Sembilan tahun kebocoran
A
A
A
PADA 11 Desember 2008, Cameron Hume, Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta, mengirim sebuah telegram panjang ke markas Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat di Washington DC.
Ditembuskan ke stasiun pemantauan diplomatik Amerika di 12 ibu kota negara, dari Abuja hingga Moscow, telegram menuturkan kiat-kiat Kedutaan memenangkan ‘peperangan ide’ di Indonesia.
Salah satunya memuat kesaksian mencengangkan: “Informally, the Embassy is aware of which key individuals, NGO leaders, parlementarians, journalists, or organizations are sympathetic to, and supportive of, specific U.S policies our our varius messages.”
Pasca bocornya telegram itu di situs WikiLeaks pada September 2011, mereka yang membacanya jadi bertanya-tanya: bagaimana bisa Kedutaan Amerika mengurut kacang mana tokoh masyarakat, pimpinan LSM, politisi Senayan, wartawan dan organisasi masyarakat yang bersimpati pada Amerika dan mana yang tidak?
Kala itu, ada yang berspekulasi dengan mengungkit sebaris fakta yang juga tercantum dalam telegram yang sama. Yakni, Kedutaan punya 17.000 orang ‘kaki tangan’ di Indonesia. Bisa jadi, duga sebagian orang, dari bisik-bisik para kaki tangan itulah, Kedutaan lalu bisa cepat mengenali mana kawan dan mana lawan.
Pekan lalu, di markas Lembaga Sandi Negara di bilangan Ragunan, Jakarta Selatan, seorang pejabat senior Lembaga tak dapat menahan tawa saat SINDO Weekly mengungkit isi telegram dan mengaitkannya dengan kemungkinan adanya penyadapan masif. “Lho, baru sadar sekarang kalau kalian (wartawan) semua disadap?”
Sang pejabat memilih berlalu, menghindari detail. Tapi andai isyaratnya itu benar, ini bisa jadi konfirmasi ‘resmi’ dari dinas telik sandi ihwal masifnya penyadapan intelijen asing di Indonesia. Dokumen yang dibocorkan Edward Snowden, bekas pegawai kontrak Dinas Telik Sandi Amerika Serikat (National Security Agency), sejauh ini menunjukkan penyadapan hanya tertuju pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ibu Negara Kristiani Herawati, dan orang-orang penting di lingkaran dalam kekuasaan.
Diungkap semua, negara geger
Tapi di markas Lemsaneg pekan lalu, bahkan cerita yang dianggap gawat itu, yang memicu ketegangan tinggi antara Jakarta-Canberra—seperti tidak direken. Dari belasan pejabat senior lembaga yang menjamu wartawan di sebuah sesi “coffee morning”—yang pertama sejak lembaga masih bernama Djawatan Kode pada 1946—tak seorang pun yang menunjukkan raut tegang.
Beberapa bahkan seperti punya magma informasi yang siap meletus. Meski terpotong-potong, tapi penggalan pernyataan mereka menghadirkan perspektif lain atas skandal penyadapan intelijen asing.
“Kami tahu kalau Bu Ani sudah disadap sejak 2004. Sejak di Singapura.”
“Istana dan seputarannya terbuka untuk disadap dan itu sudah berlangsung dalam sembilan tahun terakhir.”
“Kalau kami ungkap semua yang kami tahu, bisa geger negara.”
Mayor Jenderal Djoko Setiadi, bos besar Lemsaneg, punya cerita tersendiri. Dalam sesi dialog informal dengan jajaran pimpinan redaksi media, dia seperti sengaja menghindar dari detail terkait ‘pengetahuan’ lembaganya atas isi dokumen yang diributkan politisi Jakarta dan Canberra.
Sebaliknya, dia memberi gambaran tentang “perang asimetris”. “Penjajah,” katanya, “lebih tertarik dengan penguasaan informasi. Dan di era perang asimetris seperti sekarang, pilihannya hanya dua: serang atau kalah. Memilih netral sama saja memilih bertekut lutut.”
Contoh-contohnya tak pernah terpublikasi sebelumnya. (Djoko awalnya gamblang membeberkan semuanya namun belakangan meminta khusus agar nama kota dan negara disamarkan):
“Di Kota W di Negara A, kami mendapati alat sadap dipasang di gagang pintu ruang kerja Duta Besar kita. Di kota yang sama, kami mendapati transmitter dipasang di saklar listrik antara ruang kerja Duta Besar dan sekretaris Kedutaan. Siapa yang pasang itu kami tidak tahu.”
“Di negara kecil S, yang kerap disebut-sebut sebagai saudara dekat, kami menemukan alat sadap dipasang di plafon tepat di atas meja kerja Duta Besar kita.”
“Kami juga mendapati di negara J di Eropa, alat sadap dipasang di plafon ruang kerja Duta Besar”.
“Di Kota C di selatan Indonesia, musuh memasang alat sadap di boks alarm Kedutaan”
Bagi Djoko, contoh-contoh itu sudah cukup untuk bercerita betapa Indonesia kerap jadi bulan-bulanan penyadapan negara-negara yang kerap hadir dengan wajah seorang sahabat dekat. Pejabat negara, katanya, perlu menaikkan level kepekaan keamanan setinggi mungkin, terlebih di tengah munculnya pelbagai dokumen yang memuat catatan detail penyadapan pejabat negara.
Sebab, kata Djoko mengutip Roebini Kertopati, Bapak telik sandi Indonesia, “kekhilafan satu orang saja cukup untuk menyebabkan keruntuhan negara.”
