Enam tipe pemimpin
A
A
A
DISKUSI tentang kepemimpinan semakin sering mengemuka di negeri ini sehubungan dengan banyaknya pilkada dan momen menjelang pemilu. Banyak buku yang membahas teori kepemimpinan (leadership), tetapi kali ini saya akan melihatnya secara singkat dan sederhana saja.
Setidaknya terdapat enam macam kepemimpinan yang mudah kita cerna. Satu, umat beriman biasanya merujuk dan mengidealkan kepemimpinan para nabi. Mereka ini muncul dari tengah umatnya dengan kekuatan pribadi dan akhlaknya. Namun di atas semua itu mereka diyakini memperoleh dukungan dan bimbingan Allah serta disertai senjata pemungkas untuk menaklukkan umatnya yang membangkang, yang disebut mukjizat.
Tentu saja warisan ajarannya sangat bagus untuk dicontoh dan dijadikan sumber inspirasi. Namun kita tidak mungkin menggantikan posisinya karena bagi umat Islam tak ada lagi nabi setelah Rasulullah Muhammad, sosok yang hidupnya terjaga dari dosa (maksum). Dua, pemimpin berdasarkan keturunan darah biru atau anak raja. Pemimpin tipe ini ada yang hebat, adil, dicintai rakyat, tetapi ada juga yang bengis dan menindas rakyatnya.
Bagi Indonesia, kepemimpinan berdasarkan darah biru ini sudah berlalu. Kita tidak lagi hidup di zaman kerajaan. Dulu, kekuasaan raja diperoleh setelah berhasil menaklukkan lawannya sehingga istana raja selalu dilindungi dengan tembok tinggi serta tentara yang kuat untuk menakuti lawannya yang hendak melakukan balas dendam atau hendak menaklukkan.
Tiga, kepemimpinan intelektual pejuang. Banyak negara yang merdeka setelah Perang Dunia melahirkan pemimpin yang berasal dari tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan. Mereka ini sangat akrab dan mengenal rakyatnya sehingga ketika duduk menjadi pemimpin dalam tubuh pemerintahan sangat mudah berempati dengan pikiran dan perasaan rakyatnya. Semangat perjuangan dan komitmen ideologis untuk memajukan bangsanya lebih kental ketimbang semangat menikmati jabatan formalnya.
Tipe pemimpin model ini yang sangat mudah dikenali harihari ini adalah sosok Nelson Mandela. Di Indonesia kita juga punya Bung Karno dan Bung Hatta serta teman-teman seangkatan mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan. Mereka itu pemimpin-pejuang yang juga sosok intelektual.
Empat, ada pemimpin bertipe teknokratik-ilmuwan. Mereka menjadi pemimpin karena kemampuannya yang menonjol dibandingkan yang lain dalam bidang keilmuan dan keahliannya dalam mengendalikan sebuah organisasi pemerintahan layaknya memimpin sebuah perusahaan. Pemimpin negara Singapura mendekati tipe ini. Untuk Indonesia, pada jajaran menteri lebih cocok pemimpin tipe ilmuwanteknokratik ini.
Di sini profesionalisme sangat ditekankan. Mereka paham agenda apa yang mesti dilakukan dan menguasai cara bagaimana melakukannya untuk memenuhi tugas yang dibebankan pada jabatannya. Untuk konteks Indonesia, kelemahan tipe ini sering kali kurang memahami realitas budaya dan tradisi bangsanya dan menganggap bahwa dengan pendekatan teknokratik masalah bangsa akan selesai.
Lima, ada tipe pemimpin baru di Indonesia akhir-akhir ini yang tampil dengan mengandalkan popularitas dan dukungan parpol pendukungnya sehingga berhasil mendapatkan posisi legal-formal dalam tubuh pemerintahan. Menjadi problem serius ketika popularitas itu tidak disertai kompetensi dan integritas karena mereka memenangi pemilihan semata karena kekuatan uang dan jejaring dinastiisme.
