Langkah KPK
A
A
A
TENTU kita mengapresiasi langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi di Tanah Air. Apalagi dalam beberapa hari ini, KPK kembali menunjukkan “taringnya” dengan melakukan tangkap tangan kasus suap yang melibatkan kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Praya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Selang beberapa hari dari kasus tersebut atau tepatnya kemarin, KPK menetapkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah sebagai tersangka dugaan suap pengurusan sengketa Pilkada Lebak dan pengadaan alat-alat kesehatan (alkes) Banten. Untuk kasus terakhir menjadi perhatian banyak pihak, karena lagi-lagi seorang gubernur diduga terlibat kasus suap dan korupsi. Kita patut bersyukur karena negeri ini mempunyai lembaga antikorupsi yang diharapkan tidak hanya memberantas korupsi, tapi juga mencegah.
Targetnya tentu bukan seberapa banyak kasus korupsi yangberhasilditangani, namun seberapa besar KPK mampu menekan angka tindakan korupsi di Tanah Air. Bukan pekerjaan yang mudah dan cepat untuk mencapai tersebut jika kita melihat korupsi di negeri ini seperti penyakit akut atau parah. Korupsi menjadi persoalan yang besar dan berat karena seolah sudah menjadi tradisi bahkan kebiasaan baik pejabat atau masyarakat kita. Korupsi adalah kasus luar biasa.
Artinya, korupsi adalah sebuah persoalan bangsa yang besar dan kita patut bersyukur negeri ini mempunyai lembaga seperti KPK. Melihat luar biasanya kasus korupsi di negeri ini, tentu penanganan atau upaya yang harus dilakukan juga harus luar biasa. Sebuah langkah besar harus dilakukan untuk memberantas dan mencegah korupsi dengan tujuan menekan angka korupsi. Melihat korupsi sebuah kasus luar biasa dan perlu penanganan yang luar biasa, tentu KPK tidak bisa bertindak sendiri.
Perlu dukungan banyak pihak untuk bisa mengatasi ini. Untuk pencegahan, KPK bisa menggandeng dunia pendidikan dan lembaga pemerintahan serta lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sementara untuk pemberantasan perlu dilakukan kerja sama dengan kepolisian dan kejaksaan. Selain bekerja sama atau berkolaborasi, penanganan kasus korupsi di negeri ini juga harus dilakukan secara komprehensif dengan perencanaan yang matang. Toh, KPK selama ini merasa keteteranjika harus menangani semua kasus korupsi yang ada di negeri ini.
Jumlah personel sepertinya tidak sebanding dengan jumlah kasus yang harus ditangani. Memang jika melihat banyaknya kasus dugaan korupsi yang membutuhkan penyelidikan, KPK kesulitan karena kekurangan personel. Semestinya KPK lebih kuat menyinergikan pekerjaan pencegahan dan pemberantasan korupsi ini dengan kepolisian dan kejaksaan. Kerja sama selama ini tampaknya baru sebatas seremoni yang belum diikuti tindakan konkret. Tindakan konkret salah satunya adalah tukarmenukar informasi dan data tentang tindakan korupsi.
Tentu langkah ini diambil dengan prasyarat, kepolisian dan kejaksaan juga mempunyai komitmen yang sama dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi. Jika tidak, hasilnya juga sama saja. Dan, sejauh ini memang belum ada komitmen yang kuat dari kepolisiandan kejaksaan untuk ini. Jika masing-masing lembaga bisa bersinergi atas dasar komitmen yang sama, tentu kerja pencegahan dan pemberantasan korupsi semakin cepat dan kuat. Dikatakan kuat karena setiap lembaga bisa benar-benar fokus pada kasus yang ditangani.
Bukan ingin mau melemahkan KPK, namun sekali lagi kita mengapresiasi langkah KPK mengungkap kasus suap jaksa dan kasus Gubernur Ratu Atut. Akan tetapi, ada kekhawatiran kasus-kasus besar yang saat ini ditangani KPK seperti kasus Hambalang dan Century tidak bisa ditangani KPK dengan cepat dan kuat. Akhirnya akan menimbulkan kesan, dua kasus besar tersebut tertutup dengan kasus-kasus yang baru.
Seandainya kasus suap jaksa dan gubernur bisa ditangani lembaga hukum lainnya, tentu KPK akan mempunyai waktu dan kekuatan yang lebih untuk menuntaskan dua kasus besar, yaitu Hambalang dan Century. Namun sekali lagi, kepolisian dan kejaksaan harus benar-benar mempunyai komitmen untuk mencegah dan memberantas korupsi di negeri ini. Tentu kita tetap berharap kasus-kasus baru yang ditangani KPK tidak “mengubur”kasus-kasus besar yang menjadi perhatian masyarakat.
