Pelajaran dari Walang
A
A
A
MASYARAKAT DKI Jakarta dijamin terperangah setelah membaca berita penangkapan seorang pengemis bernama Walang bin Kilon, 54. Betapa tidak, saat dicokok petugas Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan (26/11), Walang yang tengah beraksi bersama rekannya, Sa’aran, di gerobaknya ditemukan uang sebesar Rp25 juta!
Hebatnya lagi, duit yang besarnya lebih dari 10 kali UMR DKI Jakarta tersebut hanya dikumpulkan dalam waktu 15 hari! Berita penangkapan pengemis dengan segepok uang seolah kembali menggugah kesadaran masyarakat bahwa mereka tertipu habis-habisan oleh penampilan dan aksi Walang dkk. Padahal sejatinya, mereka bukanlah orang yang pantas dibelaskasihani, karena mereka adalah “pemburu harta”.
Lihat saja apa yang akan dilakukan Walang dengan uang yang diperolehnya, untuk nyicil naik haji dan membeli Honda Jazz! Jika masyarakat baru tersadar akan wajah sesungguhnya Walang dkk, berarti kesadaran itu sudah sangat terlambat karena sejatinya informasi bahwa pengemis yang bergentayangan di sudut-sudut kota––baik yang berkeliling dari rumah ke rumah, membawa balita di pinggir jalan, atau berjalan sembari membawa gerobak–– tidak lebih sebagai kamuflase untuk mengelabui masyarakat.
Malah, ada fakta sebagian di antara mereka adalah bagian mafia yang diorganisasi secara rapi. Informasi bahwa mereka menjadi pengemis dan gelandang bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum, tapi untuk mengejar kekayaan sebenarnya sudah banyak beredar. Bahkan sempat ada yang menghitung, jika setiap lampu merah menyala setiap pengemis bisa mendapat seribu rupiah. Maka dalam sehari, setiap pengemis bisa mendulang sekian ratus ribu rupiah.
Berdasarkan temuan Suku Dinas Sosial Jakarta, setiap pengemis diwilayah ini tidak kurang mampu mengumpulkan uang Rp700.000 per hari. Fakta-fakta tersebut sebenarnya sudah sangat dipahami Pemprov DKI. Untuk mempersempit ruang gerak pengemis, gelandang, dan profesi sejenis, Pemprov DKI sudah mengeluarkan Perda No 8/2007 tentang Ketertiban Umum. Pasal 40 huruf c perda secara tegas melarang siapa pun memberikan sejumlah uang atau barang kepada mereka, dan bagi yang melanggar diancam pidana kurungan antara 10 hingga 60 hari atau denda antara Rp100.000 hingga Rp20 juta.
Selain perda, KUHP––pada Pasal 504 dan 505––bahkan juga sudah mengatur larangan tersebut. Entah mengapa, pengemis dan gelandangan masih saja bergentayangan. Bisa jadi, aparat tidak serius menjalankan aturan tersebut, hingga pengemis dan gelandangan menyepelekan aturan tersebut. Gubernur DKI Jakarta Jokowi bahkan malah sempat memberikan uang Rp5.000 atau goceng kepada pengemis seusai salat Jumat di Masjid Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta.
Selain hukum tidak efektif, bisa jadi masyarakat sendiri yang secara tidak langsung memberikan ruang gerak kepada mereka dengan tetap memberikan uang receh. Munculnya kasus Walang tentu harus menjadi pelajaran, bahwa aparat harus benar-benar menegakkan hukum terhadap para pelaku “bisnis iba” ini, sehingga Jakarta bisa bersih dari gelandangan dan pengemis.
Namun, ujungnya tentu kembali ke masyarakat apakah tetap memberi hati kepada mereka atau tidak. Jika tujuannya beramal, lebih baik diserahkan kepada panti asuhan atau masjid, sehingga harta yang diamalkan bisa tepat sasaran. Bagi para dermawan, semestinya tak perlu ragu untuk tidak beramal kepada para pengemis dkk.
Pasalnya, Majelis Ulama Indonesia sudah mengharamkan peminta-peminta dan sang pemberi, apa pun alasannya, karena berpotensi merugikan banyak orang dan menimbulkan kerawanan. Apalagi tak jarang, mereka yang masuk golongan penyandang masalah kesejahteraan sosial melakukan penipuan dengan menggugah iba masyarakat seperti pura-pura hamil, sakit, bahkan cacat.
