Pemimpin teladan
A
A
A
SALAH satu efek gencarnya pemberantasan korupsi adalah semakin sulitnya masyarakat mencari sosok pemimpin atau pejabat negara yang benar-benar jujur, bersih, bersahaja, dan 100% bekerja untuk rakyat.
Sudah banyak pejabat dan penyelenggara negara yang dijadikan tersangka, diadili, dan divonis karena terlibat kasus korupsi dan tindak pidana lain. Namun, menurut Pusat Penelitian dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), jumlah transaksi mencurigakan yang berseliweran kian hari terus bertambah dengan modus yang semakin beragam dan rumit. Sejak Januari 2003, PPATK telah menerima laporan transaksi keuangan mencurigakan hingga 13.634.115 laporan.
Peningkatan jumlah transaksi mencurigakan itu menunjukkan upaya melakukan tindak pidana pencucian uang (money laundering) malah semakin meningkat. Padahal sudah banyak pejabat negara yang ditangkap, ditahan, diadili, dan divonis di pengadilan setelah diungkap oleh KPK, kejaksaan maupun kepolisian. Semangat untuk korupsi tidak surut, tapi malah semakin canggih dengan modus yang semakin rumit.
Ini berarti ancaman hukuman badan (penjara) oleh pengadilan dan hukuman moral oleh publik terhadap pelaku tindak pidana korupsi bukan sesuatu yang ditakuti. Dalam jangka pendek, ketika proses penangkapan dan persidangan, terdakwa perkara korupsi memang kelihatan terpukul berat oleh perhatian publik dan media massa. Tapi seiring dengan perjalanan waktu, lambat laut perhatian publik akan berpindah ke kasus-kasus lain.
Makin banyak kasus korupsi besar yang diungkap, semakin terpecah pula perhatian publik terhadap kasus-kasus tersebut. Intensitas perhatian terhadap satu kasus besar sangat mungkin menutupi atau menghilangkan perhatian pada kasus besar lainnya. Bagi sebagian kalangan, pecah perhatian ini menjadi celah tersendiri yang bisa dimanfaatkan. Karena itu dalam dunia komunikasi, publik sudah cukup mengenal istilah pengalihan isu.
Artinya, menutupi satu skandal korupsi besar dengan membuka skandal korupsi yang lain. Ini sebatas kecurigaan saja karena memang sulit dibuktikan. Yang tampak hanya indikasinya saja. Lantas bagaimana agar perilaku koruptif ini bisa ditekan seminimal mungkin? Upaya hukum sudah dilakukan lembaga penegak hukum dan masyarakat. Upaya ini pun tidak bisa dianggap biasa-biasa saja.
Tapi sudah dengan kerja keras yang luar biasa. Hasilnya pun harus kita akui sebagai buah kerja keras. Tapi mengapa masih saja praktik-praktif korupsi dilakukan, bahkan dengan modus yang lebih canggih dan variatif? Jawabannya bisa bermacam-macam. Namun salah satu pendekatan yang sering dianggap kurang relevan, tapi sebenarnya sangat relevan adalah minimnya sosok pemimpin yang benar-benar bersih, jujur, sederhana, dan otentik sebagai penyelenggara negara.
Sosok seperti Bung Hatta, Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso maupun mantan Jaksa Agung Baharuddin Lopa patut menjadi teladan. Tiga orang ini benar-benar memberi contoh bagaimana menjadi pemimpin yang baik dan berani mengambil keputusan untuk kebaikan itu. Pemimpin yang baik, jujur, dan bersih, tapi tidak berani mengambil keputusan untuk kejujurannya itu akan sulit menjadi teladan.
Dia hanya memosisikan diri seperti pengamat saja. Padahal nasib orang banyak ada di pundaknya. Dalam sebuah institusi pemerintah, peran pemimpin sangatlah sentral. Pemimpin yang malas pasti membuat anak buahnya malas. Begitu pula pemimpin yang korup, anak buahnya pasti banyak yang korup. Kalaupun ada anak buahnya yang jujur dan bersih, lambat laun posisinya akan terkucil dan dianggap aneh.
Karena itu keteladanan pemimpin menjadi sangat relevan untuk menghapus korupsi di sektor hulu. Di sektor hilir sudah banyak dilakukan aksi, tapi nyatanya para koruptor terus bertumbuh seperti mati satu tumbuh seribu.
