Disiplin berlalu lintas
A
A
A
KECELAKAAN yang terjadi di Probolinggo, Jawa Timur, yang menewaskan 18 orang pada Sabtu (28/12) kemarin benar-benar membuat kita prihatin. Betapa kecerobohan pengemudi telah menyebabkan petaka tersebut.
Kurangnya disiplin berkendara atau human errormasih menjadi penyebab utama maraknya kecelakaan. Kecelakaan di Probolinggo itu telah menambah bencana yang terjadi di jalan raya setidaknya pada bulan ini. Belum juga hilang dari ingatan kita tentang kecelakaan KRL dengan truk tangki BBM di Bintaro, Senin (9/12) siang, yang menewaskan 9 orang, terjadi lagi kecelakaan maut Bus Sugeng Rahayu yang menewaskan 3 pengendara motor di Jombang hingga berujung pada pembakaran bus (27/12).
Keduanya juga diduga kuat akibat kecerobohan sang pengemudi. Mabes Polri beberapa hari ini memang merilis jumlah kecelakaan lalu lintas tahun ini menurun sekitar 20,66% dibandingkan tahun 2012. Dalam laporannya, Polri mencatat selama tahun 2012, jumlah kecelakaan lalu lintas sebanyak 93.578 kasus dengan korban meninggal 23.385 orang. Adapun pada 2012, jumlah kecelakaan mencapai 117.949 kasus dengan korban meninggal sebanyak 29.544 orang.
Fenomena ini harus menjadi perhatian kita semua. Kita tidak bisa hanya menimpakan tanggung jawab atas solusinya kepada aparat kepolisian ataupun Kementerian Perhubungan. Selain masalahnya sangat kompleks, hal ini juga menyangkut rendahnya tingkat kedisiplinan masyarakat yang masih sangat rendah. Semuanya harus terlibat memberi solusi demi meminimalkan kecelakaan atau kalau bisa terwujud nol kecelakaan (zero accident) di jalan raya.
Hal itu bisa kita mulai dengan membangun kedisiplinan mulai dari diri kita masing-masing untuk tidak melanggar rambu-rambu lalu lintas. Merujuk pada pengalaman selama ini, penyebab utama dan terbesar kecelakaan adalah karena human error, termasuk mengantuk, mabuk minuman keras hingga narkoba.
Artinya, manusia sebagai pengendara memiliki andil yang sangat tinggi terhadap terjadi atau tidaknya kecelakaan lalu lintas. Misalnya yang terjadi di Probolinggo tersebut, pengemudi ternyata melanggar marka jalan hingga tragedi itu terjadi. Apalagi, ironisnya sang pengemudi yang juga meninggal dalam kecelakaan itu tidak memiliki surat izin mengemudi (SIM).
Selain itu, pemerintah dan aparat kepolisian juga harus berupaya menekan angka pelanggaran lalu lintas yang masih sangat tinggi. Pemberian sanksi hukuman atau denda yang tinggi bagi pengendara yang melanggar bisa memberi efek jera. Karena, selama ini, pelanggaran lalu lintas sangat ringan hukumannya. Bahkan, sudah menjadi rahasia umum, pelanggaran itu bisa “diselesaikan” di jalanan tanpa harus dibawa ke pengadilan karena ada “kesepakatan khusus” antara aparat dan si pelanggar.
Selama para aparat masih bisa disuap, kedisiplinan berlalu lintas tidak mungkin bisa ditegakkan. Kita sebenarnya bisa meniru sejumlah negara yang menerapkan aturan yang sangat ketat kepada pengendara. Di China misalnya, sanksi bagi pelanggar lalu lintas sangat berat. Pengendara yang tidak mengindahkan aturan, SIM-nya bisa dicabut dan tidak bisa mengemudi kendaraan lagi selama jangka waktu yang cukup panjang.
Warga juga tidak mudah memperoleh SIM sebelum benar-benar memahami prosedur berkendara. Apalagi, ketatnya aturan sebenarnya dibuat untuk memberikan rasa aman bagi masyarakat, termasuk si pengendara. Karena itu, jangan sampai orang berpandangan melanggar lalu lintas itu merupakan hal biasa sehingga hampir tiap hari pelanggaran lalu lintas itu menjadi pemandangan yang biasa di jalan.
Paradigma itu harus diubah. Karena pelanggaran lalu lintas sangat berkorelasi dengan terjadinya kecelakaan. Selain human error, kecelakaan juga diakibatkan kelaikan kendaraan yang sangat memprihatinkan serta buruknya infrastruktur jalan. Tentunya, hal itu juga harus mendapatkan perhatian khusus dari departemen terkait untuk memperbaiki kinerjanya.
Jangan sampai uji KIR hanya formalitas seperti yang masih sering terjadi sehingga banyak kendaraan yang sebenarnya tidak layak bisa berkeliaran di jalanan. Kebiasaan para oknum petugas “bermain mata” dengan para pelanggar harus diakhiri. Karena akibatnya sangat fatal yang bisa membahayakan banyak jiwa manusia.
