kg akibat lonjakan harga gas alam cair di pasaran global.
Tentu saja, kenaikan elpiji nonsubsidi otomatis akan memberatkan gerak bisnis para pelaku usaha terutama di sektor UMKM dan masyarakat konsumen. Harga-harga pun akan meningkat dan mereka yang miskin akan semakin terjepit. Kondisi yang berulang ini seharusnya sudah diantisipasi sejak satu dekade lalu.
Pemanfaatan sumber energi terbarukan menjadi hal yang mendesak. Sayangnya, kebijakan energi nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 5/2006 menempatkan penggunaan energi baru dan energi terbarukan pada prioritas keempat setelah batu bara, gas, dan BBM.
Berbeda dengan negara-negara maju miskin sumber daya alam. Uni Eropa misalnya yang negara-negara anggotanya sebenarnya tidak terlalu sering disinari matahari meramal pertengahan abad ini akan menjadi era solar energi.
Secara umum penggunaan energi ramah lingkungan sekaligus murah di Eropa memang bisa dicapai pada 2050. Secara internal skenario yang mirip juga telah dirancang raksasa minyak seperti Shell dan BP (Franz Alt, 2005). Ambisi tersebut mengantisipasi bahwa minyak dan gas bumi serta batu bara telah semakin mahal dan bakal habis dalam satu dua dekade ke depan.
Sebelum terlambat
Energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan sumber daya energi yang secara alami tidak akan habis seperti aliransungai, panasbumi, biofuel, panas surya, angin, biomassa, biogas, ombak laut, dan suhu kedalaman laut.
Bagi negeri tropis seperti Indonesia, salah satu energi alternatif yang tak terbatas adalah sinar matahari. Adalah sangat bijak ketika sebuah negara dengan sumber daya alam berlimpah terkait energi terbarukan seperti Indonesia pada waktu yang pas berpindah arah dalam kebijakan energinya sebelum terlambat.
Ternyata ketika pengangguran dan stagnasi ekonomi melanda dunia termasuk negeri ini, energi terbarukan telah berkembang menjadi sebuah sektor pemicu pertumbuhan. Pada 2004 misalnya China telah menginstalasi 18 juta meter persegi kolektor solar energi.
Sementara Jepang telah menjadi negara dengan perusahaan solar energi terbesar di dunia. Sedangkan Jerman patut berbangga sebagai juara dunia dalam produksi energi angin. Saat ini sekitar 8% kebutuhan listrik Jerman berasal dari kincir angin.
California salah satu negara bagian terbesar AS tengah menapaki peta jalan memperoleh energi dari sumber terbarukan pada 2020. Pada tahun yang sama Filipina bahkan menargetkan pemenuhan energinya sebesar 40% dari sumber daya terbarukan. Saat ini energi sinar matahari yang dipancarkan ke planet bumi 15.000 kali lebih besar dibandingkan penggunaan energi global dan 100 kali dibandingkan cadangan batu bara, gas, dan minyak bumi.
Sementara teknologi mutakhir telah mampu mengubah 10 hingga 20% pancaran sinar matahari tersebut menjadi energi. Secara teoritis untuk mencukupi kebutuhan energi global, penempatan peralatan tersebut hanya memerlukan kurang dari 1% permukaan bumi.
Sebuah besaran yang jauh lebih kecil dibandingkan lahan yang dibutuhkan bendungan pembangkit tenaga listrik. Sayangnya, meski Indonesia memiliki energi matahari berlimpah ruah berikut seabrek kelebihannya, toh pemanfaatannya saat ini masih sangat minim. Ironisnya, negara-negara di belahan utara yang relatif miskin matahari lebih banyak memanfaatkan sumber energi terperbaharui, ramah lingkungan, dan aman ini dibandingkan kita di kawasan tropis.
Indonesia: produsen dan eksportir?
Ada baiknya kita bayangkan bahwa penggunaan 20miliar ton energi per tahun itu memerlukan biayaUSD4,5triliun. Separuhnya adalah pengeluaran negaranegara berkembang. Indonesia yang setiap tahun disinari energi matahari sebesar 2500 kw/hrs berpotensi besar untuk keluar dari ketergantungan pada energi fosil seperti BBM. Di California, AS, alat initelah mampu menghasilkan 354 megawatt listrik.
