WTO dan pangan lokal
A
A
A
KONFERENSI Tingkat Menteri ke-9 Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Bali yang dihadiri 159 negara anggota yang berakhir Sabtu (7/12) menelurkan hasil cukup menggembirakan.
Pertemuan ini menyepakati Paket Bali yang salah satu proposal di dalamnya adalah terkait masalah stok pangan. Sesuai ketentuan masalah pertanian yang diatur WTO, negara berkembang hanya boleh memberi subsidi maksimal 10 persen dari produksi nasional untuk keperluan stok ketahanan pangan. India yang sebelumnya menolak negosiasi terhadap proposal mengenai cadangan pangan mencapai kesepakatan dengan negara adikuasaAmerika Serikat.
Terkait ketahanan pangan anggota WTO disepakati bahwa dalam empat tahun ke depan harus sudah ada solusi permanen tentang stok pangan untuk negara berkembang. Selama belum tercapai solusi permanen, negara berkembang boleh melakukan penumpukan stok pangan untuk ketahanan pangan negaranya.
Pertanyaannya, apa relevansi kesepakatan Paket Bali ini dengan kedaulatan pangan yang hendak kita bangun seperti tertuang dalam UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan? Jawaban pertanyaan ini sesungguhnya ada pada tema yang diangkat pada perayaan Hari Pangan 2013, yakni “Optimalisasi Sumber Daya Lokal Menuju Kemandirian Pangan”.
Ketika ketersediaan dan cadangan pangan tak lagi mampu memenuhi permintaan yang terus meningkat seiring pertumbuhan jumlah penduduk, cadangan pangan bisa diinisiasi dengan pembangunan ketahanan pangan yang berkelanjutan berbasis sumberdaya lokal. Penguatan ketahanan pangan berbasis sumberdaya lokal di tengah kian terbukanya pasar bebas, Indonesia mengadapi persoalan yang sangat serius.
Urusan pertanian dan pangan yang seharusnya mendapat kontrol negara secara penuh kini diserahkan kepada mekanisme dan kebuasan pasar. Tak pelak lagi, ketahanan pangan kita akan semakin rapuh karena dikuasai korporasi kapitalistik yang makin liberal.
Ketahanan pangan nasional kian rentan terhadap gejolak harga pangan dunia yang kian mahal. Saat ini saja kebutuhan pangan nasional 70 persen bergantung dari impor dengan jumlah rupiah yang dibelanjakan setiap tahun Rp125 triliun.
Tumbuh alamiah
Penilaian masyarakat kebanyakan terhadap perjalanan panjang pembangunan ketahanan pangan di negeri agraris ini pada umumnya disebut tumbuh alamiah di tengah menumpuknya berbagai kendala dan masalah yang menghadang sektor pertanian.
Hambatan yang bisa diinventarisasi antara lain adalah minimnya akses permodalan, jaminan harga dan pasar, penguasaan teknologi dan inovasi yang masih rendah, serta rendahnya mutu sumber daya manusia. Di samping itu, para pelaku UMKM bidang pangan acap menghadapi kendala birokrasi yang rumit soal perizinan, regulasi yang seringkali berubah-ubah, dan ekonomi biaya tinggi karena korupsi birokrat.
Masalah baru akan segera menghadang ketika percepatan konektivitas yang disepekati pada APEC 2013 diwujudkan. Masalahnya kian komplek karena konektivitas akan lebih mempermudah produk pangan dari negera-negara lain masuk ke pasar lokal. Patut diberi catatan, sebelum perhelatan WTO 2013, pasar domestik sudah dibanjiri berbagai macam produk pangan asing.
Mulai dari makanan olahan, buah-buahan dan produk pertanian lainnya berupa kedelai, beras, daging, bawang dan lain-lain. Selama ini UMKM pangan lokal dibiarkan bersaing—untuk tidak mengatakan ditelantarkan— dengan koleganya yang berasal dari sejumlah negara maju tanpa proteksi dan dukungan modal, teknologi dan SDM memadai.
Bayangkan sebuah UMKM pangan lokal di Medan misalnya yang dibebani berbagai masalah harus bersaing dengan UMKM sejenis dari negara maju yang menikmati berbagai fasilitas dari pemerintahnya mulai dari permodalan, sarana dan prasarana pendukung, pelatihan teknologi dan inovasi, dan informasi pasar terkini.
Untuk itu, terkait isu konektivitas, persoalan fundamental seperti permodalan, infrastruktur, inovasi dan akses pasar menjadi sangat strategis untuk dijembatani dalam memajukan UMKM. Mendorong pengembangan UMKM bidang bisnis pangan lokal agar mutu produknya lebih baik harus ditransformasikan bagi penguatan kedaulatan pangan dan kemajuan ekonomi nasional.
Potensi dan peluang pengembangannya sangat besar karena tersedia bahan baku yang melimpah dan perubahan tatanan ekonomi dunia memberi ruang meningkatkan ekspor produk pangan olahan.
