Unfinished mission polri
A
A
A
MASYARAKAT dikejutkan dengan pemberitaan adanya seorang satpam di Taman Palem, Jakarta Barat tewas mengenaskan karena ditembak seorang oknum anggota Brimob (5/11/2013).
Sang satpam harus menghadapi ”eksekusi mati” karena tidak bersedia memberi hormat. Masih terkait kasus yang menimpa oknum Brimob, misteri pembunuhan seorang anggota korps baret biru tersebut di Koramil Pasar Minggu (27/10/2013) terungkap setelah polisi menangkap seorang kernet Metromini. Sang kernet mengaku nekat menusuk karena tersinggung dengan ucapan yang dilontarkan sang aparat.
Dari dua kasus yang saling bertolak belakang, sejatinya ada satu benang merah yang bisa ditarik, yakni merosotnya citra dan martabat anggota Polri di mata masyarakat. Satpam dengan prinsip yang diyakininya tidak merasa perlu menghormati seorang polisi, walau harus menanggung akibatnya. Pun satpam merasa harus membela harga dirinya dan tidak peduli siapa yang dihadapi, walau apa yang dilakukannya melanggar hukum.
Ekspresi berbeda yang diluapkan satpam dan kernet terhadap kedua oknum polisi tersebut harus diakui mewakili bentuk cara pandang masyarakat secara umum terhadap Polri. Cara pandang yang terbentuk dari akumulasi berbagai perilaku yang sering dipertontonkan oknum-oknum korps berbaju cokelat tersebut di depan masyarakat secara langsung, seperti kasus suap, pungli, diskriminasi dalam penegakan hukum, ketidakseriusan memberantas korupsi.
Celakanya, perilaku negatif demikian seolah terus berulang dan berulang hingga menjadi kultur yang tidak bisa dihilangkan. Entah kenapa, berbagai program yang diluncurkan para pimpinan Polri tidak pernah membawa perubahan. Pada era Sutanto, misalnya, sudah berjanji akan mempercepat perbaikan kultural di Polri dengan membuat kontrak terhadap pejabat di jajarannya dan memublikasikan anggota nakal.
Saat Bambang Hendrarso Danuri (BHD) memimpin, secara lebih fokus menunjukkan tekatnya mendorong reformasi kultural melalui visi ”Akselerasi Transformasi Polri menuju Polri yang Mandiri, Profesional, dan Dipercaya Masyarakat”. Hasilnya, program yang diluncurkan dua era kepemimpinan tersebut hanya seperti menggarami lautan, tak berbekas sama sekali.
Karena itu,dalam fit and proper test pada 15 Oktober 2010, Komisi III DPR secara khusus mengingatkan pengganti BHD, Timur Pradopo, untuk menuntaskan program tersebut. Hasilnya, seperti terlihat pada contoh kasus di atas, Polri masih seperti dulu. Kultur Polri masih belum beranjak dari kondisi sebelumnya; institusi tersebut mencanangkan reformasi kultural pada Hari Bhayangkara ke-53, 1 Juli 1999.
Secara umum, Polri belum bisa memenuhi amanat Ketetapan MPR No VI dan VII Tahun 2000 dan UU No 2/2002 tentang Polri mengenai paradigma baru Polri sebagai ”pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat”. Entah mengapa banyak oknum polisi lupasumpah Tribrata yang diucapkan saat menjadi polisi, salah satunya tekat untuk senantiasa melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban.
Entah mengapa pula banyak oknum polisi melupakan kehormatannya seperti tercantum dalam Catur Prasetya. Munculnya kasus penembakan satpam oleh oknum Brimob serta terbunuhnya seorang anggota Brimob oleh kernet Metromini harus bisa menjadi evaluasi bahwa kultur negatif yang masih menjerat sudah sedemikian rupa hingga memengaruhi citra polisi dan cara pandang masyarakat, dan di antaranya berujung kenekatan.
Siapa yang paling bertanggung jawab, tentu pemimpinnya, dalam hal ini Kapolri Jenderal Pol Sutarman. Sutarman sendiri sudah memahami tantangan yang harus dihadapi. Di depan wakil rakyat (17/10), dia sudah menegaskan akan menjadikan reformasi internal Polri sebagai target utamanya. Secara konkret, mantan kabareskrim itu sudah mematok visi mewujudkan Polri sebagai pelayan, sahabat, dan penegak hukum yang jujur dan adil.
Tetapi pertanyaannya, apakah visi tersebut benar-benar bisa diwujudkan demi mendukung reformasi kultur Polri atau hanya lagi-lagi hanya menjadi unfinished mission seperti pemimpin-pemimpin sebelumnya. Inilah tantangan sebenarnya Sutarman.