Dengan memproduksinya secara massal, harga satuan energi matahari ini— di AS, sekitar Rp100 per kwh— lebih murah dibandingkan energi nuklir dan sama dengan energi dari tenaga pembangkit dengan bahan baku energi fosil. Harga peralatannya merosot tajam berkat keberhasilan teknologi, padahal kebijakan energi nasional maupun internasional sama sekali tidak mendukung. Subsidi besar-besaran hanyalah untuk pembangkit tenaga listrik dengan sumber energi fosil dan nuklir.
Pada awal 70-an harga per modul masih sangat mahal yaitu USD300.000. Kini harganya sekitar USD4.000. Melihat pesatnya perkembangan pasar, harganya akan terus menukik turun. Salah satu pasar potensial adalah mobil bertenaga listrik yang diramal bakal menjadi mobil massal di beberapa dekade mendatang.
Menilik berbagai kelebihan energi terbarukan, pertanyaan yang kemudian timbul, apakah cara menunjang pengembangan dan perluasan penggunaan energi ini sehingga sinkron dengan kebijakan energi nasional dan global?
Pertama, harus ada diversifikasi penelitian dan pengembangan. Dana penelitian energi ramah lingkungan ini, sayangnya, dari tahun ke tahun menyusut. Di negara-negara industri hanya sekitar 5% dana penelitian yang diperuntukkan bagi sektor energi.
Darinya sebagian besar untuk jenis energi fosil. Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, hal tersebut lebih memprihatinkan. Kedua, dengan perkembangan teknologi saat ini, biaya produksi energi terbarukan ini bisa bersaing dengan harga energi fosil.
Namun, tentu saja untuk memproduksi energi matahari dengan solar thermal technical dan PV technical dalam kategori massal diperlukan kemauan politik. Kita berharap, dengan presiden baru pada 2014, Indonesia akan memiliki ambisi untuk beranjak dari produsen dan eksportir minyak menjadi produsen dan eksportir energi terbarukan, khusus solar energi. Keadaan sudah sangat mendesak untuk berpikir dan bertindak untuk mencapainya. Semoga!
IVAN HADAR
Direktur Eksekutif Indonesian Institute for Democracy Education (IDE); Ketua Badan Pengurus Indonesia for Global Justice (IGJ)
PT Pertamina awal tahun ini mengaku telah mengalami kerugian sebesar Rp22 triliun dalam penjualan gas elpiji selama kurun waktu enam tahun terakhir. Ini disebabkan oleh kenaikan harga gas elpiji 12 kg akibat lonjakan harga gas alam cair di pasaran global.
Tentu saja, kenaikan elpiji nonsubsidi otomatis akan memberatkan gerak bisnis para pelaku usaha terutama di sektor UMKM dan masyarakat konsumen. Harga-harga pun akan meningkat dan mereka yang miskin akan semakin terjepit. Kondisi yang berulang ini seharusnya sudah diantisipasi sejak satu dekade lalu.
Pemanfaatan sumber energi terbarukan menjadi hal yang mendesak. Sayangnya, kebijakan energi nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 5/2006 menempatkan penggunaan energi baru dan energi terbarukan pada prioritas keempat setelah batu bara, gas, dan BBM.
Berbeda dengan negara-negara maju miskin sumber daya alam. Uni Eropa misalnya yang negara-negara anggotanya sebenarnya tidak terlalu sering disinari matahari meramal pertengahan abad ini akan menjadi era solar energi.
Secara umum penggunaan energi ramah lingkungan sekaligus murah di Eropa memang bisa dicapai pada 2050. Secara internal skenario yang mirip juga telah dirancang raksasa minyak seperti Shell dan BP (Franz Alt, 2005). Ambisi tersebut mengantisipasi bahwa minyak dan gas bumi serta batu bara telah semakin mahal dan bakal habis dalam satu dua dekade ke depan.
Sebelum terlambat
Energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan sumber daya energi yang secara alami tidak akan habis seperti aliransungai, panasbumi, biofuel, panas surya, angin, biomassa, biogas, ombak laut, dan suhu kedalaman laut.
Bagi negeri tropis seperti Indonesia, salah satu energi alternatif yang tak terbatas adalah sinar matahari. Adalah sangat bijak ketika sebuah negara dengan sumber daya alam berlimpah terkait energi terbarukan seperti Indonesia pada waktu yang pas berpindah arah dalam kebijakan energinya sebelum terlambat.
Ternyata ketika pengangguran dan stagnasi ekonomi melanda dunia termasuk negeri ini, energi terbarukan telah berkembang menjadi sebuah sektor pemicu pertumbuhan. Pada 2004 misalnya China telah menginstalasi 18 juta meter persegi kolektor solar energi.
