Untung rugi paket Bali WTO

Rabu, 11 Desember 2013 - 07:10 WIB
Untung rugi paket Bali...
Untung rugi paket Bali WTO
A A A
KITA mungkin tidak akan menjadi sakit atau miskin apabila gagal mendapatkan gadget (peranti) terbaru atau apabila harga gadget itu terlalu mahal.

Namun, bayangkan bila beras, kedelai, atau gandum hilang di pasaran atau terlalu mahal untuk dibeli oleh masyarakat miskin atau bahkan kelas menengah. Hilangnya pasokan pangan ini bukan mustahil. Ini menjadi keprihatinan politik dari banyak negara, khususnya negara-negara miskin dan berkembang. Apabila sebuah negara tidak menyiapkan strategi untuk mengatasi persoalan pangan di masa mendatang, bisa jadi akan timbul kekacauan di dalam negeri.

Kira-kira demikianlah posisi politik India dalam pertemuan tingkat menteri World Trade Organization (WTO) yang berlangsung di Bali lalu. Banyak pihak di dalam negeri yang merasa Indonesia harus mengikuti India dan mendukung politik negara itu untuk mempertahankan subsidi demi menjamin keamanan pangan bagi penduduknya yang besar.

Saat ini penduduk India berjumlah lebih dari 1,23 miliar orang, negara terbesar kedua di dunia setelah China yang saat ini berpenduduk 1,3 miliar. Pertumbuhan penduduk India adalah 1,3% per tahun atau sekitar 15 juta orang setiap tahunnya. Angka ini lebih besar dibandingkan China yang hanya 0,5% per tahun atau Indonesia yang tumbuh 1,2% per tahun. Pertumbuhan penduduk tersebut tentu membutuhkan pasokan makanan dan ruang yang juga semakin besar dari tahun ke tahun.

Masalahnya, banyak petani yang merasa bahwa menanam tanaman pangan seperti padi tidak lagi menguntungkan. Lahan-lahan pangan yang telah berpuluh tahun ditanami semakin berkurang kesuburannya sehingga memerlukan pasokan pupuk yang jauh lebih banyak daripada tanah-tanah yang belum pernah ditanami. Hal ini menimbulkan biaya pembelian pupuk juga meningkat.

Biaya yang tinggi itu tidak dapat ditutupi dengan harga jual komoditas karena pasar dalam negeri dibanjiri oleh produk pertanian luar negeri yang lebih murah. Murahnya harga produk-produk tersebut terutama berasal dari negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika. Negara-negara tersebut telah menggelontorkan subsidi kepada para petaninya agar produksi pangan tetap berjalan.

Subsidi itu berbentuk pembelian komoditas langsung oleh pemerintah atau berupa subsidi biaya produksi seperti pupuk, pestisida dan sebagainya. Perusahaan-perusahaan agrikultur juga menikmati subsidi ini sehingga mereka dapat mengontrol harga di pasar. Negaranegara berkembang tidak mampu memberikan subsidi sebesar yang diberikan negara maju tadi pada petaninya, sehingga mereka protes.

Persoalannya, dalam negosiasi WTO kemarin strategi subsidi negara maju tersebut dilirik oleh India. Beberapa negara, baik negara maju maupun berkembang yang bergabung di koalisi G-33, menganggap bahwa subsidi macam itu akan merusak pasar. Mereka tidak terlalu percaya bahwa cadangan pangan India tidak akan disalahgunakan untuk tujuan lain, misalnya dijual kepasar negara lain.

Hal ini akan membuat produk-produk pangan dari negara lain tidak dapat berkompetisi dengan produk India. Seperti halnya negara maju, India juga dapat mengontrol harga pasar. Oleh sebab itu, ada dua ketakutan utama yang bisa terjadi. Pertama adalah terjadinya food insecurity karena fluktuasi harga pangan yang tak menentu, padahal tren umumnya adalah harga yang semakin tinggi karena permintaan terus meningkat.

Kedua adalah livelihood insecurity dari produsen pangan karena tingginya biaya produksi dan ketidakpastian suplai. Kita dapat ambil contoh misalnya dengan produk pangan beras. Dalam statistik FAO, Indonesia adalah produsen dan konsumen beras terbesar ketiga pada 2011. Meski demikian, Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) ada 51.000 ton beras yang diimpor pada bulan September atau senilai USD27 juta atau Rp306,2 miliar.