Hebatnya lagi, duit yang besarnya lebih dari 10 kali UMR DKI Jakarta tersebut hanya dikumpulkan dalam waktu 15 hari! Berita penangkapan pengemis dengan segepok uang seolah kembali menggugah kesadaran masyarakat bahwa mereka tertipu habis-habisan oleh penampilan dan aksi Walang dkk. Padahal sejatinya, mereka bukanlah orang yang pantas dibelaskasihani, karena mereka adalah “pemburu harta”.
Lihat saja apa yang akan dilakukan Walang dengan uang yang diperolehnya, untuk nyicil naik haji dan membeli Honda Jazz! Jika masyarakat baru tersadar akan wajah sesungguhnya Walang dkk, berarti kesadaran itu sudah sangat terlambat karena sejatinya informasi bahwa pengemis yang bergentayangan di sudut-sudut kota––baik yang berkeliling dari rumah ke rumah, membawa balita di pinggir jalan, atau berjalan sembari membawa gerobak–– tidak lebih sebagai kamuflase untuk mengelabui masyarakat.
Malah, ada fakta sebagian di antara mereka adalah bagian mafia yang diorganisasi secara rapi. Informasi bahwa mereka menjadi pengemis dan gelandang bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum, tapi untuk mengejar kekayaan sebenarnya sudah banyak beredar. Bahkan sempat ada yang menghitung, jika setiap lampu merah menyala setiap pengemis bisa mendapat seribu rupiah. Maka dalam sehari, setiap pengemis bisa mendulang sekian ratus ribu rupiah.
Berdasarkan temuan Suku Dinas Sosial Jakarta, setiap pengemis diwilayah ini tidak kurang mampu mengumpulkan uang Rp700.000 per hari. Fakta-fakta tersebut sebenarnya sudah sangat dipahami Pemprov DKI. Untuk mempersempit ruang gerak pengemis, gelandang, dan profesi sejenis, Pemprov DKI sudah mengeluarkan Perda No 8/2007 tentang Ketertiban Umum. Pasal 40 huruf c perda secara tegas melarang siapa pun memberikan sejumlah uang atau barang kepada mereka, dan bagi yang melanggar diancam pidana kurungan antara 10 hingga 60 hari atau denda antara Rp100.000 hingga Rp20 juta.
Selain perda, KUHP––pada Pasal 504 dan 505––bahkan juga sudah mengatur larangan tersebut. Entah mengapa, pengemis dan gelandangan masih saja bergentayangan. Bisa jadi, aparat tidak serius menjalankan aturan tersebut, hingga pengemis dan gelandangan menyepelekan aturan tersebut. Gubernur DKI Jakarta Jokowi bahkan malah sempat memberikan uang Rp5.000 atau goceng kepada pengemis seusai salat Jumat di Masjid Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta.
Selain hukum tidak efektif, bisa jadi masyarakat sendiri yang secara tidak langsung memberikan ruang gerak kepada mereka dengan tetap memberikan uang receh. Munculnya kasus Walang tentu harus menjadi pelajaran, bahwa aparat harus benar-benar menegakkan hukum terhadap para pelaku “bisnis iba” ini, sehingga Jakarta bisa bersih dari gelandangan dan pengemis.
Namun, ujungnya tentu kembali ke masyarakat apakah tetap memberi hati kepada mereka atau tidak. Jika tujuannya beramal, lebih baik diserahkan kepada panti asuhan atau masjid, sehingga harta yang diamalkan bisa tepat sasaran. Bagi para dermawan, semestinya tak perlu ragu untuk tidak beramal kepada para pengemis dkk.
Pasalnya, Majelis Ulama Indonesia sudah mengharamkan peminta-peminta dan sang pemberi, apa pun alasannya, karena berpotensi merugikan banyak orang dan menimbulkan kerawanan. Apalagi tak jarang, mereka yang masuk golongan penyandang masalah kesejahteraan sosial melakukan penipuan dengan menggugah iba masyarakat seperti pura-pura hamil, sakit, bahkan cacat.
(nfl)