Baca ulasan selengkapnya, terbut Kamis 28 November 2013, SINDO Weekly No 39 Tahun 2, 2013
Ditembuskan ke stasiun pemantauan diplomatik Amerika di 12 ibu kota negara, dari Abuja hingga Moscow, telegram menuturkan kiat-kiat Kedutaan memenangkan ‘peperangan ide’ di Indonesia.
Salah satunya memuat kesaksian mencengangkan: “Informally, the Embassy is aware of which key individuals, NGO leaders, parlementarians, journalists, or organizations are sympathetic to, and supportive of, specific U.S policies our our varius messages.”
Pasca bocornya telegram itu di situs WikiLeaks pada September 2011, mereka yang membacanya jadi bertanya-tanya: bagaimana bisa Kedutaan Amerika mengurut kacang mana tokoh masyarakat, pimpinan LSM, politisi Senayan, wartawan dan organisasi masyarakat yang bersimpati pada Amerika dan mana yang tidak?
Kala itu, ada yang berspekulasi dengan mengungkit sebaris fakta yang juga tercantum dalam telegram yang sama. Yakni, Kedutaan punya 17.000 orang ‘kaki tangan’ di Indonesia. Bisa jadi, duga sebagian orang, dari bisik-bisik para kaki tangan itulah, Kedutaan lalu bisa cepat mengenali mana kawan dan mana lawan.
Pekan lalu, di markas Lembaga Sandi Negara di bilangan Ragunan, Jakarta Selatan, seorang pejabat senior Lembaga tak dapat menahan tawa saat SINDO Weekly mengungkit isi telegram dan mengaitkannya dengan kemungkinan adanya penyadapan masif. “Lho, baru sadar sekarang kalau kalian (wartawan) semua disadap?”
Sang pejabat memilih berlalu, menghindari detail. Tapi andai isyaratnya itu benar, ini bisa jadi konfirmasi ‘resmi’ dari dinas telik sandi ihwal masifnya penyadapan intelijen asing di Indonesia. Dokumen yang dibocorkan Edward Snowden, bekas pegawai kontrak Dinas Telik Sandi Amerika Serikat (National Security Agency), sejauh ini menunjukkan penyadapan hanya tertuju pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ibu Negara Kristiani Herawati, dan orang-orang penting di lingkaran dalam kekuasaan.
Diungkap semua, negara geger
Tapi di markas Lemsaneg pekan lalu, bahkan cerita yang dianggap gawat itu, yang memicu ketegangan tinggi antara Jakarta-Canberra—seperti tidak direken. Dari belasan pejabat senior lembaga yang menjamu wartawan di sebuah sesi “coffee morning”—yang pertama sejak lembaga masih bernama Djawatan Kode pada 1946—tak seorang pun yang menunjukkan raut tegang.
Beberapa bahkan seperti punya magma informasi yang siap meletus. Meski terpotong-potong, tapi penggalan pernyataan mereka menghadirkan perspektif lain atas skandal penyadapan intelijen asing.
“Kami tahu kalau Bu Ani sudah disadap sejak 2004. Sejak di Singapura.”
“Istana dan seputarannya terbuka untuk disadap dan itu sudah berlangsung dalam sembilan tahun terakhir.”
“Kalau kami ungkap semua yang kami tahu, bisa geger negara.”
Mayor Jenderal Djoko Setiadi, bos besar Lemsaneg, punya cerita tersendiri. Dalam sesi dialog informal dengan jajaran pimpinan redaksi media, dia seperti sengaja menghindar dari detail terkait ‘pengetahuan’ lembaganya atas isi dokumen yang diributkan politisi Jakarta dan Canberra.
Sebaliknya, dia memberi gambaran tentang “perang asimetris”. “Penjajah,” katanya, “lebih tertarik dengan penguasaan informasi. Dan di era perang asimetris seperti sekarang, pilihannya hanya dua: serang atau kalah. Memilih netral sama saja memilih bertekut lutut.”
Contoh-contohnya tak pernah terpublikasi sebelumnya. (Djoko awalnya gamblang membeberkan semuanya namun belakangan meminta khusus agar nama kota dan negara disamarkan):
“Di Kota W di Negara A, kami mendapati alat sadap dipasang di gagang pintu ruang kerja Duta Besar kita. Di kota yang sama, kami mendapati transmitter dipasang di saklar listrik antara ruang kerja Duta Besar dan sekretaris Kedutaan. Siapa yang pasang itu kami tidak tahu.”
“Di negara kecil S, yang kerap disebut-sebut sebagai saudara dekat, kami menemukan alat sadap dipasang di plafon tepat di atas meja kerja Duta Besar kita.”
“Kami juga mendapati di negara J di Eropa, alat sadap dipasang di plafon ruang kerja Duta Besar”.
“Di Kota C di selatan Indonesia, musuh memasang alat sadap di boks alarm Kedutaan”
Bagi Djoko, contoh-contoh itu sudah cukup untuk bercerita betapa Indonesia kerap jadi bulan-bulanan penyadapan negara-negara yang kerap hadir dengan wajah seorang sahabat dekat. Pejabat negara, katanya, perlu menaikkan level kepekaan keamanan setinggi mungkin, terlebih di tengah munculnya pelbagai dokumen yang memuat catatan detail penyadapan pejabat negara.
Sebab, kata Djoko mengutip Roebini Kertopati, Bapak telik sandi Indonesia, “kekhilafan satu orang saja cukup untuk menyebabkan keruntuhan negara.”
Baca ulasan selengkapnya, terbut Kamis 28 November 2013, SINDO Weekly No 39 Tahun 2, 2013
(hyk)