Jumlah itu lebih tinggi dari impor beras tercatat 36.000 ton atau USD19,1 juta pada bulan Agustus. Jika diakumulasi selama 9 bulan (Januari- September), impor sudah mencapai 353.485 ton atau USD183,3 juta. Beras yang kita impor terutama dari Vietnam, dengan volume pada bulan September 18.000 ton atau USD11,1 juta, India dengan laporan 24.000 ton atau USD9,5 juta, Thailand dengan 5.297 ton atau USD4,1 juta, Pakistan sebesar 1.500 ton atau USD550.000 dan negara lainnya sebesar 953 ton atau USD1,67 juta.

Negara-negara tersebut adalah lima negara pengekspor beras terbesar dunia. Sebaliknya, Indonesia adalah negara pengimpor beras terbesar nomor satu di dunia. Ada banyak faktor yang menyebabkan kita mengalami defisit beras. Sebab utamanya adalah karena pertumbuhan luas lahan padi kita tidak dapat mengejar tingkat pertumbuhan konsumsi akibat semakin bertambahnya jumlah penduduk. Lahan sawah kita justru semakin menurun dari 7,9 juta hektare menjadi 7,3 juta hektare.

Konversi lahan untuk fungsi nonpertanian juga merupakan rutinitas yang menggerus suplai pangan. Janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menyiapkan 15 juta hektare lahan menguap entah ke mana. Selain itu, para petani tertarik mengonversi lahannya untuk jenis tanaman lain yang lebih kompetitif harganya di pasar.

Di sisi lain, Indonesia tidak lagi punya Bulog yang dapat membeli harga beras petani dengan harga wajar, sehingga gairah untuk menanam padi tidak terjaga. Bulog saat ini malah berfungsi sebagai agen pengimpor beras dengan tujuan agar harga beras tidak terlalu mahal di tingkat konsumen. Jelas hal ini bukan solusi untuk petani atau peningkatan suplai beras di dalam negeri.

Dengan keadaan di atas, bagaimanakah sebaiknya sikap kita terhadap Paket Bali? Mendukung atau menolak? Saya pikir jawabannya tergantung dari strategi kita ke depan. Bila kita mendukung peran negara yang lebih besar dengan cara memberikan subsidi, maka penting untuk segera mengurangi pengeluaran-pengeluaran lain yang tidak memiliki dampak langsung pada ketahanan pangan.

Misalnya kita perlu mengurangi subsidi bahan bakar energi seperti listrik untuk kelas menengah atau bahan bakar minyak yang telah membuat defisit neraca perdagangan kita. Peran Bulog sebagai stabilisator harga pangan mungkin juga perlu dikembalikan lagi sehingga petani tidak beralih ke komoditas lain yang menjanjikan harga jual lebih layak untuk mereka.

Namun, bila kita lebih mendukung pasar sebagai jalan agar penduduk kita dapat mengakses bahan pangan yang murah, terlepas dari mana produk itu kita beli, dan agar petani kita dapat bersaing dengan produk pangan sejenis dari negara-negara lain, maka kita juga punya tanggung jawab untuk meningkatkan kapasitas keahlian dan manajemen petani dan pengusaha di sektor agrobisnis di Indonesia.

Pemerintah juga harus mengalokasikan dana yang besar untuk mendorong penelitian dan mekanisasi di bidang pertanian agar dapat menghasilkan produk-produk pertanian dengan standar mutu dan kesehatan yang layak. Tak lupa juga, kita perlu paham ke depan petani memang sudah tidak bisa lagi beroperasi dengan cara-cara tradisional yang selama ini masih dipraktikkan di Indonesia.

Akan ada standar traceability yang ramai dibicarakan di WTO, artinya produk beras Indonesia harus bisa dilacak sumber bibit dan mekanisme penanaman serta panennya, termasuk agar bibitnya berasal dari bibit yang sudah tersertifikasi. Dengan sertifikasi bibit, artinya petani tak bisa lagi menanam beras dari sumber yang tidak jelas.

Singkat kata, dunia ketahanan pangan di tahun-tahun mendatang mendesak Indonesia untuk segera memutuskan apa strategi ketahanan pangan kita: mau diserahkan pada mekanisme pasar saja, atau negara mau tegas melakukan intervensi?

DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0531 seconds (0.1#10.140)