Aturan biaya akad nikah
A
A
A
KEMENTERIAN Agama (Kemenag) segera mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) terkait ketetapan biaya akad nikah. PP tersebut akan merevisi PP Nomor 47 Tahun 2004 terkait tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak (PNBP), yang menyebutkan biaya akad nikah sebesar Rp 30.000.
Keluarnya peraturan tersebut tentu diharapkan bisa memutuskan lingkaran setan persoalan biaya akad nikah, yang selama ini menjadi kontroversi tidak ada habisnya. Seperti diketahui, kasus terakhir terkait persoalan ini muncul setelah Kepala KUA Kecamatan Kota Kediri Romli tersangkut kasus hukum atas dugaan korupsi biaya nikah. Kejaksaan Negeri (Kejari) Kediri menjeratnya setelah menemukan aliran dana biaya nikah sebesar Rp10.000 ke kantong pribadi di setiap ada momen pernikahan di luar kantor KUA.
Langkah yang diambil kejari tentu tidak bisa diterima kalangan pegawai KUA, karena untuk keluar kantor melayani pernikahan di rumah warga sudah barang tentu membutuhkan biaya transportasi. Mereka juga berdalih tidak menentukan tarif tertentu dan pembayaran dilakukan secara sukarela. Sebaliknya dari sisi warga, prosesi akad nikah begitu sakral sehingga mereka memilih melangsungkannya di rumah, masjid, atau gedung.
Dengan memanggil pegawai KUA, masyarakat pun ”tahu diri” sehingga tidak mungkin tidak memberikan sekadar uang lelah atas jasa akad nikah. Tapi dalam kacamata hukum, korupsi atau gratifikasi tidak mengenal berapa nominal uang––Rp 10.000 atau Rp1 miliar, asal hal tersebut diperoleh secara ilegal. Aturan hukum pun juga tidak memisahkan hari kerja atau hari libur, dan juga tidak mau tahu untuk apa saja biaya nikah di luar Rp 30.000 dimanfaatkan–– apakah untuk biaya operasional atau mengganti pegawai tidak tetap.
Semuanya dianggap melanggar hukum senyampang itu tidak ada aturannya. Dengan fakta tersebut, tentu harus ada aturan main yang lebih jelas yang akan menjadi rambu-rambu perilaku para pegawai KUA dan juga masyarakat sebagai pengguna jasa. Apalagi, berdasarkan data Kemenag, sekitar 90% pasangan memilih akad nikah di luar kantor dan jam kerja, sedangkan yang menikah di kantor KUA dan pada jam kerja hanya 6–10%. Jika aturan hukum tidak ditata, kasus hukum yang menimpa Romli tidak terhindarkan akan kembali terjadi, karena tradisi yang sudah ada mustahil dihentikan dan para pegawai KUA kembali melakukan aksi, yang ujungnya mengganggu pelayanan akad nikah.
Sekilas, rancangan aturan main yang akan dimuat dalam PP cukup bagus. Untuk biaya nikah di luar kantor dan di luar jam kerja, masyarakat akan dikenai biaya Rp 500.000. Jumlah tersebut lebih besar Rp 450.000 dibandingkan melakukan akad nikah di kantor KUA, yakni hanya sebesar Rp 50.000. Adapun untuk biaya akad nikah di gedung, masyarakat akan dikenai biaya Rp 1 juta.
Dalam aturan yang tengah digodok Inspektorat Jenderal Kemenag tersebut, 80% dari pembayaran tersebut langsung akan disetor kepada kas negara sebagai PNBP. Pemasukan itulah yang digunakan untuk membiayai tunjangan profesi petugas KUA. Selain aturan main tersebut, PP juga mengatur pembebasan biaya nikah untuk masyarakat miskin dengan ketentuan berlaku. Walaupun aturan tersebut sudah cukup jelas, masih ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab.
