Disadap, pemerintah harus tangguh hadapi cyber war
A
A
A
Sindonews.com - Pakar teknologi komunikasi Sarwoto Atmosutarno mengatakan, liberalisasi telekomunikasi yang telah diberlakukan sejak tahun 1995 telah menyebabkan TIK Indonesia terlalu terbuka.
Salah satu dampak paling buruk dari liberalisasi ini adalah komunikasi yang dilakukan oleh jajaran pejabat pemerintahan yang seyogyanya sayrat pengamanan terabaikan dan mendapatkan perlakuan layaknya komunikasi publik. Sementara desain komunikasi publik adalah jaringan terbuka yang rawan penyadapan.
"Cyber war itu nyata dan tidak perlu deklarasi perang. Geopolitik dan geostrategi mendesak kita untuk segera membangun cyber defense berbasis teknologi terestrial maupun ruang angkasa/satelit berbasis digital," kata Sarwoto dalam keterangan resminya, Rabu (20/11/2013).
Sejak liberalisasi, jaringan telekomunikasi militer dan keamanan Indonesia tertinggal dibanding jaringan telekomunikasi publik. Ketertinggalan ini kemudian diperparah dengan belum adanya kesadaran akan pentingnya keberadaan cyber war dan cyber defense di kalangan pembangun dan pengelola jaringan tersebut yang seharusnya segera direalisasikan dan tidak hanya menjadi wacana.
"Selama pejabat publik menggunakan jaringan komunikasi publik jelas tidak aman. Sudah saatnya komunikasi pemerintahan dibuatkan sistem telekomunikasi khusus. Padahal UU Nomor 36/1999 telah menyebutkan soal ini tetapi pelaksanaannya minim, bahkan prioritasnya terabaikan," terang mantan Ketua Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) ini.
Sarwoto mengungkapkan, idealnya pejabat dan instansi pemerintah serta pihak-pihak yang rawan mendapatkan serangan dalam cyber war difasilitasi dengan jaringan pengguna khusus (closed user group, CUG) yang lebih aman. Dengan jaringan semacam ini, aktivitas telekomunikasi pejabat dan instansi pemerintah atau bahkan figur publik dapat dilindungi keamanannya secara khusus dan tertutup, dengan hierarki yang jelas standar operasinya.
"CUG dengan disain topologi jaringan khusus saat ini digunakan oleh banyak negara yang sudah sangat sadar peranan cyber war dalam perang modern," ungkapnya.
Dengan sumber daya yang ada, Sarwoto optimistis Indonesia mampu membangun jaringan cyber defense yang tangguh. Menurutnya, kurang lebih dalam jangka lima tahun kita sudah bisa mengejar ketertinggalan di bidang ini.
"Yang penting ada konsistensi perencanaan dan tidak tergantung pada periode siapa yang berkuasa untuk melaksanakannya," pungkasnya.
Bukan era perang dingin, penyadapan masalah serius
Salah satu dampak paling buruk dari liberalisasi ini adalah komunikasi yang dilakukan oleh jajaran pejabat pemerintahan yang seyogyanya sayrat pengamanan terabaikan dan mendapatkan perlakuan layaknya komunikasi publik. Sementara desain komunikasi publik adalah jaringan terbuka yang rawan penyadapan.
"Cyber war itu nyata dan tidak perlu deklarasi perang. Geopolitik dan geostrategi mendesak kita untuk segera membangun cyber defense berbasis teknologi terestrial maupun ruang angkasa/satelit berbasis digital," kata Sarwoto dalam keterangan resminya, Rabu (20/11/2013).
Sejak liberalisasi, jaringan telekomunikasi militer dan keamanan Indonesia tertinggal dibanding jaringan telekomunikasi publik. Ketertinggalan ini kemudian diperparah dengan belum adanya kesadaran akan pentingnya keberadaan cyber war dan cyber defense di kalangan pembangun dan pengelola jaringan tersebut yang seharusnya segera direalisasikan dan tidak hanya menjadi wacana.
"Selama pejabat publik menggunakan jaringan komunikasi publik jelas tidak aman. Sudah saatnya komunikasi pemerintahan dibuatkan sistem telekomunikasi khusus. Padahal UU Nomor 36/1999 telah menyebutkan soal ini tetapi pelaksanaannya minim, bahkan prioritasnya terabaikan," terang mantan Ketua Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) ini.
Sarwoto mengungkapkan, idealnya pejabat dan instansi pemerintah serta pihak-pihak yang rawan mendapatkan serangan dalam cyber war difasilitasi dengan jaringan pengguna khusus (closed user group, CUG) yang lebih aman. Dengan jaringan semacam ini, aktivitas telekomunikasi pejabat dan instansi pemerintah atau bahkan figur publik dapat dilindungi keamanannya secara khusus dan tertutup, dengan hierarki yang jelas standar operasinya.
"CUG dengan disain topologi jaringan khusus saat ini digunakan oleh banyak negara yang sudah sangat sadar peranan cyber war dalam perang modern," ungkapnya.
Dengan sumber daya yang ada, Sarwoto optimistis Indonesia mampu membangun jaringan cyber defense yang tangguh. Menurutnya, kurang lebih dalam jangka lima tahun kita sudah bisa mengejar ketertinggalan di bidang ini.
"Yang penting ada konsistensi perencanaan dan tidak tergantung pada periode siapa yang berkuasa untuk melaksanakannya," pungkasnya.
Bukan era perang dingin, penyadapan masalah serius
(lal)