Saling berbagi panggung?

Kamis, 28 November 2013 - 08:10 WIB
Saling berbagi panggung?
Saling berbagi panggung?
A A A
KETIKA bertemu sebagai juri untuk anugerah seni dan penghargaan bintang jasa kebudayaan, satu soal mendasar yang selalu muncul adalah ukuran atau kriteria dasar penilaian. Sebenarnya sederhana kalau kebudayaan dimengerti sebagai ranah acuan makna hidup atau yang dihayati sebagai berharga dan dijadikan pegangan pribadi maupun komunitas untuk menapaki hidup agar tidak krisis.

Bila bingkai itu yang dipakai, apa yang dipandang baik (mewujud dalam kebijaksanaan hidup lokal, dalam pepatah, pantun, pun kisah-kisah simbolik ajaran hidup) serta yang benar, yang indah, dan yang suci dalam kehidupan, itulah ukuran makro (baca: jagat besar nilai-nilai) yang bisa dipakai untuk mengukur siapa yang berhak diberi penghargaan khusus oleh kita semua sebagai bangsa dan negara Indonesia. Karena bingkai pergulatan benturan nilai dan konsistensinya ada di negara Republik Indonesia, pertanyaan kriteria penilaian adalah karya dan kerja-kerja kebudayaan orang tersebut dalam merajut dan menenun keindonesiaan.

Dalam konstitusi kerja kebudayaan tersebut, cirinya adalah majemuk suku, pluralis agama, dan identitas-identitas lokalnya merasa mensyukuri hidup sebagai anugerah Tuhan dalam religiositas dan memperjuangkan terus hormat-menghormati sesama manusia sebagai yang bermartabat. Dinamika itu diperjuangkan terus dengan memberi wajah nyata bahasa keadilan sosial, kesejahteraan bersama, karena kebudayaan diperjuangkan menjadi “panggung” untuk mengorangkan tiap warga dalam keunikannya sebagai gambar Allah dan khalifah-Nya hingga berproses menjadi keadaban hidup bersama.

Proses humanisasi kebudayaan itulah peradaban. Maka setiap kali mau mengukur perjalanan bangsa ini membaik atau memburuk, jelas sudah kriterianya, yaitu semakin manusiawi (humanis) beradab ataukah sebaliknya semakin merosot ke kebiadaban. Lawan atau musuh kriteria di atas adalah dehumanisasi ketika tega mengobjekkan sesama menjadi objek, alat untuk keuntungan sendiri. Dalam gejala pertama ini, ketika banjir dan topan ekonomisasi kapitalis hanya menomorsatukan penghargaan manusia dengan uang dan materi, terjadilah pengerdilan atau reduksi nilai yang menurunkan martabat manusia dari subjek menjadi objek.

Pertanyaan radikalnya adalah saat uangdanmateri secara dominan ekstrem menjadi kriteria dan penentu penilaian, lalu apakah ukuran kriteria kultural kemudian akan kita buang dan tendang keluar? Begitu pula ketika menjelang Pemilu 2014 ini, politisasi menjadi-jadi dan mengecilkan hubungan antarwarga dalam reduksi hubungan antara penguasa dan yang dikuasai serta kalkulasi kuasa yang dipakai untuk ukuran mana musuh, mana kawan dengan akibat retak pecahnya kerukunan kita. Di sini pulalah tantangan kriteria budaya yang merajut, merekatkan warga sesama saudara menjadi taruhannya. Apalagi politisasi agama dan etnik rasialis dipakai untuk memenangkan kepentingan dengan caracara Machiavellian.

Pada dasarnya dalam diri manusia ada hasrat naluri hidup untuk tetap eksis, maka ekspresi keluarnya ketika dihadapkan pada tindasan struktural atau himpitan perilaku sesamanya yang menginjaknya, ia akan terus melawan. Ia akan terus berusaha survival sehingga pada titik terendah dihadapkannya pada pilihan melawan agar tetap hidup, si makhluk manusia akan habis-habisan menyambung nyawa untuk survival. Ingatlah pidato Bung Karno saat bangsa ini masih ditindas fisik dan mental oleh kolonial, cacing-cacing pun akan menggeliat meronta ketika diinjak!