Tipe pemimpin inilah yang telah merusak cita-cita luhur kemerdekaan dan demokrasi. Mereka berbeda dari tipe pemimpin intelektual- pejuang yang memiliki andil besar dalam pergerakan kemerdekaan atau tipe ilmuwan-teknokratik yang mengandalkan profesionalisme.
Enam, tipe pemimpin yang mampu menyintesiskan lima tipe yang ada untuk menghadapi dan menjawab problem bangsa yang berkembang dinamis. Terutama perpaduan sifat ketulusan, kecintaan, dan kesabaran dari tipe para nabi, semangat perjuangan dan pengorbanan membela martabat bangsa dari tipe intelektual-pejuang dan kemampuan teknokratik dalam mengelola birokrasi negara modern.
Adapun mandat dan legalitas dari parpol pendukung hanyalah bersifat instrumental, jangan sampai parpol dijadikan ”majikan” dari karier politiknya. Pemimpin tipe keenam itu mungkin bisa disebut sebagai pemimpin profetik-teknokratik. Disebut profetik karena kedekatan, kecintaan, dan komitmennya dalam membela dan melayani rakyat dan disebut teknokratik karena kemampuan dan penguasaannya secara teknis-empiris dalam memecahkan problem bangsa dan masyarakat dengan menggunakan instrumen birokrasi dan ilmu pengetahuan modern.
Fenomena yang mengemuka, ada pemimpin yang memiliki semangat membela rakyat, tetapi miskin kemampuan teknokratik. Sebaliknya, banyak teknokrat merasa hebat dalam bidangnya, tetapi tidak memiliki pemahaman mendalam terhadap problem dan karakter bangsanya serta kurang memiliki komitmen membela kepentingan rakyat.
Yang konyol adalah tampilnya orang-orang yang berambisi menjadi pemimpin-penguasa yang memanfaatkan celah titik lemah demokrasi untuk meraih suara rakyat dengan cara membeli dan membodohi rakyat. Mari kita pilih pemimpin bangsa yang tepat demi kesejahteraan dan kemajuan anak-anak cucu kita.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Setidaknya terdapat enam macam kepemimpinan yang mudah kita cerna. Satu, umat beriman biasanya merujuk dan mengidealkan kepemimpinan para nabi. Mereka ini muncul dari tengah umatnya dengan kekuatan pribadi dan akhlaknya. Namun di atas semua itu mereka diyakini memperoleh dukungan dan bimbingan Allah serta disertai senjata pemungkas untuk menaklukkan umatnya yang membangkang, yang disebut mukjizat.
Tentu saja warisan ajarannya sangat bagus untuk dicontoh dan dijadikan sumber inspirasi. Namun kita tidak mungkin menggantikan posisinya karena bagi umat Islam tak ada lagi nabi setelah Rasulullah Muhammad, sosok yang hidupnya terjaga dari dosa (maksum). Dua, pemimpin berdasarkan keturunan darah biru atau anak raja. Pemimpin tipe ini ada yang hebat, adil, dicintai rakyat, tetapi ada juga yang bengis dan menindas rakyatnya.
Bagi Indonesia, kepemimpinan berdasarkan darah biru ini sudah berlalu. Kita tidak lagi hidup di zaman kerajaan. Dulu, kekuasaan raja diperoleh setelah berhasil menaklukkan lawannya sehingga istana raja selalu dilindungi dengan tembok tinggi serta tentara yang kuat untuk menakuti lawannya yang hendak melakukan balas dendam atau hendak menaklukkan.
Tiga, kepemimpinan intelektual pejuang. Banyak negara yang merdeka setelah Perang Dunia melahirkan pemimpin yang berasal dari tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan. Mereka ini sangat akrab dan mengenal rakyatnya sehingga ketika duduk menjadi pemimpin dalam tubuh pemerintahan sangat mudah berempati dengan pikiran dan perasaan rakyatnya. Semangat perjuangan dan komitmen ideologis untuk memajukan bangsanya lebih kental ketimbang semangat menikmati jabatan formalnya.
