Amir Syarifuddin dan gerakan anti-Jepang
A
A
A
GAGALNYA pemberontakan rakyat tahun 1926-1927 sangat merugikan gerakan komunis di Indonesia. Ribuan kaum komunis dibuang ke Digul, ratusan tokohnya ditangkap, dan beberapa di antaranya dihukum mati.
Sejak saat itu, terjadi kekosongan gerakan melawan kolonialisme di Tanah Air. Kekosongan itu langsung di isi kaum nasionalis dan sosialis. Di bawah mata-mata Belanda, gerakan perlawanan dilanjutkan. Namun dengan wajah yang lebih manis.
Di bawah kondisi itu, Amir Syarifuddin Harahap, tokoh komunis bawah tanah yang militan mendirikan Partai Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) yang berhaluan Marxist dan antifasis.
Sikap Amir itu, sejalan dengan kebijakan Komunis Internasional (Komintern) yang antifasis. Politik Gerindo yang keras terhadap Jepang, menimbulkan stigma partai ini lebih anti terhadap Jepang ketimbang kolonialisme Belanda.
Namun begitu, partai ini langsung mendapatkan perhatian kalangan sosialis dan tokoh komunis bawah tanah untuk bergabung. Dengan cepat, gerakan ini membesar dan tercium oleh mata-mata Belanda.
Sejak itu, Amir menjadi tokoh pemuda dan simbol perlawanan. Gerak geriknya mulai dimata-matai oleh Belanda. Hingga akhirnya dia ditangkap dan dituduh ingin melakukan pemberontakan, seperti kawan-kawannya tahun 1926-1927.
Ternyata, di balik tudingan itu tersimpan keinginan Belanda untuk bekerja sama. Kemudian mereka menawarkan dua opsi terhadap Amir, dibuang ke Digul atau bekerja sama dengan Belanda melawan Jepang. Pihak Belanda yang bertanggung jawab terhadap gerakan bawah tanah itu adalah Residen Jawa Timur Charles van der Plass.
Setelah melalui pertimbangan yang matang dan konsultasi dengan teman-teman komunisnya, Amir pun bersedia bekerja sama dengan Belanda. Keputusan itu diambil sesuai dengan kebijakan Komintern melawan kekuatan fasisme.
Sebagai imbalan, Belanda memberikan modal kepada Amir untuk membangun gerakan bawah tanah sebesar 25.000 gulden. Uang itu, dimanfaatkan Amir untuk membentuk Gerakan Rakyat Antifasis (Geraf) yang berhaluan Marxist antifasis.
Gerakan itu langsung mendapat sambutan kubu sosialis. Namun bersebrangan dengan kubu nasionalis yang lebih memilih untuk bekerja sama dengan Jepang dalam mengusir Belanda.
Baca juga:Amir Syarifuddin dalam bingkai sejarah
Sejak saat itu, terjadi kekosongan gerakan melawan kolonialisme di Tanah Air. Kekosongan itu langsung di isi kaum nasionalis dan sosialis. Di bawah mata-mata Belanda, gerakan perlawanan dilanjutkan. Namun dengan wajah yang lebih manis.
Di bawah kondisi itu, Amir Syarifuddin Harahap, tokoh komunis bawah tanah yang militan mendirikan Partai Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) yang berhaluan Marxist dan antifasis.
Sikap Amir itu, sejalan dengan kebijakan Komunis Internasional (Komintern) yang antifasis. Politik Gerindo yang keras terhadap Jepang, menimbulkan stigma partai ini lebih anti terhadap Jepang ketimbang kolonialisme Belanda.
Namun begitu, partai ini langsung mendapatkan perhatian kalangan sosialis dan tokoh komunis bawah tanah untuk bergabung. Dengan cepat, gerakan ini membesar dan tercium oleh mata-mata Belanda.
Sejak itu, Amir menjadi tokoh pemuda dan simbol perlawanan. Gerak geriknya mulai dimata-matai oleh Belanda. Hingga akhirnya dia ditangkap dan dituduh ingin melakukan pemberontakan, seperti kawan-kawannya tahun 1926-1927.
Ternyata, di balik tudingan itu tersimpan keinginan Belanda untuk bekerja sama. Kemudian mereka menawarkan dua opsi terhadap Amir, dibuang ke Digul atau bekerja sama dengan Belanda melawan Jepang. Pihak Belanda yang bertanggung jawab terhadap gerakan bawah tanah itu adalah Residen Jawa Timur Charles van der Plass.
Setelah melalui pertimbangan yang matang dan konsultasi dengan teman-teman komunisnya, Amir pun bersedia bekerja sama dengan Belanda. Keputusan itu diambil sesuai dengan kebijakan Komintern melawan kekuatan fasisme.
Sebagai imbalan, Belanda memberikan modal kepada Amir untuk membangun gerakan bawah tanah sebesar 25.000 gulden. Uang itu, dimanfaatkan Amir untuk membentuk Gerakan Rakyat Antifasis (Geraf) yang berhaluan Marxist antifasis.
Gerakan itu langsung mendapat sambutan kubu sosialis. Namun bersebrangan dengan kubu nasionalis yang lebih memilih untuk bekerja sama dengan Jepang dalam mengusir Belanda.
Baca juga:Amir Syarifuddin dalam bingkai sejarah
(san)