Tidak hanya itu, sebagai makhluk budaya, manusia berkemampuan religius memaknai hidup bertumpu pada keyakinan akan Sang Pencipta, berkemampuan mencari mengembangkan nalar budi untuk mengolah alam dalam potensi kognitif di akal budinya yang mampu merancang bagaimana akal budi direalisasi refleksinya menjadi teknologi untuk membuat lingkungan dari nature menjadi culture. Sebagai makhluk budaya pula, manusia memiliki kemampuan menilai baik dan buruk dari nuraninya.

Pada gejala ini, “panggung” menjadi kata kunci tidak hanya harfiah untuk pentas diri dan tampil di depan dunia (ingatlah petikan lagu populer unik “dunia adalah panggung sandiwara” yang pernah dinyanyikan Ahmad Albar dengan Godbless-nya). Kata kunci “panggung” juga memiliki arti eksistensial psiko-sosial, yaitu setiap orang butuh secara psiko (psikologis) dan secara sosial untuk diorangkan, artinya ia butuh panggung tempat ia diterima, dihargai apa adanya, keunikannya plus negatifnya sebagai manusia.

Ia akan mengecil menjadi merasa tak berarti ketika dimatikan tampilan panggungnya dengan dikecilkan, dicap selalu kekanak-kanakan atau berhadapan dengan kekerasan sesamanya yang selalu membesarkan dirinya dengan mengecilkan orang lain. Sebagai panggung, orang butuh secara sosial dihargai kontribusinya, kerja-kerjanya. Maka, amat menarik dialog antara yang tua senior yang cenderung mengisahkan sejarah kebesaran masa lalunya (his story dan bukan history), berhadapan dengan yang muda, yang penuh semangat selalu mau ke masa depan dengan gadget komunikasi dan digitalisasi visual (maya-nya). Yang satu, obsesi ke masa lampau. Yang kedua, obsesi ke masa depan.

Padahal bila memakai kriteria kebudayaan untuk menjembatani dan memberi makna kultural pada panggung itu, kita bisa belajar pada ahli-ahli budaya seperti Walter J Ong, para teoretikus kritis atau Indonesianis budaya kita sejak Koentjaraningrat (alm), Parsudi Suparlan (alm) atau figur-figur seperti Denys Lombard, Zoetmulder, Geertz, Van Peursen, Tonybee. Mengapa? Pasalnya, dalam bingkai kriteria proses budaya, kita sekarang ini mempunyai periode unik dengan bertemunya langsung 3 generasi, yaitu generasi I bertradisi budaya lisan, generasi II berbudaya kertas atau tulis, dan generasi III berbudaya digital visual dengan sekali sentuh ujung jari sudah membuka komunikasi ke antero dunia dalam layar virtual.

Tiap generasi punya positif dan negatifnya. Generasi I yang lisan menghidupi makna budaya kehadiran, sapaan langsung manusiawi dan dialog-dialog kehadiran presensi. Negatifnya, dalam penghayatan waktu dan ruang, mereka dianggap tidak lincah gerak, tidak mobile dan lambat, karena hidup dinikmati, tetapi relasi antarmereka mendalam karena hati saling bersapa, nyanyian dan dongeng didendangkan sebagai media narasi sebelum tidur oleh ibu, nenek, tetua mereka.

