Berita korupsi jangan sekadar rutinitas
A
A
A
MEMPERINGATI hari antikorupsi dunia 9 Desember 2013, seharusnya penanganan kasus korupsi tidak hanya garang di atas berita. Publik tidak boleh sekadar “rutinitas’ menerima berita elite politik dan kekuasaan, anggota legislatif (DPR dan DPRD), kepala daerah, dan pejabat eselon dijadikan tersangka korupsi.
Pemberitaan sebaiknya membuat kita bergetar dan merasa malu para pejabat negara digiring ke ruang tahanan seperti sepuluh tahun silam. Kita patut mengapresiasi media massa yang saya sering sebut sebagai “media antikorupsi” yang selalu memberitakan kasus korupsi. Ini menjadi salah satu upaya menyadarkan publik dan aparat hukum agar selalu bersemangat memerangi korupsi.
Saat Akil Mochtar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memang publik terkejut lantaran MK selama ini dianggap peradilan yang paling bersih. Tetapi selang beberapa waktu kemudian, publik mulai terbiasa lagi menerima berita kasus korupsi, karena dugaan keborokan di MK sebetulnya sudah terendus sejak tahun 2010.
Setiap pemberitaan korupsi tidak boleh dianggap sekadar rutinitas. Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang korbannya masyarakat luas. Sekiranya uang negara tidak dikorup, boleh jadi rakyat miskin tidak terus meningkat dan pengangguran menghantui para sarjana. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), sampai Maret 2013, jumlah penduduk miskin di Indonesia (penduduk dengan pengeluaran per-kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) mencapai 28,07 juta orang (KORAN SINDO, 16/11/2013).
Optimalisasi korupsi
Belakangan ini sedang dipolemikkan keberadaan “dana optimalisasi” lantaran diduga rawan diselewengkan. Dana dengan jumlah besar yang nomenklaturnya abu-abu karena tidak jelas peruntukannya, selalu muncul menjelang hajatan demokrasi lima tahunan. Dalam APBN 2014 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dana optimalisasi sebesar Rp27 triliun, padahal tahun 2013 hanya Rp11,8 triliun.
Dana yang sejatinya diusulkan DPR begitu rawan disalahgunakan untuk memenuhi ambisi anggota DPR terhadap berbagai proyek yang akan diajukan kepada pemerintah. Setidaknya bisa dicurigai sebagai dana untuk memenuhi logistik pemilu 2014 bagi partai politik yang mendudukkan kadernya di DPR. Pengamat dan aktivis antikorupsi mencurigai proyek yang diusulkan DPR melalui dana optimalisasi sudah disusun secara sistematis.
Bisa dilihat pada pembagian yang merata pada tiap-tiap fraksi dan komisi secara proporsional sesuai jumlah anggota DPR. Partai yang terbanyak kadernya duduk di DPR, paling besar mendapat jatah dana optimalisasi. Ini terjadi karena posisi Badan Anggaran (Banggar) DPR yang memiliki kewenangan luar biasa sampai menentukan angka-angka (satuan tiga). Banggar DPR begitu leluasa menentukan jenis proyek dan besarnya dana optimalisasi agar terlihat sesuai dengan peruntukannya.
Dana optimalisasi yang begitu luas diberitakan, tidak boleh hanya sekadar berita rutinitas belaka. KPK perlu menelisik penyusunan dan peruntukannya lantaran berpotensi menjadi “optimalisasi korupsi”. Sebelum dana dicairkan perlu dievaluasi lantaran diduga untuk memenuhi kepentingan tertentu menjelang Pemilu 2014.
Jika ada indikasi ke arah itu, Presiden SBY wajib membekukan dana itu sebagai sisa anggaran lebih, sebab tidak ada yang bisa menggaransi peruntukannya. MK juga sedang mendalami permohonan uji materi mengenai sejauhmana hak anggaran DPR yang begitu luar biasa.
Apakah fungsi anggaran yang diimplementasi Banggar DPR sampai mengusulkan angka-angka (satuan tiga) dalam APBN sah secara konstitusional? Sebab yang lazim sejauh ini, DPR seharusnya hanya merevisi angka-angka anggaran tanpa mengusulkan atau membuat nomenklatur baru.
Buru aset koruptor
Hal lain yang perlu diapresiasi di hari antikorupsi, adalah pengembalian kerugian keuangan negara. Misalnya, pembayaran uang pengganti dan mengejar aset koruptor yang disembunyikan di luar negeri. Untuk membayar uang pengganti bagi terpidana, perlu dibentuk tim khusus. Sebab meskipun dikenakan Undang-undang Pencucian Uang, kejaksaan dan KPK sering mengalami kesulitan menyita hasil korupsi, terutama yang disembunyikan di luar negeri.