Agribisnis pangan
Sektor ekonomi yang sangat strategisuntukIndonesiasaat ini terkait pengembangan UMKM pasca WTO 2013 adalah agribisnis pangan. Pengelolan agribisnis yang baik akan menetaskan UMKM di bidang pangan yang berdaya saing tinggi dan diharapkan dapat berimbas positif kepada penguatan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat seperti roh dan jiwa UU Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan.
Pemerintah patut lebih sungguh-sungguh melakukan penyebaran teknologi tepat guna untuk mendorong inovasi terkait pangan, khususnya menuju pengembangan pangan berbasis sumberdaya lokal yang berkelanjutan. Peningkatan efisiensi produksi dan optimalisasi biaya investasi merupakan inisiatif yang perlu terus didorong untuk memperkuat agribisnis pangan mulai dari hulu (on farm) hingga ke hilir (off farm) yang mengolah hasil pertanian menjadi produk turunan pangan baru.
Ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat konfigurasinya masih membutuhkan penguatan dari political will pemerintah menjadi pekerjaan rumah yang belum selesai di sektor pertanian. Tugas ini sangat strategis bagi pemerintahan baru hasil Pemilu 2014 di tengah ancaman krisis pangan yang menghadang Indonesia belakangan ini.
Keberhasilannya memberi keleluasaan kepada negara untuk secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyatnya dan juga memberikan hak bagi warganya untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Pemanfaatan pangan berbasis sumberdaya lokal sebagai amunisi kedaulatan pangan dapat menekan ketergantungan pada pangan impor.
Berbagai jenis pangan impor—baik legal maupun ilegal—yang jumlahnya terus meningkat akhirakhir ini memberi dampak negatif pada neraca perdagangan Indonesia, yang pada gilirannya mengatrol angka inflasi yang merugikan rakyat kecil. Bagi Indonesia yang dikenal dan dipuja sebagai negara agraris karena memiliki lahan pertanian subur dan luas patut memetik pelajaran penting dari penyelenggaraan konferensi WTO di Bali.
Kesiapan di dalam negeri sendiri adalah langkah strategis untuk pencapaian target kedaulatan pangan yang menyejahterakan petani. Membumikan percepatan konektivitas (keterhubungan) fisik negeri kepulauan ini dapat mendorong peningkatan daya saing produk pangan berbasis sumberdaya lokal di pasar global.
Keberhasilan ini memberi out come untuk mempersempit ketimpangan kesejahteraan antara warga perkotaan dan perdesaan yang bermuara pada pembangunan pertanian yang kian menarik minat kawula muda.
POSMAN SIBUEA
Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Medan. Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser). Ketua Persatuan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Cabang Sumatera Utara.
Pertemuan ini menyepakati Paket Bali yang salah satu proposal di dalamnya adalah terkait masalah stok pangan. Sesuai ketentuan masalah pertanian yang diatur WTO, negara berkembang hanya boleh memberi subsidi maksimal 10 persen dari produksi nasional untuk keperluan stok ketahanan pangan. India yang sebelumnya menolak negosiasi terhadap proposal mengenai cadangan pangan mencapai kesepakatan dengan negara adikuasaAmerika Serikat.
Terkait ketahanan pangan anggota WTO disepakati bahwa dalam empat tahun ke depan harus sudah ada solusi permanen tentang stok pangan untuk negara berkembang. Selama belum tercapai solusi permanen, negara berkembang boleh melakukan penumpukan stok pangan untuk ketahanan pangan negaranya.
Pertanyaannya, apa relevansi kesepakatan Paket Bali ini dengan kedaulatan pangan yang hendak kita bangun seperti tertuang dalam UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan? Jawaban pertanyaan ini sesungguhnya ada pada tema yang diangkat pada perayaan Hari Pangan 2013, yakni “Optimalisasi Sumber Daya Lokal Menuju Kemandirian Pangan”.
Ketika ketersediaan dan cadangan pangan tak lagi mampu memenuhi permintaan yang terus meningkat seiring pertumbuhan jumlah penduduk, cadangan pangan bisa diinisiasi dengan pembangunan ketahanan pangan yang berkelanjutan berbasis sumberdaya lokal. Penguatan ketahanan pangan berbasis sumberdaya lokal di tengah kian terbukanya pasar bebas, Indonesia mengadapi persoalan yang sangat serius.
Urusan pertanian dan pangan yang seharusnya mendapat kontrol negara secara penuh kini diserahkan kepada mekanisme dan kebuasan pasar. Tak pelak lagi, ketahanan pangan kita akan semakin rapuh karena dikuasai korporasi kapitalistik yang makin liberal.
Ketahanan pangan nasional kian rentan terhadap gejolak harga pangan dunia yang kian mahal. Saat ini saja kebutuhan pangan nasional 70 persen bergantung dari impor dengan jumlah rupiah yang dibelanjakan setiap tahun Rp125 triliun.
Tumbuh alamiah
Penilaian masyarakat kebanyakan terhadap perjalanan panjang pembangunan ketahanan pangan di negeri agraris ini pada umumnya disebut tumbuh alamiah di tengah menumpuknya berbagai kendala dan masalah yang menghadang sektor pertanian.
