Produksi gula rendah
A
A
A
SETELAH program swasembada daging sapi dipastikan meleset, kini giliran program swasembada gula juga gagal diwujudkan pada tahun depan. Gagalnya program kedua swasembada pangan tersebut selain tidak didukung produktivitas yang memadai, juga disebabkan kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi.
Selain itu, pemerintah mengakui bahwa program swasembada tersebut belum sepenuhnya terjadi koordinasi yang maksimal pada semua lini, termasuk dukungan regulasi yang belum memadai. Misalnya untuk swasembada gula dibutuhkan lahan yang luas guna meningkatkan produksi tebu, tetapi kebutuhan lahan tak bisa diadakan sekejap membutuhkan waktu yang lama dengan koordinasi yang rumit terutama di tingkat pemerintah daerah. Cara instan memenuhi permintaan kebutuhan gula masyarakat yang semakin tinggi adalah membuka keran impor selebar-lebarnya.
Apa boleh buat kebutuhan pangan tak bisa ditunda. Untuk menjaga terjadinya kelangkaan gula tahun depan, pemerintah telah meminta Perum Badan Usaha Logistik (Bulog) menyiapkan cadangan gula (buffer stock) sebanyak 300.000 ton, sejalan dengan usulan Dewan Gula Nasional untuk menjaga ketersediaan gula yang bisa meredam terjadinya fluktuasi harga di pasar domestik. Selama ini, kalau terjadi kelangkaan gula di pasar adalah sasaran empuk bagi spekulan untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya.
Akibatnya, masyarakat berteriak karena harga yang tinggi dan petani tebu pun bingung karena tidak menikmati kenaikan harga tersebut. Mengapa program swasembada gula yang ditargetkan terealisasi pada tahun depan menemui jalan buntu? Sebelumnya, pemerintah menargetkan swasembada gula tahun depan dengan produksi 5,7 juta ton. Belakangan melihat kondisi riil kemampuan produksi pabrik gula yang ada, pemerintah merevisi target tersebut menjadi 3,1 juta ton yang hanya bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga, sementara untuk menutupi keperluan industri diatasi melalui impor gula.
Menteri Pertanian Suswono terpaksa harus melempar handuk ketimbang memaksakan program swasembada yang mustahil dipenuhi dengan berbagai kendala. Pertama, kendala lahan yang tak bisa diatasi. Program swasembada yang dicanangkan sejak 2009 harus didukung penambahan lahan sebesar 350.000 hektare. Faktanya, sampai saat ini lahan untuk menanam tebu tidak bertambah. Kendala kedua, revitalisasi pabrik gula tidak jalan. Sebagian besar pabrik gula yang beroperasi sekarang masih peninggalan Belanda. Peremajaan mesin yang membutuhkan biaya triliunan tidak bisa direalisasikan.
Ketiga, pembangunan pabrik gula sebanyak 20 hingga 25 unit untuk mendukung swasembada gula, ibaratnya jauh api dari panggang. Fakta berbicara dalam lima tahun terakhir ini hanya satu unit pabrik gula baru terbangun. Soal swasembada gula, Menteri BUMN Dahlan memang sudah mengingatkan bahwa hanya omong kosong jika program ini tidak didukung pabrik gula berkapasitas besar. Dari segi jumlah, pabrik gula yang beroperasi memang sulit untuk menutupi kebutuhan gula masyarakat yang terus melonjak. Total pabrik berproduksi 62 unit, sebanyak 10 milik swasta dan 52 unit dikelola badan usaha milik negara (BUMN) yang masih tercatat sebagian besar warisan Belanda.
Jadi, jangan heran bila produktivitas pabrik gula di negeri ini termasuk cukup rendah. Setiap tahun pabrik yang ada hanya mampu menghasilkan gula sebanyak 2,5 juta ton, sementara total kebutuhan gula mencapai sebesar 5,7 juta ton per tahun. Untuk merevitalisasi pabrik-pabrik tua tersebut dibutuhkan dana tak kurang dari Rp8 triliun. Terlepas dari kondisi pabrik gula yang dimakan usia, sulitnya pengembangan lahan penanaman tebu, ternyata dukungan regulasi untuk mewujudkan swasembada gula tidak memadai.
Selama ini, program penting tersebut hanya mengacu pada surat keputusan setingkat menteri. Padahal, program swasembada tersebut melintasi berbagai kementerian dan instansi pemerintah lainnya, terutama berkaitan dengan pemerintah daerah. Ketika berbagai pendukung terwujudnya swasembada gula jalan di tempat, terjawab sudah bahwa dibutuhkan regulasi yang lebih tinggi dan tegas untuk mengawal program tersebut. Pemerintah jangan selalu mengobral kata swasembada bila memang tidak siap.