Untuk mematikan bibit-bibit korupsi di sektor hulu dibutuhkan keteladanan seorang pemimpin. Untuk melahirkan seorang pemimpin yang teladan diperlukan masyarakat yang cerdas, jujur, peduli pada bangsa dan negaranya.
Sudah banyak pejabat dan penyelenggara negara yang dijadikan tersangka, diadili, dan divonis karena terlibat kasus korupsi dan tindak pidana lain. Namun, menurut Pusat Penelitian dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), jumlah transaksi mencurigakan yang berseliweran kian hari terus bertambah dengan modus yang semakin beragam dan rumit. Sejak Januari 2003, PPATK telah menerima laporan transaksi keuangan mencurigakan hingga 13.634.115 laporan.
Peningkatan jumlah transaksi mencurigakan itu menunjukkan upaya melakukan tindak pidana pencucian uang (money laundering) malah semakin meningkat. Padahal sudah banyak pejabat negara yang ditangkap, ditahan, diadili, dan divonis di pengadilan setelah diungkap oleh KPK, kejaksaan maupun kepolisian. Semangat untuk korupsi tidak surut, tapi malah semakin canggih dengan modus yang semakin rumit.
Ini berarti ancaman hukuman badan (penjara) oleh pengadilan dan hukuman moral oleh publik terhadap pelaku tindak pidana korupsi bukan sesuatu yang ditakuti. Dalam jangka pendek, ketika proses penangkapan dan persidangan, terdakwa perkara korupsi memang kelihatan terpukul berat oleh perhatian publik dan media massa. Tapi seiring dengan perjalanan waktu, lambat laut perhatian publik akan berpindah ke kasus-kasus lain.
Makin banyak kasus korupsi besar yang diungkap, semakin terpecah pula perhatian publik terhadap kasus-kasus tersebut. Intensitas perhatian terhadap satu kasus besar sangat mungkin menutupi atau menghilangkan perhatian pada kasus besar lainnya. Bagi sebagian kalangan, pecah perhatian ini menjadi celah tersendiri yang bisa dimanfaatkan. Karena itu dalam dunia komunikasi, publik sudah cukup mengenal istilah pengalihan isu.
Artinya, menutupi satu skandal korupsi besar dengan membuka skandal korupsi yang lain. Ini sebatas kecurigaan saja karena memang sulit dibuktikan. Yang tampak hanya indikasinya saja. Lantas bagaimana agar perilaku koruptif ini bisa ditekan seminimal mungkin? Upaya hukum sudah dilakukan lembaga penegak hukum dan masyarakat. Upaya ini pun tidak bisa dianggap biasa-biasa saja.
Tapi sudah dengan kerja keras yang luar biasa. Hasilnya pun harus kita akui sebagai buah kerja keras. Tapi mengapa masih saja praktik-praktif korupsi dilakukan, bahkan dengan modus yang lebih canggih dan variatif? Jawabannya bisa bermacam-macam. Namun salah satu pendekatan yang sering dianggap kurang relevan, tapi sebenarnya sangat relevan adalah minimnya sosok pemimpin yang benar-benar bersih, jujur, sederhana, dan otentik sebagai penyelenggara negara.
Sosok seperti Bung Hatta, Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso maupun mantan Jaksa Agung Baharuddin Lopa patut menjadi teladan. Tiga orang ini benar-benar memberi contoh bagaimana menjadi pemimpin yang baik dan berani mengambil keputusan untuk kebaikan itu. Pemimpin yang baik, jujur, dan bersih, tapi tidak berani mengambil keputusan untuk kejujurannya itu akan sulit menjadi teladan.
Dia hanya memosisikan diri seperti pengamat saja. Padahal nasib orang banyak ada di pundaknya. Dalam sebuah institusi pemerintah, peran pemimpin sangatlah sentral. Pemimpin yang malas pasti membuat anak buahnya malas. Begitu pula pemimpin yang korup, anak buahnya pasti banyak yang korup. Kalaupun ada anak buahnya yang jujur dan bersih, lambat laun posisinya akan terkucil dan dianggap aneh.
Karena itu keteladanan pemimpin menjadi sangat relevan untuk menghapus korupsi di sektor hulu. Di sektor hilir sudah banyak dilakukan aksi, tapi nyatanya para koruptor terus bertumbuh seperti mati satu tumbuh seribu.
Untuk mematikan bibit-bibit korupsi di sektor hulu dibutuhkan keteladanan seorang pemimpin. Untuk melahirkan seorang pemimpin yang teladan diperlukan masyarakat yang cerdas, jujur, peduli pada bangsa dan negaranya.
(nfl)