Prinsipnya, uang negara yang dikorup harus dikembalikan, bukan diganti dengan pidana penjara yang disubsiderkan dalam putusan hakim. Putusan MA terhadap Angelina Sondakh (Angie) patut dijadikan landasan. Hakim Agung Artidjo Alkostar (20/11/2013) yang menjadi ketua majelis hakim, menghukum Angie 12 tahun penjara, denda Rp500 juta, dan membayar uang pengganti sejumlah kerugian negara yang terbukti dikorupsi sebesar Rp12,58 miliar dan 2,35 juta dollar AS (sekitar Rp27,4 miliar) subsider lima tahun penjara.
Sebelumnya, Angie dihukum 4 tahun 6 bulan penjara plus denda, tanpa pembayaran uang pengganti. Kita berharap agar hakim Pengadilan Tipikor di daerah mengikuti atau menjadikan putusan ini sebagai yurisprudensi. Sebab korupsi bukan hanya berwatak extraordinary, melainkan juga kejahatan yang membunuh rakyat pelan-pelan. Jikapun Indonesia yang secara teori menganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil law system) tidak terikat pada putusan sebelumnya, tetapi perlu menjadi perhatian hakim.
Yurisprudensi atau putusan hakim (MA) yang berkekuatan hukum tetap merupakan “persuasive precedent” (preseden yang persuasif), tetapi dalam praktik memiliki pengaruh kuat untuk diikuti hakim di pengadilan lebih rendah pada peristiwa hukum yang sejenis. Artinya, hakim tidak wajib mengikutinya tetapi juga boleh mengikutinya sesuai fakta-fakta hukum dalam perkara yang sejenis.
Berbeda pada negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon (common law system) seperti Amerika Serikat dan Inggris, yurisprudensi diartikan sebagai “ilmu hukum”. Sedangkan putusan hakim dimaknai sebagai “preseden” yang bersifat “the binding force of precedent” yang wajib diikuti hakim lain pada perkara sejenis.
Ini merupakan konsekuensi atas pemberian peran penuh kepada hakim untuk membentuk hukum (judge made law). Jika ada putusan hakim yang berseberangan dengan undang-undang, maka putusan hakimlah yang menjadi rujukan.
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45 Makassar
Pemberitaan sebaiknya membuat kita bergetar dan merasa malu para pejabat negara digiring ke ruang tahanan seperti sepuluh tahun silam. Kita patut mengapresiasi media massa yang saya sering sebut sebagai “media antikorupsi” yang selalu memberitakan kasus korupsi. Ini menjadi salah satu upaya menyadarkan publik dan aparat hukum agar selalu bersemangat memerangi korupsi.
Saat Akil Mochtar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memang publik terkejut lantaran MK selama ini dianggap peradilan yang paling bersih. Tetapi selang beberapa waktu kemudian, publik mulai terbiasa lagi menerima berita kasus korupsi, karena dugaan keborokan di MK sebetulnya sudah terendus sejak tahun 2010.
Setiap pemberitaan korupsi tidak boleh dianggap sekadar rutinitas. Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang korbannya masyarakat luas. Sekiranya uang negara tidak dikorup, boleh jadi rakyat miskin tidak terus meningkat dan pengangguran menghantui para sarjana. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), sampai Maret 2013, jumlah penduduk miskin di Indonesia (penduduk dengan pengeluaran per-kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) mencapai 28,07 juta orang (KORAN SINDO, 16/11/2013).
Optimalisasi korupsi
Belakangan ini sedang dipolemikkan keberadaan “dana optimalisasi” lantaran diduga rawan diselewengkan. Dana dengan jumlah besar yang nomenklaturnya abu-abu karena tidak jelas peruntukannya, selalu muncul menjelang hajatan demokrasi lima tahunan. Dalam APBN 2014 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dana optimalisasi sebesar Rp27 triliun, padahal tahun 2013 hanya Rp11,8 triliun.
Dana yang sejatinya diusulkan DPR begitu rawan disalahgunakan untuk memenuhi ambisi anggota DPR terhadap berbagai proyek yang akan diajukan kepada pemerintah. Setidaknya bisa dicurigai sebagai dana untuk memenuhi logistik pemilu 2014 bagi partai politik yang mendudukkan kadernya di DPR. Pengamat dan aktivis antikorupsi mencurigai proyek yang diusulkan DPR melalui dana optimalisasi sudah disusun secara sistematis.
