Awas ekonomi melambat

Kamis, 14 November 2013 - 06:18 WIB
Awas ekonomi melambat
Awas ekonomi melambat
A A A
DALAM kondisi makro ekonomi yang relatif stabil setelah mengalami gonjang-ganjing beberapa waktu lalu, Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan suku bunga acuan (BI Rate).

Karena itu, wajar saja bila kebijakan menaikkan BI Rate sebesar 25 basis poin ke level 7,5% dipertanyakan para analis ekonomi dan kalangan pelaku bisnis. Setidaknya gelagatnya terlihat dari laju inflasi yang mulai melandai pada Oktober lalu, bahkan sempat tercatat deflasi sekitar 0,35% pada September lalu. Begitu pula nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang relatif stabil pada keseimbangan baru yang bisa diterima pelaku bisnis.

Bisa dipastikan kenaikan suku bunga acuan tersebut berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya akan memicu pembukaan lowongan kerja semakin kecil. Sesaat setelah bank sentral mengumumkan kenaikan BI Rate, Selasa lalu (12/11), indeks harga saham gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS langsung tersengat. Pengaruh suku bunga acuan tersebut masih membuat IHSG dan rupiah kompak melemah hingga kemarin, Rabu (13/12). Pada penutupan perdagangan IHSG tergelincir hingga 1,80% atau 78,749 poin pada level 4.301.891.

Tercatat seluruh indeks sektoral melemah menyusul aksi jual oleh investor akibat sentimen negatif terus berembus pascakenaikan BI Rate. Indeks langsung terkoreksi tajam sebesar 26,513 poin sesaat setelah pembukaan perdagangan. Sementara itu, tekanan terhadap rupiah juga cukup deras. Sepanjang perdagangan kemarin, kinerja rupiah sempat menyentuh level Rp11.670 per USD, tetapi menjelang penutupan perdagangan rupiah sedikit menguat dan akhirnya ditutup pada level Rp 11.590 per USD.

Meski demikian rupiah tetap melemah dibandingkan pada penutupan perdagangan sebelumnya, Selasa (12/11), yang bertengger di level Rp 11.400 per USD. Anjloknya nilai tukar rupiah kembali menjadi sorotan serius di kalangan pelaku bisnis. Artinya, para pengusaha harus mulai melakukan perhitungan baru untuk perencanaan bisnis mereka karena diprediksi nilai tukar rupiah akan berfluktuasi kembali setelah sempat stabil sejenak. Namun, keputusan BI menaikkan suku bunga acuan bukan tanpa alasan jelas.

Menaikkan BI Rate tentu sudah diperhitungkan matang manfaat dan dampaknya pada pertumbuhan ekonomi. Pertimbangan yang mendasari kebijakan tersebut sebagaimana disampaikan Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi Johansyah adalah untuk memastikan bahwa defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit) bisa menurun ke level yang lebih sehat di mana angka inflasi terkendali pada target yang dipatok sekitar 4,5% plus minus 1% pada 2014.

Yang menarik dicermati, ternyata sejak Agus Martowardojo menakhodai BI, sudah tercatat sebanyak lima kali BI menaikkan bunga acuan, mulai 13 Juni 2013 dari 5,75% menjadi 6%, selanjutnya pada 11 Juli naik ke level 6,5%, berikutnya 29 Agustus menjadi 7%, lalu bertengger di posisi 7,25% pada 12 September, dan puncaknya pada 12 November dilevel 7,50%. Agus Martowadojo resmi menjabat sebagai gubernur BI tanggal 24 Mei 2013. Kebijakan bank sentral menaikkan suku bunga acuan kali ini direspons negatif sejumlah kalangan, terutama para ekonom yang menilai tindakan BI keliru.

Guru besar ekonomi dari Universitas Gadjah Mada Tony A Prasetiantono dan pengamat ekonomi dari Universitas Atmajaya Agustinus Prasetyantoko sepakat mempertanyakan kebijakan BI yang pada intinya tak perlu menaikkan BI Rate,bahkan sebaiknya diturunkan menyusul perkembangan makro ekonomi yang mulai stabil. Kenaikan BI Rate dengan pertimbangan untuk menjinakkan defisit neraca transaksi berjalan itu sungguh tidak tepat, bahkan bisa menjadi bumerang memukul pertumbuhan perekonomian secara luas.

Dampak dari kenaikan suku bunga acuan tersebut yang pertama merasakan adalah sektor riil akibat suku bunga kredit perbankan yang melonjak dan bisa berakibat pada meningkatnya kredit perbankan yang bermasalah. Kebijakan menaikkan BI Ratekali ini menunjukkan pemerintah dan BI lebih berkonsentrasi memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan ketimbang menjaga pertumbuhan ekonomi. Hanya saja perlu hati-hati, sebab perlambatan pertumbuhan ekonomi berdampak dalam skala lebih luas.
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8295 seconds (0.1#10.140)