Sementara Jepang telah menjadi negara dengan perusahaan solar energi terbesar di dunia. Sedangkan Jerman patut berbangga sebagai juara dunia dalam produksi energi angin. Saat ini sekitar 8% kebutuhan listrik Jerman berasal dari kincir angin.
California salah satu negara bagian terbesar AS tengah menapaki peta jalan memperoleh energi dari sumber terbarukan pada 2020. Pada tahun yang sama Filipina bahkan menargetkan pemenuhan energinya sebesar 40% dari sumber daya terbarukan. Saat ini energi sinar matahari yang dipancarkan ke planet bumi 15.000 kali lebih besar dibandingkan penggunaan energi global dan 100 kali dibandingkan cadangan batu bara, gas, dan minyak bumi.
Sementara teknologi mutakhir telah mampu mengubah 10 hingga 20% pancaran sinar matahari tersebut menjadi energi. Secara teoritis untuk mencukupi kebutuhan energi global, penempatan peralatan tersebut hanya memerlukan kurang dari 1% permukaan bumi.
Sebuah besaran yang jauh lebih kecil dibandingkan lahan yang dibutuhkan bendungan pembangkit tenaga listrik. Sayangnya, meski Indonesia memiliki energi matahari berlimpah ruah berikut seabrek kelebihannya, toh pemanfaatannya saat ini masih sangat minim. Ironisnya, negara-negara di belahan utara yang relatif miskin matahari lebih banyak memanfaatkan sumber energi terperbaharui, ramah lingkungan, dan aman ini dibandingkan kita di kawasan tropis.
Indonesia: produsen dan eksportir?
Ada baiknya kita bayangkan bahwa penggunaan 20miliar ton energi per tahun itu memerlukan biayaUSD4,5triliun. Separuhnya adalah pengeluaran negaranegara berkembang. Indonesia yang setiap tahun disinari energi matahari sebesar 2500 kw/hrs berpotensi besar untuk keluar dari ketergantungan pada energi fosil seperti BBM. Di California, AS, alat initelah mampu menghasilkan 354 megawatt listrik.
Dengan memproduksinya secara massal, harga satuan energi matahari ini— di AS, sekitar Rp100 per kwh— lebih murah dibandingkan energi nuklir dan sama dengan energi dari tenaga pembangkit dengan bahan baku energi fosil. Harga peralatannya merosot tajam berkat keberhasilan teknologi, padahal kebijakan energi nasional maupun internasional sama sekali tidak mendukung. Subsidi besar-besaran hanyalah untuk pembangkit tenaga listrik dengan sumber energi fosil dan nuklir.
Pada awal 70-an harga per modul masih sangat mahal yaitu USD300.000. Kini harganya sekitar USD4.000. Melihat pesatnya perkembangan pasar, harganya akan terus menukik turun. Salah satu pasar potensial adalah mobil bertenaga listrik yang diramal bakal menjadi mobil massal di beberapa dekade mendatang.
Menilik berbagai kelebihan energi terbarukan, pertanyaan yang kemudian timbul, apakah cara menunjang pengembangan dan perluasan penggunaan energi ini sehingga sinkron dengan kebijakan energi nasional dan global?
Pertama, harus ada diversifikasi penelitian dan pengembangan. Dana penelitian energi ramah lingkungan ini, sayangnya, dari tahun ke tahun menyusut. Di negara-negara industri hanya sekitar 5% dana penelitian yang diperuntukkan bagi sektor energi.
Darinya sebagian besar untuk jenis energi fosil. Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, hal tersebut lebih memprihatinkan. Kedua, dengan perkembangan teknologi saat ini, biaya produksi energi terbarukan ini bisa bersaing dengan harga energi fosil.
Namun, tentu saja untuk memproduksi energi matahari dengan solar thermal technical dan PV technical dalam kategori massal diperlukan kemauan politik. Kita berharap, dengan presiden baru pada 2014, Indonesia akan memiliki ambisi untuk beranjak dari produsen dan eksportir minyak menjadi produsen dan eksportir energi terbarukan, khusus solar energi. Keadaan sudah sangat mendesak untuk berpikir dan bertindak untuk mencapainya. Semoga!
IVAN HADAR
Direktur Eksekutif Indonesian Institute for Democracy Education (IDE); Ketua Badan Pengurus Indonesia for Global Justice (IGJ)
(nfl)