Sang satpam harus menghadapi ”eksekusi mati” karena tidak bersedia memberi hormat. Masih terkait kasus yang menimpa oknum Brimob, misteri pembunuhan seorang anggota korps baret biru tersebut di Koramil Pasar Minggu (27/10/2013) terungkap setelah polisi menangkap seorang kernet Metromini. Sang kernet mengaku nekat menusuk karena tersinggung dengan ucapan yang dilontarkan sang aparat.
Dari dua kasus yang saling bertolak belakang, sejatinya ada satu benang merah yang bisa ditarik, yakni merosotnya citra dan martabat anggota Polri di mata masyarakat. Satpam dengan prinsip yang diyakininya tidak merasa perlu menghormati seorang polisi, walau harus menanggung akibatnya. Pun satpam merasa harus membela harga dirinya dan tidak peduli siapa yang dihadapi, walau apa yang dilakukannya melanggar hukum.
Ekspresi berbeda yang diluapkan satpam dan kernet terhadap kedua oknum polisi tersebut harus diakui mewakili bentuk cara pandang masyarakat secara umum terhadap Polri. Cara pandang yang terbentuk dari akumulasi berbagai perilaku yang sering dipertontonkan oknum-oknum korps berbaju cokelat tersebut di depan masyarakat secara langsung, seperti kasus suap, pungli, diskriminasi dalam penegakan hukum, ketidakseriusan memberantas korupsi.
Celakanya, perilaku negatif demikian seolah terus berulang dan berulang hingga menjadi kultur yang tidak bisa dihilangkan. Entah kenapa, berbagai program yang diluncurkan para pimpinan Polri tidak pernah membawa perubahan. Pada era Sutanto, misalnya, sudah berjanji akan mempercepat perbaikan kultural di Polri dengan membuat kontrak terhadap pejabat di jajarannya dan memublikasikan anggota nakal.
Saat Bambang Hendrarso Danuri (BHD) memimpin, secara lebih fokus menunjukkan tekatnya mendorong reformasi kultural melalui visi ”Akselerasi Transformasi Polri menuju Polri yang Mandiri, Profesional, dan Dipercaya Masyarakat”. Hasilnya, program yang diluncurkan dua era kepemimpinan tersebut hanya seperti menggarami lautan, tak berbekas sama sekali.
Karena itu,dalam fit and proper test pada 15 Oktober 2010, Komisi III DPR secara khusus mengingatkan pengganti BHD, Timur Pradopo, untuk menuntaskan program tersebut. Hasilnya, seperti terlihat pada contoh kasus di atas, Polri masih seperti dulu. Kultur Polri masih belum beranjak dari kondisi sebelumnya; institusi tersebut mencanangkan reformasi kultural pada Hari Bhayangkara ke-53, 1 Juli 1999.
Secara umum, Polri belum bisa memenuhi amanat Ketetapan MPR No VI dan VII Tahun 2000 dan UU No 2/2002 tentang Polri mengenai paradigma baru Polri sebagai ”pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat”. Entah mengapa banyak oknum polisi lupasumpah Tribrata yang diucapkan saat menjadi polisi, salah satunya tekat untuk senantiasa melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban.
Entah mengapa pula banyak oknum polisi melupakan kehormatannya seperti tercantum dalam Catur Prasetya. Munculnya kasus penembakan satpam oleh oknum Brimob serta terbunuhnya seorang anggota Brimob oleh kernet Metromini harus bisa menjadi evaluasi bahwa kultur negatif yang masih menjerat sudah sedemikian rupa hingga memengaruhi citra polisi dan cara pandang masyarakat, dan di antaranya berujung kenekatan.
Siapa yang paling bertanggung jawab, tentu pemimpinnya, dalam hal ini Kapolri Jenderal Pol Sutarman. Sutarman sendiri sudah memahami tantangan yang harus dihadapi. Di depan wakil rakyat (17/10), dia sudah menegaskan akan menjadikan reformasi internal Polri sebagai target utamanya. Secara konkret, mantan kabareskrim itu sudah mematok visi mewujudkan Polri sebagai pelayan, sahabat, dan penegak hukum yang jujur dan adil.
Tetapi pertanyaannya, apakah visi tersebut benar-benar bisa diwujudkan demi mendukung reformasi kultur Polri atau hanya lagi-lagi hanya menjadi unfinished mission seperti pemimpin-pemimpin sebelumnya. Inilah tantangan sebenarnya Sutarman.
(nfl)