Indonesia menganut sistem pemerintahan gado-gado
A
A
A
Sindonews.com - Sistem pemerintahan Indonesia sekarang semakin sulit dipahami. Pasalnya, Indonesia menganut banyak partai (multi partai).
Sistem pemerintahan atau sistem demokrasi semakin terbentur dengan pola pembagian kekuasaan. Tarik ulur kepentingan masih terletak pada kekuasaan presidensial atau fungsi kontrol parlementar.
Menurut Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta Bachtiar Effendi, sistem pemerintahan sejak reformasi lalu susah ditetapkan sebagai sistem pemerintahan yang kuat.
Kemenangan mutlak hampir 60 persen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada pemilu 2009 lalu, harusnya SBY berdiri sebagai penguasa bebas dari kemauan parlemen (DPR RI). Tetapi, SBY justru dilemahkan dengan suasana politik parlemen.
"Sistemnya jangan presidensial. Ini kan gado-gado. Masa sistemnya presidensial tapi praktiknya politik parlementer," kata Bachtiar kepada Sindonews, Jakarta, Rabu (13/11/2013).
Dalam Undang-undang paket pemilu bentukan DPR RI beberapa waktu lalu, seseorang bisa menjadi presiden setelah memperoleh jumlah suara minimal 30 persen perolehan suara partai secara nasional.
Kata Bachtiar, sistem mengharuskan partai yang tak masuk dalam 30 persen, terpaksa harus menjalin koalisi. "Itu karena aturan-aturan presidensial, idealnya itu empat atau lima partai," ujarnya.
Selain itu, persyaratan 20 persen parliamentary treshold juga semakin menyulitkan posisi presiden, dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Menurutnya, sekalipun SBY menang mutlak, tetapi kekuatan partai koalisi lebih dominan bahkan menjadi batu sandungan dalam pemerintahannya.
"Jadi aturan-aturan parlementer itu bukan aturan presidential. Ada parliamentary treshold, ada electoral treshold. Pokoknya yang treshold-treshold banyak sekali," tambahnya.
Baca di sini untuk Indonesia gunakan sistem feodal.
Sistem pemerintahan atau sistem demokrasi semakin terbentur dengan pola pembagian kekuasaan. Tarik ulur kepentingan masih terletak pada kekuasaan presidensial atau fungsi kontrol parlementar.
Menurut Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta Bachtiar Effendi, sistem pemerintahan sejak reformasi lalu susah ditetapkan sebagai sistem pemerintahan yang kuat.
Kemenangan mutlak hampir 60 persen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada pemilu 2009 lalu, harusnya SBY berdiri sebagai penguasa bebas dari kemauan parlemen (DPR RI). Tetapi, SBY justru dilemahkan dengan suasana politik parlemen.
"Sistemnya jangan presidensial. Ini kan gado-gado. Masa sistemnya presidensial tapi praktiknya politik parlementer," kata Bachtiar kepada Sindonews, Jakarta, Rabu (13/11/2013).
Dalam Undang-undang paket pemilu bentukan DPR RI beberapa waktu lalu, seseorang bisa menjadi presiden setelah memperoleh jumlah suara minimal 30 persen perolehan suara partai secara nasional.
Kata Bachtiar, sistem mengharuskan partai yang tak masuk dalam 30 persen, terpaksa harus menjalin koalisi. "Itu karena aturan-aturan presidensial, idealnya itu empat atau lima partai," ujarnya.
Selain itu, persyaratan 20 persen parliamentary treshold juga semakin menyulitkan posisi presiden, dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Menurutnya, sekalipun SBY menang mutlak, tetapi kekuatan partai koalisi lebih dominan bahkan menjadi batu sandungan dalam pemerintahannya.
"Jadi aturan-aturan parlementer itu bukan aturan presidential. Ada parliamentary treshold, ada electoral treshold. Pokoknya yang treshold-treshold banyak sekali," tambahnya.
Baca di sini untuk Indonesia gunakan sistem feodal.
(stb)