Bisa dilihat pada pembagian yang merata pada tiap-tiap fraksi dan komisi secara proporsional sesuai jumlah anggota DPR. Partai yang terbanyak kadernya duduk di DPR, paling besar mendapat jatah dana optimalisasi. Ini terjadi karena posisi Badan Anggaran (Banggar) DPR yang memiliki kewenangan luar biasa sampai menentukan angka-angka (satuan tiga). Banggar DPR begitu leluasa menentukan jenis proyek dan besarnya dana optimalisasi agar terlihat sesuai dengan peruntukannya.
Dana optimalisasi yang begitu luas diberitakan, tidak boleh hanya sekadar berita rutinitas belaka. KPK perlu menelisik penyusunan dan peruntukannya lantaran berpotensi menjadi “optimalisasi korupsi”. Sebelum dana dicairkan perlu dievaluasi lantaran diduga untuk memenuhi kepentingan tertentu menjelang Pemilu 2014.
Jika ada indikasi ke arah itu, Presiden SBY wajib membekukan dana itu sebagai sisa anggaran lebih, sebab tidak ada yang bisa menggaransi peruntukannya. MK juga sedang mendalami permohonan uji materi mengenai sejauhmana hak anggaran DPR yang begitu luar biasa.
Apakah fungsi anggaran yang diimplementasi Banggar DPR sampai mengusulkan angka-angka (satuan tiga) dalam APBN sah secara konstitusional? Sebab yang lazim sejauh ini, DPR seharusnya hanya merevisi angka-angka anggaran tanpa mengusulkan atau membuat nomenklatur baru.
Buru aset koruptor
Hal lain yang perlu diapresiasi di hari antikorupsi, adalah pengembalian kerugian keuangan negara. Misalnya, pembayaran uang pengganti dan mengejar aset koruptor yang disembunyikan di luar negeri. Untuk membayar uang pengganti bagi terpidana, perlu dibentuk tim khusus. Sebab meskipun dikenakan Undang-undang Pencucian Uang, kejaksaan dan KPK sering mengalami kesulitan menyita hasil korupsi, terutama yang disembunyikan di luar negeri.
Prinsipnya, uang negara yang dikorup harus dikembalikan, bukan diganti dengan pidana penjara yang disubsiderkan dalam putusan hakim. Putusan MA terhadap Angelina Sondakh (Angie) patut dijadikan landasan. Hakim Agung Artidjo Alkostar (20/11/2013) yang menjadi ketua majelis hakim, menghukum Angie 12 tahun penjara, denda Rp500 juta, dan membayar uang pengganti sejumlah kerugian negara yang terbukti dikorupsi sebesar Rp12,58 miliar dan 2,35 juta dollar AS (sekitar Rp27,4 miliar) subsider lima tahun penjara.
Sebelumnya, Angie dihukum 4 tahun 6 bulan penjara plus denda, tanpa pembayaran uang pengganti. Kita berharap agar hakim Pengadilan Tipikor di daerah mengikuti atau menjadikan putusan ini sebagai yurisprudensi. Sebab korupsi bukan hanya berwatak extraordinary, melainkan juga kejahatan yang membunuh rakyat pelan-pelan. Jikapun Indonesia yang secara teori menganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil law system) tidak terikat pada putusan sebelumnya, tetapi perlu menjadi perhatian hakim.
Yurisprudensi atau putusan hakim (MA) yang berkekuatan hukum tetap merupakan “persuasive precedent” (preseden yang persuasif), tetapi dalam praktik memiliki pengaruh kuat untuk diikuti hakim di pengadilan lebih rendah pada peristiwa hukum yang sejenis. Artinya, hakim tidak wajib mengikutinya tetapi juga boleh mengikutinya sesuai fakta-fakta hukum dalam perkara yang sejenis.
Berbeda pada negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon (common law system) seperti Amerika Serikat dan Inggris, yurisprudensi diartikan sebagai “ilmu hukum”. Sedangkan putusan hakim dimaknai sebagai “preseden” yang bersifat “the binding force of precedent” yang wajib diikuti hakim lain pada perkara sejenis.
Ini merupakan konsekuensi atas pemberian peran penuh kepada hakim untuk membentuk hukum (judge made law). Jika ada putusan hakim yang berseberangan dengan undang-undang, maka putusan hakimlah yang menjadi rujukan.
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45 Makassar
(hyk)