Misalnya apakah ada biaya operasional untuk petugas? Untuk apakah sisa 20% dari hasil pembayaran? Atau bagaimanakah sistem pembayarannya? Idealnya, pembayaran via ATM seperti mengisi pulsa prabayar, sehingga peluang gratifikasi bisa diminimalisasi.
Keluarnya peraturan tersebut tentu diharapkan bisa memutuskan lingkaran setan persoalan biaya akad nikah, yang selama ini menjadi kontroversi tidak ada habisnya. Seperti diketahui, kasus terakhir terkait persoalan ini muncul setelah Kepala KUA Kecamatan Kota Kediri Romli tersangkut kasus hukum atas dugaan korupsi biaya nikah. Kejaksaan Negeri (Kejari) Kediri menjeratnya setelah menemukan aliran dana biaya nikah sebesar Rp10.000 ke kantong pribadi di setiap ada momen pernikahan di luar kantor KUA.
Langkah yang diambil kejari tentu tidak bisa diterima kalangan pegawai KUA, karena untuk keluar kantor melayani pernikahan di rumah warga sudah barang tentu membutuhkan biaya transportasi. Mereka juga berdalih tidak menentukan tarif tertentu dan pembayaran dilakukan secara sukarela. Sebaliknya dari sisi warga, prosesi akad nikah begitu sakral sehingga mereka memilih melangsungkannya di rumah, masjid, atau gedung.
Dengan memanggil pegawai KUA, masyarakat pun ”tahu diri” sehingga tidak mungkin tidak memberikan sekadar uang lelah atas jasa akad nikah. Tapi dalam kacamata hukum, korupsi atau gratifikasi tidak mengenal berapa nominal uang––Rp 10.000 atau Rp1 miliar, asal hal tersebut diperoleh secara ilegal. Aturan hukum pun juga tidak memisahkan hari kerja atau hari libur, dan juga tidak mau tahu untuk apa saja biaya nikah di luar Rp 30.000 dimanfaatkan–– apakah untuk biaya operasional atau mengganti pegawai tidak tetap.
Semuanya dianggap melanggar hukum senyampang itu tidak ada aturannya. Dengan fakta tersebut, tentu harus ada aturan main yang lebih jelas yang akan menjadi rambu-rambu perilaku para pegawai KUA dan juga masyarakat sebagai pengguna jasa. Apalagi, berdasarkan data Kemenag, sekitar 90% pasangan memilih akad nikah di luar kantor dan jam kerja, sedangkan yang menikah di kantor KUA dan pada jam kerja hanya 6–10%. Jika aturan hukum tidak ditata, kasus hukum yang menimpa Romli tidak terhindarkan akan kembali terjadi, karena tradisi yang sudah ada mustahil dihentikan dan para pegawai KUA kembali melakukan aksi, yang ujungnya mengganggu pelayanan akad nikah.
Sekilas, rancangan aturan main yang akan dimuat dalam PP cukup bagus. Untuk biaya nikah di luar kantor dan di luar jam kerja, masyarakat akan dikenai biaya Rp 500.000. Jumlah tersebut lebih besar Rp 450.000 dibandingkan melakukan akad nikah di kantor KUA, yakni hanya sebesar Rp 50.000. Adapun untuk biaya akad nikah di gedung, masyarakat akan dikenai biaya Rp 1 juta.
Dalam aturan yang tengah digodok Inspektorat Jenderal Kemenag tersebut, 80% dari pembayaran tersebut langsung akan disetor kepada kas negara sebagai PNBP. Pemasukan itulah yang digunakan untuk membiayai tunjangan profesi petugas KUA. Selain aturan main tersebut, PP juga mengatur pembebasan biaya nikah untuk masyarakat miskin dengan ketentuan berlaku. Walaupun aturan tersebut sudah cukup jelas, masih ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab.
Misalnya apakah ada biaya operasional untuk petugas? Untuk apakah sisa 20% dari hasil pembayaran? Atau bagaimanakah sistem pembayarannya? Idealnya, pembayaran via ATM seperti mengisi pulsa prabayar, sehingga peluang gratifikasi bisa diminimalisasi.
(nfl)