Rupiah berotot lagi?
A
A
A
SEIRING membaiknya sejumlah fundamental perekonomian nasional yang ditandai tingkat inflasi yang terkendali, kecenderungan defisit transaksi berjalan dengan sinyal positif menuju target di bawah 3% dari produk domestik bruto (PDB) yang memberi angin segar, membuat pemerintah dan Bank Indonesia (BI) optimistis nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mulai berotot kembali pada tahun depan yang tinggal sehari lagi.
Meski demikian, secara eksternal, rupiah mendapat tantangan baru yakni pengurangan stimulus yang lebih akrab di telinga dengan istilah tapering off oleh bank sentral AS (The Fed) yang berlaku efektif tepat awal 2014 ini. Untuk 6 hingga 8 bulan ke depan, secara bertahap The Fed mengurangi stimulus pembelian surat utang (obligasi) dari USD85 miliar menjadi USD10 miliar per bulan.
Langkah tersebut berdampak pada penguatan dolar AS yang mengakibatkan mata uang lainnya melemah, tidak terkecuali rupiah yang kini sudah menembus level Rp12.000 per dolar AS. Dampak negatif tapering off harus diwaspadai karena bisa menyebabkan rupiah terdepresiasi lebih dalam lagi. Kalangan pelaku bisnis mengingatkan BI agar rupiah tidak melesat meninggalkan level Rp12.500 per USD.
Kalau angka tersebut jebol maka BI diprediksi bakal kesulitan mengerem pelemahan nilai kurs rupiah yang dinilai tidak sehat lagi buat dunia usaha. Sementara itu, pihak bank sentral menilai tantangan internal menyangkut transaksi defisit berjalan (current account defisit/CAD) sudah mulai bisa ditekan seiring berjalannya berbagai kebijakan pemerintah, yang khusus ditujukan untuk penguatan neraca perdagangan yang terus mengalami defisit.
Namun, Gubernur BI Agus Martowardojo tetap mewanti-wanti agar kondisi defisit tersebut tetap diwaspadai, mengingat impor bahan bakar minyak (BBM) sebagai salah satu penyebab utama timbulnya transaksi defisit berjalan masih tetap tinggi. BI memprediksi defisit transaksi berjalan bakal berada di level USD25 miliar hingga USD26 miliar atau sekitar 2,9% dari PDB. Bandingkan dengan prediksi defisit transaksi berjalan sepanjang tahun ini yang bisa menembus sebesar USD31 miliar atau sekitar 3,6% dari PDB.
Karena itu, Agus Martowardojo optimistis kondisi perekonomian Indonesia akan lebih baik dari sebelumnya. “Kalau sebelumnya kita melihat CAD masih di atas 3%, sekarang kita akan menuju defisit di bawah 3% dari PDB,” ujar Agus, dengan nada optimistis menghadapi tahun depan yang tantangannya sudah pasti lebih kompleks dari tahun ini. Meski demikian, kecenderungan menurunnya defisit transaksi berjalan sesuai prediksi BI memang tetap harus diwaspadai.
Pasalnya, impor BBM yang menjadi penyumbang utama terjadinya defisitselama ini masih menggelembung. Pemerintah belum mampu mengendalikan penggunaan BBM bersubsidi sehingga tetap harus mengorek kocek lebih dalam untuk mengimpor BBM. Sebagai negeri pengimpor minyak tak kurang dari USD120 juta atau sekitar Rp1,3 triliun per hari, pemerintah alokasikan untuk menutupi kebutuhan minyak yang terus naik, bahkan angka tersebut diperkirakan bakal melonjak menjadi sebesar Rp1,8 triliun hari untuk lima tahun ke depan.
Kecenderungan penguatan rupiah untuk tahun depan juga diamini para pelaku bisnis. Namun di balik optimisme pemerintah dan BI, kalangan pengusaha mengingatkan akan situasi tahun depan sebagai tahun politik. Ada kekhawatiran para penyelenggara negara ini akan lebih banyak meluangkan waktu untuk mengurus pesta demokrasi, yakni pemilihan umum untuk legislatif dan presiden.
Selain perhatian para pengambil kebijakan terbelah oleh pesta demokrasi, bank sentral tetap harus menjaga stabilitas rupiah dengan instrumen selain menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) yang kini bertengger di level 7,5%. Buntut kenaikan BI Rate kini mengancam kredit perbankan yang berpotensi menimbulkan kredit macet. Saat ini, tingkat suku bunga acuan masih dinilai aman oleh kalangan bankir, persoalan akan muncul bila BI Rate berada pada level 8%.