Hambatan yang bisa diinventarisasi antara lain adalah minimnya akses permodalan, jaminan harga dan pasar, penguasaan teknologi dan inovasi yang masih rendah, serta rendahnya mutu sumber daya manusia. Di samping itu, para pelaku UMKM bidang pangan acap menghadapi kendala birokrasi yang rumit soal perizinan, regulasi yang seringkali berubah-ubah, dan ekonomi biaya tinggi karena korupsi birokrat.
Masalah baru akan segera menghadang ketika percepatan konektivitas yang disepekati pada APEC 2013 diwujudkan. Masalahnya kian komplek karena konektivitas akan lebih mempermudah produk pangan dari negera-negara lain masuk ke pasar lokal. Patut diberi catatan, sebelum perhelatan WTO 2013, pasar domestik sudah dibanjiri berbagai macam produk pangan asing.
Mulai dari makanan olahan, buah-buahan dan produk pertanian lainnya berupa kedelai, beras, daging, bawang dan lain-lain. Selama ini UMKM pangan lokal dibiarkan bersaing—untuk tidak mengatakan ditelantarkan— dengan koleganya yang berasal dari sejumlah negara maju tanpa proteksi dan dukungan modal, teknologi dan SDM memadai.
Bayangkan sebuah UMKM pangan lokal di Medan misalnya yang dibebani berbagai masalah harus bersaing dengan UMKM sejenis dari negara maju yang menikmati berbagai fasilitas dari pemerintahnya mulai dari permodalan, sarana dan prasarana pendukung, pelatihan teknologi dan inovasi, dan informasi pasar terkini.
Untuk itu, terkait isu konektivitas, persoalan fundamental seperti permodalan, infrastruktur, inovasi dan akses pasar menjadi sangat strategis untuk dijembatani dalam memajukan UMKM. Mendorong pengembangan UMKM bidang bisnis pangan lokal agar mutu produknya lebih baik harus ditransformasikan bagi penguatan kedaulatan pangan dan kemajuan ekonomi nasional.
Potensi dan peluang pengembangannya sangat besar karena tersedia bahan baku yang melimpah dan perubahan tatanan ekonomi dunia memberi ruang meningkatkan ekspor produk pangan olahan.
Agribisnis pangan
Sektor ekonomi yang sangat strategisuntukIndonesiasaat ini terkait pengembangan UMKM pasca WTO 2013 adalah agribisnis pangan. Pengelolan agribisnis yang baik akan menetaskan UMKM di bidang pangan yang berdaya saing tinggi dan diharapkan dapat berimbas positif kepada penguatan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat seperti roh dan jiwa UU Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan.
Pemerintah patut lebih sungguh-sungguh melakukan penyebaran teknologi tepat guna untuk mendorong inovasi terkait pangan, khususnya menuju pengembangan pangan berbasis sumberdaya lokal yang berkelanjutan. Peningkatan efisiensi produksi dan optimalisasi biaya investasi merupakan inisiatif yang perlu terus didorong untuk memperkuat agribisnis pangan mulai dari hulu (on farm) hingga ke hilir (off farm) yang mengolah hasil pertanian menjadi produk turunan pangan baru.
Ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat konfigurasinya masih membutuhkan penguatan dari political will pemerintah menjadi pekerjaan rumah yang belum selesai di sektor pertanian. Tugas ini sangat strategis bagi pemerintahan baru hasil Pemilu 2014 di tengah ancaman krisis pangan yang menghadang Indonesia belakangan ini.
Keberhasilannya memberi keleluasaan kepada negara untuk secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyatnya dan juga memberikan hak bagi warganya untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Pemanfaatan pangan berbasis sumberdaya lokal sebagai amunisi kedaulatan pangan dapat menekan ketergantungan pada pangan impor.
Berbagai jenis pangan impor—baik legal maupun ilegal—yang jumlahnya terus meningkat akhirakhir ini memberi dampak negatif pada neraca perdagangan Indonesia, yang pada gilirannya mengatrol angka inflasi yang merugikan rakyat kecil. Bagi Indonesia yang dikenal dan dipuja sebagai negara agraris karena memiliki lahan pertanian subur dan luas patut memetik pelajaran penting dari penyelenggaraan konferensi WTO di Bali.
Kesiapan di dalam negeri sendiri adalah langkah strategis untuk pencapaian target kedaulatan pangan yang menyejahterakan petani. Membumikan percepatan konektivitas (keterhubungan) fisik negeri kepulauan ini dapat mendorong peningkatan daya saing produk pangan berbasis sumberdaya lokal di pasar global.
Keberhasilan ini memberi out come untuk mempersempit ketimpangan kesejahteraan antara warga perkotaan dan perdesaan yang bermuara pada pembangunan pertanian yang kian menarik minat kawula muda.
POSMAN SIBUEA
Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Medan. Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser). Ketua Persatuan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Cabang Sumatera Utara.
(nfl)