Selang beberapa hari dari kasus tersebut atau tepatnya kemarin, KPK menetapkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah sebagai tersangka dugaan suap pengurusan sengketa Pilkada Lebak dan pengadaan alat-alat kesehatan (alkes) Banten. Untuk kasus terakhir menjadi perhatian banyak pihak, karena lagi-lagi seorang gubernur diduga terlibat kasus suap dan korupsi. Kita patut bersyukur karena negeri ini mempunyai lembaga antikorupsi yang diharapkan tidak hanya memberantas korupsi, tapi juga mencegah.
Targetnya tentu bukan seberapa banyak kasus korupsi yangberhasilditangani, namun seberapa besar KPK mampu menekan angka tindakan korupsi di Tanah Air. Bukan pekerjaan yang mudah dan cepat untuk mencapai tersebut jika kita melihat korupsi di negeri ini seperti penyakit akut atau parah. Korupsi menjadi persoalan yang besar dan berat karena seolah sudah menjadi tradisi bahkan kebiasaan baik pejabat atau masyarakat kita. Korupsi adalah kasus luar biasa.
Artinya, korupsi adalah sebuah persoalan bangsa yang besar dan kita patut bersyukur negeri ini mempunyai lembaga seperti KPK. Melihat luar biasanya kasus korupsi di negeri ini, tentu penanganan atau upaya yang harus dilakukan juga harus luar biasa. Sebuah langkah besar harus dilakukan untuk memberantas dan mencegah korupsi dengan tujuan menekan angka korupsi. Melihat korupsi sebuah kasus luar biasa dan perlu penanganan yang luar biasa, tentu KPK tidak bisa bertindak sendiri.
Perlu dukungan banyak pihak untuk bisa mengatasi ini. Untuk pencegahan, KPK bisa menggandeng dunia pendidikan dan lembaga pemerintahan serta lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sementara untuk pemberantasan perlu dilakukan kerja sama dengan kepolisian dan kejaksaan. Selain bekerja sama atau berkolaborasi, penanganan kasus korupsi di negeri ini juga harus dilakukan secara komprehensif dengan perencanaan yang matang. Toh, KPK selama ini merasa keteteranjika harus menangani semua kasus korupsi yang ada di negeri ini.
Jumlah personel sepertinya tidak sebanding dengan jumlah kasus yang harus ditangani. Memang jika melihat banyaknya kasus dugaan korupsi yang membutuhkan penyelidikan, KPK kesulitan karena kekurangan personel. Semestinya KPK lebih kuat menyinergikan pekerjaan pencegahan dan pemberantasan korupsi ini dengan kepolisian dan kejaksaan. Kerja sama selama ini tampaknya baru sebatas seremoni yang belum diikuti tindakan konkret. Tindakan konkret salah satunya adalah tukarmenukar informasi dan data tentang tindakan korupsi.
Tentu langkah ini diambil dengan prasyarat, kepolisian dan kejaksaan juga mempunyai komitmen yang sama dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi. Jika tidak, hasilnya juga sama saja. Dan, sejauh ini memang belum ada komitmen yang kuat dari kepolisiandan kejaksaan untuk ini. Jika masing-masing lembaga bisa bersinergi atas dasar komitmen yang sama, tentu kerja pencegahan dan pemberantasan korupsi semakin cepat dan kuat. Dikatakan kuat karena setiap lembaga bisa benar-benar fokus pada kasus yang ditangani.
Bukan ingin mau melemahkan KPK, namun sekali lagi kita mengapresiasi langkah KPK mengungkap kasus suap jaksa dan kasus Gubernur Ratu Atut. Akan tetapi, ada kekhawatiran kasus-kasus besar yang saat ini ditangani KPK seperti kasus Hambalang dan Century tidak bisa ditangani KPK dengan cepat dan kuat. Akhirnya akan menimbulkan kesan, dua kasus besar tersebut tertutup dengan kasus-kasus yang baru.
Seandainya kasus suap jaksa dan gubernur bisa ditangani lembaga hukum lainnya, tentu KPK akan mempunyai waktu dan kekuatan yang lebih untuk menuntaskan dua kasus besar, yaitu Hambalang dan Century. Namun sekali lagi, kepolisian dan kejaksaan harus benar-benar mempunyai komitmen untuk mencegah dan memberantas korupsi di negeri ini. Tentu kita tetap berharap kasus-kasus baru yang ditangani KPK tidak “mengubur”kasus-kasus besar yang menjadi perhatian masyarakat.
(nfl)