Selain itu, pemerintah mengakui bahwa program swasembada tersebut belum sepenuhnya terjadi koordinasi yang maksimal pada semua lini, termasuk dukungan regulasi yang belum memadai. Misalnya untuk swasembada gula dibutuhkan lahan yang luas guna meningkatkan produksi tebu, tetapi kebutuhan lahan tak bisa diadakan sekejap membutuhkan waktu yang lama dengan koordinasi yang rumit terutama di tingkat pemerintah daerah. Cara instan memenuhi permintaan kebutuhan gula masyarakat yang semakin tinggi adalah membuka keran impor selebar-lebarnya.
Apa boleh buat kebutuhan pangan tak bisa ditunda. Untuk menjaga terjadinya kelangkaan gula tahun depan, pemerintah telah meminta Perum Badan Usaha Logistik (Bulog) menyiapkan cadangan gula (buffer stock) sebanyak 300.000 ton, sejalan dengan usulan Dewan Gula Nasional untuk menjaga ketersediaan gula yang bisa meredam terjadinya fluktuasi harga di pasar domestik. Selama ini, kalau terjadi kelangkaan gula di pasar adalah sasaran empuk bagi spekulan untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya.
Akibatnya, masyarakat berteriak karena harga yang tinggi dan petani tebu pun bingung karena tidak menikmati kenaikan harga tersebut. Mengapa program swasembada gula yang ditargetkan terealisasi pada tahun depan menemui jalan buntu? Sebelumnya, pemerintah menargetkan swasembada gula tahun depan dengan produksi 5,7 juta ton. Belakangan melihat kondisi riil kemampuan produksi pabrik gula yang ada, pemerintah merevisi target tersebut menjadi 3,1 juta ton yang hanya bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga, sementara untuk menutupi keperluan industri diatasi melalui impor gula.
Menteri Pertanian Suswono terpaksa harus melempar handuk ketimbang memaksakan program swasembada yang mustahil dipenuhi dengan berbagai kendala. Pertama, kendala lahan yang tak bisa diatasi. Program swasembada yang dicanangkan sejak 2009 harus didukung penambahan lahan sebesar 350.000 hektare. Faktanya, sampai saat ini lahan untuk menanam tebu tidak bertambah. Kendala kedua, revitalisasi pabrik gula tidak jalan. Sebagian besar pabrik gula yang beroperasi sekarang masih peninggalan Belanda. Peremajaan mesin yang membutuhkan biaya triliunan tidak bisa direalisasikan.
Ketiga, pembangunan pabrik gula sebanyak 20 hingga 25 unit untuk mendukung swasembada gula, ibaratnya jauh api dari panggang. Fakta berbicara dalam lima tahun terakhir ini hanya satu unit pabrik gula baru terbangun. Soal swasembada gula, Menteri BUMN Dahlan memang sudah mengingatkan bahwa hanya omong kosong jika program ini tidak didukung pabrik gula berkapasitas besar. Dari segi jumlah, pabrik gula yang beroperasi memang sulit untuk menutupi kebutuhan gula masyarakat yang terus melonjak. Total pabrik berproduksi 62 unit, sebanyak 10 milik swasta dan 52 unit dikelola badan usaha milik negara (BUMN) yang masih tercatat sebagian besar warisan Belanda.
Jadi, jangan heran bila produktivitas pabrik gula di negeri ini termasuk cukup rendah. Setiap tahun pabrik yang ada hanya mampu menghasilkan gula sebanyak 2,5 juta ton, sementara total kebutuhan gula mencapai sebesar 5,7 juta ton per tahun. Untuk merevitalisasi pabrik-pabrik tua tersebut dibutuhkan dana tak kurang dari Rp8 triliun. Terlepas dari kondisi pabrik gula yang dimakan usia, sulitnya pengembangan lahan penanaman tebu, ternyata dukungan regulasi untuk mewujudkan swasembada gula tidak memadai.
Selama ini, program penting tersebut hanya mengacu pada surat keputusan setingkat menteri. Padahal, program swasembada tersebut melintasi berbagai kementerian dan instansi pemerintah lainnya, terutama berkaitan dengan pemerintah daerah. Ketika berbagai pendukung terwujudnya swasembada gula jalan di tempat, terjawab sudah bahwa dibutuhkan regulasi yang lebih tinggi dan tegas untuk mengawal program tersebut. Pemerintah jangan selalu mengobral kata swasembada bila memang tidak siap.
(nfl)