Kita percaya masih banyak kebijakan lain yang bisa ditempuh pemerintah dan BI untuk menguatkan rupiah terhadap dolar AS tanpa mengutak-atik BI Rate lagi, apalagi sejumlah fundamental ekonomi semakin membaik seiring dengan pulihnya perekonomian global. Kita harus optimistis bahwa rupiah tidak selamanya harus loyo.
Meski demikian, secara eksternal, rupiah mendapat tantangan baru yakni pengurangan stimulus yang lebih akrab di telinga dengan istilah tapering off oleh bank sentral AS (The Fed) yang berlaku efektif tepat awal 2014 ini. Untuk 6 hingga 8 bulan ke depan, secara bertahap The Fed mengurangi stimulus pembelian surat utang (obligasi) dari USD85 miliar menjadi USD10 miliar per bulan.
Langkah tersebut berdampak pada penguatan dolar AS yang mengakibatkan mata uang lainnya melemah, tidak terkecuali rupiah yang kini sudah menembus level Rp12.000 per dolar AS. Dampak negatif tapering off harus diwaspadai karena bisa menyebabkan rupiah terdepresiasi lebih dalam lagi. Kalangan pelaku bisnis mengingatkan BI agar rupiah tidak melesat meninggalkan level Rp12.500 per USD.
Kalau angka tersebut jebol maka BI diprediksi bakal kesulitan mengerem pelemahan nilai kurs rupiah yang dinilai tidak sehat lagi buat dunia usaha. Sementara itu, pihak bank sentral menilai tantangan internal menyangkut transaksi defisit berjalan (current account defisit/CAD) sudah mulai bisa ditekan seiring berjalannya berbagai kebijakan pemerintah, yang khusus ditujukan untuk penguatan neraca perdagangan yang terus mengalami defisit.
Namun, Gubernur BI Agus Martowardojo tetap mewanti-wanti agar kondisi defisit tersebut tetap diwaspadai, mengingat impor bahan bakar minyak (BBM) sebagai salah satu penyebab utama timbulnya transaksi defisit berjalan masih tetap tinggi. BI memprediksi defisit transaksi berjalan bakal berada di level USD25 miliar hingga USD26 miliar atau sekitar 2,9% dari PDB. Bandingkan dengan prediksi defisit transaksi berjalan sepanjang tahun ini yang bisa menembus sebesar USD31 miliar atau sekitar 3,6% dari PDB.
Karena itu, Agus Martowardojo optimistis kondisi perekonomian Indonesia akan lebih baik dari sebelumnya. “Kalau sebelumnya kita melihat CAD masih di atas 3%, sekarang kita akan menuju defisit di bawah 3% dari PDB,” ujar Agus, dengan nada optimistis menghadapi tahun depan yang tantangannya sudah pasti lebih kompleks dari tahun ini. Meski demikian, kecenderungan menurunnya defisit transaksi berjalan sesuai prediksi BI memang tetap harus diwaspadai.
Pasalnya, impor BBM yang menjadi penyumbang utama terjadinya defisitselama ini masih menggelembung. Pemerintah belum mampu mengendalikan penggunaan BBM bersubsidi sehingga tetap harus mengorek kocek lebih dalam untuk mengimpor BBM. Sebagai negeri pengimpor minyak tak kurang dari USD120 juta atau sekitar Rp1,3 triliun per hari, pemerintah alokasikan untuk menutupi kebutuhan minyak yang terus naik, bahkan angka tersebut diperkirakan bakal melonjak menjadi sebesar Rp1,8 triliun hari untuk lima tahun ke depan.
Kecenderungan penguatan rupiah untuk tahun depan juga diamini para pelaku bisnis. Namun di balik optimisme pemerintah dan BI, kalangan pengusaha mengingatkan akan situasi tahun depan sebagai tahun politik. Ada kekhawatiran para penyelenggara negara ini akan lebih banyak meluangkan waktu untuk mengurus pesta demokrasi, yakni pemilihan umum untuk legislatif dan presiden.
Selain perhatian para pengambil kebijakan terbelah oleh pesta demokrasi, bank sentral tetap harus menjaga stabilitas rupiah dengan instrumen selain menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) yang kini bertengger di level 7,5%. Buntut kenaikan BI Rate kini mengancam kredit perbankan yang berpotensi menimbulkan kredit macet. Saat ini, tingkat suku bunga acuan masih dinilai aman oleh kalangan bankir, persoalan akan muncul bila BI Rate berada pada level 8%.
Kita percaya masih banyak kebijakan lain yang bisa ditempuh pemerintah dan BI untuk menguatkan rupiah terhadap dolar AS tanpa mengutak-atik BI Rate lagi, apalagi sejumlah fundamental ekonomi semakin membaik seiring dengan pulihnya perekonomian global. Kita harus optimistis bahwa rupiah tidak selamanya harus loyo.
(nfl)