Kurangnya disiplin berkendara atau human errormasih menjadi penyebab utama maraknya kecelakaan. Kecelakaan di Probolinggo itu telah menambah bencana yang terjadi di jalan raya setidaknya pada bulan ini. Belum juga hilang dari ingatan kita tentang kecelakaan KRL dengan truk tangki BBM di Bintaro, Senin (9/12) siang, yang menewaskan 9 orang, terjadi lagi kecelakaan maut Bus Sugeng Rahayu yang menewaskan 3 pengendara motor di Jombang hingga berujung pada pembakaran bus (27/12).
Keduanya juga diduga kuat akibat kecerobohan sang pengemudi. Mabes Polri beberapa hari ini memang merilis jumlah kecelakaan lalu lintas tahun ini menurun sekitar 20,66% dibandingkan tahun 2012. Dalam laporannya, Polri mencatat selama tahun 2012, jumlah kecelakaan lalu lintas sebanyak 93.578 kasus dengan korban meninggal 23.385 orang. Adapun pada 2012, jumlah kecelakaan mencapai 117.949 kasus dengan korban meninggal sebanyak 29.544 orang.
Fenomena ini harus menjadi perhatian kita semua. Kita tidak bisa hanya menimpakan tanggung jawab atas solusinya kepada aparat kepolisian ataupun Kementerian Perhubungan. Selain masalahnya sangat kompleks, hal ini juga menyangkut rendahnya tingkat kedisiplinan masyarakat yang masih sangat rendah. Semuanya harus terlibat memberi solusi demi meminimalkan kecelakaan atau kalau bisa terwujud nol kecelakaan (zero accident) di jalan raya.
Hal itu bisa kita mulai dengan membangun kedisiplinan mulai dari diri kita masing-masing untuk tidak melanggar rambu-rambu lalu lintas. Merujuk pada pengalaman selama ini, penyebab utama dan terbesar kecelakaan adalah karena human error, termasuk mengantuk, mabuk minuman keras hingga narkoba.
Artinya, manusia sebagai pengendara memiliki andil yang sangat tinggi terhadap terjadi atau tidaknya kecelakaan lalu lintas. Misalnya yang terjadi di Probolinggo tersebut, pengemudi ternyata melanggar marka jalan hingga tragedi itu terjadi. Apalagi, ironisnya sang pengemudi yang juga meninggal dalam kecelakaan itu tidak memiliki surat izin mengemudi (SIM).
Selain itu, pemerintah dan aparat kepolisian juga harus berupaya menekan angka pelanggaran lalu lintas yang masih sangat tinggi. Pemberian sanksi hukuman atau denda yang tinggi bagi pengendara yang melanggar bisa memberi efek jera. Karena, selama ini, pelanggaran lalu lintas sangat ringan hukumannya. Bahkan, sudah menjadi rahasia umum, pelanggaran itu bisa “diselesaikan” di jalanan tanpa harus dibawa ke pengadilan karena ada “kesepakatan khusus” antara aparat dan si pelanggar.
Selama para aparat masih bisa disuap, kedisiplinan berlalu lintas tidak mungkin bisa ditegakkan. Kita sebenarnya bisa meniru sejumlah negara yang menerapkan aturan yang sangat ketat kepada pengendara. Di China misalnya, sanksi bagi pelanggar lalu lintas sangat berat. Pengendara yang tidak mengindahkan aturan, SIM-nya bisa dicabut dan tidak bisa mengemudi kendaraan lagi selama jangka waktu yang cukup panjang.
Warga juga tidak mudah memperoleh SIM sebelum benar-benar memahami prosedur berkendara. Apalagi, ketatnya aturan sebenarnya dibuat untuk memberikan rasa aman bagi masyarakat, termasuk si pengendara. Karena itu, jangan sampai orang berpandangan melanggar lalu lintas itu merupakan hal biasa sehingga hampir tiap hari pelanggaran lalu lintas itu menjadi pemandangan yang biasa di jalan.
Paradigma itu harus diubah. Karena pelanggaran lalu lintas sangat berkorelasi dengan terjadinya kecelakaan. Selain human error, kecelakaan juga diakibatkan kelaikan kendaraan yang sangat memprihatinkan serta buruknya infrastruktur jalan. Tentunya, hal itu juga harus mendapatkan perhatian khusus dari departemen terkait untuk memperbaiki kinerjanya.
Jangan sampai uji KIR hanya formalitas seperti yang masih sering terjadi sehingga banyak kendaraan yang sebenarnya tidak layak bisa berkeliaran di jalanan. Kebiasaan para oknum petugas “bermain mata” dengan para pelanggar harus diakhiri. Karena akibatnya sangat fatal yang bisa membahayakan banyak jiwa manusia.
(nfl)