Tipe pemimpin model ini yang sangat mudah dikenali harihari ini adalah sosok Nelson Mandela. Di Indonesia kita juga punya Bung Karno dan Bung Hatta serta teman-teman seangkatan mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan. Mereka itu pemimpin-pejuang yang juga sosok intelektual.
Empat, ada pemimpin bertipe teknokratik-ilmuwan. Mereka menjadi pemimpin karena kemampuannya yang menonjol dibandingkan yang lain dalam bidang keilmuan dan keahliannya dalam mengendalikan sebuah organisasi pemerintahan layaknya memimpin sebuah perusahaan. Pemimpin negara Singapura mendekati tipe ini. Untuk Indonesia, pada jajaran menteri lebih cocok pemimpin tipe ilmuwanteknokratik ini.
Di sini profesionalisme sangat ditekankan. Mereka paham agenda apa yang mesti dilakukan dan menguasai cara bagaimana melakukannya untuk memenuhi tugas yang dibebankan pada jabatannya. Untuk konteks Indonesia, kelemahan tipe ini sering kali kurang memahami realitas budaya dan tradisi bangsanya dan menganggap bahwa dengan pendekatan teknokratik masalah bangsa akan selesai.
Lima, ada tipe pemimpin baru di Indonesia akhir-akhir ini yang tampil dengan mengandalkan popularitas dan dukungan parpol pendukungnya sehingga berhasil mendapatkan posisi legal-formal dalam tubuh pemerintahan. Menjadi problem serius ketika popularitas itu tidak disertai kompetensi dan integritas karena mereka memenangi pemilihan semata karena kekuatan uang dan jejaring dinastiisme.
Tipe pemimpin inilah yang telah merusak cita-cita luhur kemerdekaan dan demokrasi. Mereka berbeda dari tipe pemimpin intelektual- pejuang yang memiliki andil besar dalam pergerakan kemerdekaan atau tipe ilmuwan-teknokratik yang mengandalkan profesionalisme.
Enam, tipe pemimpin yang mampu menyintesiskan lima tipe yang ada untuk menghadapi dan menjawab problem bangsa yang berkembang dinamis. Terutama perpaduan sifat ketulusan, kecintaan, dan kesabaran dari tipe para nabi, semangat perjuangan dan pengorbanan membela martabat bangsa dari tipe intelektual-pejuang dan kemampuan teknokratik dalam mengelola birokrasi negara modern.
Adapun mandat dan legalitas dari parpol pendukung hanyalah bersifat instrumental, jangan sampai parpol dijadikan ”majikan” dari karier politiknya. Pemimpin tipe keenam itu mungkin bisa disebut sebagai pemimpin profetik-teknokratik. Disebut profetik karena kedekatan, kecintaan, dan komitmennya dalam membela dan melayani rakyat dan disebut teknokratik karena kemampuan dan penguasaannya secara teknis-empiris dalam memecahkan problem bangsa dan masyarakat dengan menggunakan instrumen birokrasi dan ilmu pengetahuan modern.
Fenomena yang mengemuka, ada pemimpin yang memiliki semangat membela rakyat, tetapi miskin kemampuan teknokratik. Sebaliknya, banyak teknokrat merasa hebat dalam bidangnya, tetapi tidak memiliki pemahaman mendalam terhadap problem dan karakter bangsanya serta kurang memiliki komitmen membela kepentingan rakyat.
Yang konyol adalah tampilnya orang-orang yang berambisi menjadi pemimpin-penguasa yang memanfaatkan celah titik lemah demokrasi untuk meraih suara rakyat dengan cara membeli dan membodohi rakyat. Mari kita pilih pemimpin bangsa yang tepat demi kesejahteraan dan kemajuan anak-anak cucu kita.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
(nfl)