Generasi II adalah generasi budaya tulisan yang belum puas bila belum memegang helai-helai kertas halaman buku kala membaca. Kelebihan dari generasi ini membaca tekun, memaknai bacaan dengan merangkum, tetapi sekaligus berfokus konsentrasi membaca dalam tradisi baca sebagai kebiasaan (reading habit) akan mencerna dan memamah biak makna buku untuk dituliskan kembali sebagai karangan ringkas, rangkuman bacaan, serta skripsi-skripsi akademis yang membuahkan writing habit. Generasi III ialah generasi virtual digital yang ternyata positifnya dengan cepat berkomunikasi melintasi batas-batas geografi fisik, melahap informasi dan pengetahuan dari “Prof Google” dengan agresif dan terus maju tak kenal waktu. Belum lagi klik atau sentuh ujung jari yang berkomunikasi dengan sosialita dan rekan-rekan dunia maya, tanpa kehadiran fisik, mereka diuji bisa percayakah pada wajah-wajah virtual ini?

Cara menanggapi realitas juga gesit, ‘cak cak cak’ begitu diberi pertanyaan yang membuat mereka asyik mencari, maka cepat pulalah mereka siapkan solusi dan jawaban. Namun, semuanya digital, virtual. Negatifnya, realitas dunia dimampatkan dan dilipat tiada batas lagi rentang waktu dan jarak tempat. Apa negatifnya? Tanpa kehadiran fisik dan riil alam dan manusia ini lalu presence disamakan dengan absence alias ada dan tiada direduksi dalam panggung tipis, maka asyik bernama iPad dan semua gadget komunikasi paling mutakhir.

Yang disana jauh menjadi dekat sedang yang di dekatnya hadir sebagai orang tua, adik-kakak, teman-teman atau sesama yang sedang berada di satu ruang menjadi jauh dan dijauhkan. Lalu tugas antar generasilah sebenarnya untuk saling menjadi jembatan agar negatif-negatif diminimalkan alias yang tidak manusiawi semakin dihilangkan hingga menjadi lebih manusiawi. Generasi III yang mengejek generasi I dan II sebagai generasi zaman dulu (jadul) dan gaptek (gagap teknologi) bisa lebih menyapa dan membantu lebih tahu teknologi komunikasi yang inti kulturalnya adalah memperadabkan relasi manusiawi ketika bahasa komunikasinya adalah bahasa perhatian, bahasa peduli atau bahasa cinta.

Mengapa dalam soal ini kriteria budaya pengukuran peradaban tidak kita wujudkan nyata dengan ajakan saling berbagi panggung, ketika panggung bersama bernama Indonesia ini mengadakan perhelatan? Saya selalu tersentuh dan yakin, kita bangsa peka dan peduli sesama saat tiap kali menikmati panggung-panggung konser musik ragam, konser etnik lagu Nusantara apalagi konser-konser rohani pencarian dana dan charity? Mengapa? Di sana teladan berbagi panggung dicontohkan kepada kita oleh para artis ketika bergiliran menyanyi yang terbaik untuk membahagiakan seluruh yang hadir dan pemirsa seluruh tayangan televisi di Tanah Air.

Mengapa pula kriteria nilai kultural tidak kita lebih giatkan hidup-hidup (karena sebagian seniman, rakyat, massa pencinta seni dan budaya sejati sudah melakukannya), yaitu berbagi kredo. Artinya, saudara-saudara yang diberi talenta Tuhan dan biasa berbahasa nyanyi, belajarlah pada yang biasa berbahasa arsitek bangunan keras atau fisik jembatan, Anda yang biasa dan ahli berbahasa prosa puisi dengan sastra semoga mengajari dalam dialog-dialog kehidupan dengan mereka yang terus sibuk dengan rasionalitas model, kapital, dan uang dengan kalkulasi rugi atau tidak.

Jadi, kriteria pemanusiawian kerja-kerja budaya yang makin humanislah yang harus menjadi rekan dialog kerja nyata mencintai bangsa Indonesia yang plural ini. Inilah kerja peradaban yang oleh pendiri-pendiri bangsa sudah ditulis dalam bahasa konstitusi di alinea 4 Pembukaan UUD 1945: mencerdaskan peri kehidupan kita semua.

MUDJI SUTRISNO SJ
Guru Besar STF Driyarkara, Dosen Pasca Sarjana UI, Budayawan
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0671 seconds (0.1#10.140)