Putusan MA pada kasus Angie

Kamis, 12 Desember 2013 - 07:59 WIB
Putusan MA pada kasus...
Putusan MA pada kasus Angie
A A A
MEMBACA tulisan Adi Andojo, “MA dan Hukuman Berat”, dalam salah satu harian nasional, saya setuju makna dibalik tulisan tersebut karena dua hal.

Pertama, kedudukan dan tanggung seorang hakim sangat mulia dan penilaian baik tidaknya seorang hakim bukan pada berat atau ringannya putusan yang dijatuhkannya dalam perkara korupsi. Kedua, pandangan Andi Andojo S meluruskan pandangan keliru masyarakat tentang kedudukan dan peranan seorang hakim dalam konteks perkara korupsi karena keadilan yang dituju dalam penegakan hukum adalah Keadilan berdasarkan Ketuhanan YME bukan berdasarkan Kekuasaan belaka atau berdasarkan Kebencian (terhadap koruptor) belaka.

Temuan fakta atas putusan Majelis Hakim Agung RI yang dipandang berani dalam perkara Kasasi Angie menunjukkan bahwa hanya terjadi pada lima perkara termasuk perkara Angie yang diketuai oleh Artidjo Alkotsar tetapi belum diikuti oleh majelis Hakim MA lain.

Hal ini tidak perlu dipersoalkan karena setiap Hakim/Hakim MA memiliki prinsip integritas dan independensi serta keyakinan masing-masing. Bahkan dari temuan putusan atas lima perkara korupsi, perkara Angie, dan perkara Nazaruddin, dengan Ketua Majelis, Artidjo Alkotsar, terbukti ada perbedaan perlakuan hukum, yaitu Angie diputus 12 tahun dan Nazaruddin di putus 7 Tahun; sedangkan peranan Nazaruddin jauh berbeda baik dalam perkara Wisma Atlet, Hambalang maupun Kemendikbud.

Di sinilah letak relativitas pandangan masyarakat dan menjadi bias ketika ditemukan perbedaan dan inkonsistensi putusan majelis dalam perkara yang saling berhubungan satu sama lain dengan ketua majelis yang sama untuk terdakwa yang berbeda.

Penilaian atas putusan pengadilan khususnya dalam konteks pemberantasan korupsi di dalam sistem kekuasaan kehakiman berdasarkan UUD 1945 seharusnya dilaksanakan bebas dari pengaruh kekuasaan apapun termasuk tekanan pengaruh masyarakat dengan alasan apapun.

Tugas dan peranan hakim di dalam sistem hukum baik sistem civil law maupun common law adalah penerapan hukum pada setiap peristiwa konkret dan penemuan hukum jika ketentuan UU tidak jelas mengaturnya atau bahkan mungkin belum ada pengaturannya. Berdasarkan teori maupun praktik dan kebiasaan yang berlaku dalam proses peradilan, di mana pun, UU (hukum tertulis) dan yurisprudensi dapat dikelola berdampingan.

Perbedaannya, di dalam sistem civil law harus diutamakan lebih dulu ketentuan UU, dan yurisprudensi hanya sebagai pelengkap saja; sedangkan dalam sistem common law, mutlak putusan pengadilan dijadikan rujukan utama (asas precedent) dan bersifat mengikat hakim berikutnya (stare decisis) dan UU sebagai pelengkap. Oleh karena itu, dalam pendidikan hukum di dalam sistem hukum common law diisi dengan buku-teks bermuatan putusan-putusan supreme court of justice, bukan teori dan doktrin hukum (acara) pidana.

Perkembangan pendidikan tinggi hukum di Belanda memasuki awal abad ke-20 dan sampai saat ini tampaknya cenderung menggunakan metode studi kasus dibandingkan dengan hanya diisi doktrin.

Di tengah-tengah kegalauan masyarakat luas terhadap tumbuh suburnya korupsi di kalangan penyelenggara negara dan melemahnya penegakan hukum di sisi lain, tentu Andojo S menegaskan, penerapan hukuman mati sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor Tahun 1999 patut dicoba diterapkan khususnya dalam keadaan krisis, bencana alam termasuk masalah dana bantuan sosial (bansos).

Namun, dalam sistem hukum acara peradilan pidana, hakim tidak berwenang mengubah isi surat dakwaan ataupun tuntutan penuntut serta tidak juga dibolehkan hakim memutus perkara yang tidak didakwakan kepada seorang terdakwa. Bahkan, putusan PK MA dalam perkara pidana tidak boleh melebihi putusan pidana yang telah dijatuhkan oleh pengadilan di bawahnya karena UU hanya memandatkan menerima atau menolak permohonan PK.

Bagaimana dengan terobosan hukum (legal breakthrough) yang menjadi pandangan beberapa hakim saat ini? Sejatinya, hukum tidak mengenal konsep terobosan hukum dan teori hukum progresif. Yang dikemukakan almarhum Satjipto Rahardjo justru bertujuan memanusiakan penegakan hukum dan menolak kelaliman atas nama hukum apalagi terhadap pihak lemah yang tidak berkekuasaan.

Pernyataan ini bukan tanpa alasan karena kekuatan hukum secara universal masih dikuasai dua aliran besar dalam keadaan tarik menarik yaitu pengaruh pandangan aliran teori hukum alam yang mengunggulkan kesusilaan berhadapan dengan aliran teori positivisme hukum yang menafikkan pengaruh kesusilaan dalam hukum.

Oleh karena itu, ada benarnya kekuasaan sekecil apa pun jika tidak ada pengawasan akan terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Penyalahgunaan ini banyak sebabnya, antara lain sifat manusia pada umumnya serakah dan selalu ingin menguasai atas manusia lainnya jika perlu “memangsa”-nya (Machiaveli) dan sifat Ke-Aku-an yang sering terjadi pada elite birokrasi dan termasuk elit penegak hukum apalagi jika kekuasaan yang dimandatkan UU melebihi batas-batas kemampuan (ability) dan keterbatasan (limitation) pemegang kekuasaan yang notabene adalah manusia juga.

ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1204 seconds (0.1#10.140)