Deliberalisasi tata kelola migas

Kamis, 07 November 2013 - 07:16 WIB
Deliberalisasi tata kelola migas
Deliberalisasi tata kelola migas
A A A
SALAH satu konsideran UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas (Migas) menyebutkan bahwa migas merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak yang dipergunakan untuk memberikan kemakmuran bagi rakyat.

Konsideran itu sesungguhnya pengejawantahan dari Pasal 33 UUD 1945 ayat 3 yang mengatakan bahwa “bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Meskipun konsiderannya mengacu pada Pasal 33 UUD 1945, tetapi UU No 22/2001 justru kontradiktif. UU tersebut cenderung liberal dengan menempatkan migas sebagai komoditas pasar, bukan komoditas strategis.

Selain itu, penetapan harga komoditas juga diserahkan kepada mekanisme pasar sehingga membuka peluang lebar-lebar bagi perusahaan asing untuk menguasai migas di Indonesia. Sebagai aturan di bawahnya, PP No 36/2004 dan Permen ESDM No 19/2009 juga menciptakan pelemahan BUMN dalam pengelolaan migas di sektor hilir. Peraturan yang liberal tersebut dikuatkan dengan penerbitan UU No 25/2007 tentang penanaman modal, yang mengizinkan perusahaan asing menguasai usaha pertambangan hingga 95%.

Dampak liberalisasi
Dampak liberalisasi tata kelola migas adalah terbukanya persaingan bebas yang memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk pemain migas, baik perusahaan nasional maupun perusahaan asing, dalam pengelolaan migas di Indonesia. Dalam persaingan tersebut, BUMN migas diperlakukan sama dengan pelaku usaha migas swasta sehingga BUMN harus bersaing dalam setiap mengikuti tender untuk mendapatkan izin pengelolaan migas, baik di sektor hulu maupun di sektor hilir.

Ironisnya, pemerintah cenderung lebih berpihak kepada perusahaan asing ketimbang BUMN dalam persaingan tersebut. Keberpihakan pemerintah terhadap perusahaan asing selalu mengemuka pada setiap terjadi perebutan ladang migas antara Pertamina dan perusahaan asing seperti pada Blok Cepu, Blok Madura, Blok Siak, dan Blok Mahakam. Tidak diragukan lagi keberpihakan pemerintah terhadap perusahaan asing telah melemahkan peran BUMN dalam pengelolaan ladang migas di negeri sendiri.

Data SKK Migas 2012 menunjukkan bahwa 88% ladang migas dikuasai perusahaan asing, 8% BUMS nasional dan BUMN, serta 4% konsorsium yang melibatkan perusahaan asing. Dominasi perusahaan asing atas ladang migas menyebabkan negara kehilangan kontrol dalam pengelolaan migas. Pemerintah tidak mampu lagi melakukan kontrol terhadap volume produksi minyak yang dihasilkan, harga pokok produksi yang ditetapkan, dan cost of recovery yang diajukan. Tidak mengherankan kalau muncul anomali yang berkaitan dengan besaran cost of recovery dan lifting.

Data menunjukkan bahwa besaran cost of recovery yang dianggarkan di APBN cenderung meningkat setiap tahun, tetapi lifting justru semakin menurun. Melalui Peraturan Menteri ESDM No 19/2009 dan Peraturan Menteri ESDM No 3/2010, tata kelola gas bumi di sektor hilir juga diliberalisasi. Peraturan itu memberikan kesempatan yang sama bagi semua badan usaha untuk melaksanakan kegiatan niaga dan/ atau pengangkutan gas bumi dalam pasar persaingan bebas.

Tidak hanya bersaing dengan sejumlah trader gas swasta, tetapi sesama BUMN juga harus bersaing. Ironisnya, persaingan antar-trader gas tersebut sudah mengarah pada persaingan usaha yang tidak sehat. Selain itu, Permen ESDM No 19/2009 juga mengizinkan skema tradingtanpa harus memiliki infrastruktur sehingga memunculkan banyak free raider. Para free raiders dapat menggunakan infrastruktur gas yang dimiliki BUMN dalam trading.

Dampaknya, selain penguasaan alokasi komoditas gas oleh traders tanpa infrastruktur, juga menyebabkan kegagalan pengembangan infrastruktur gas. Mengingat pengembangan infrastruktur termasuk high risklow return, sebagian besar trader enggan membangun infrastruktur sendiri. Tidak mengherankan kalau tidak ada penambahan infrastruktur baru hingga kini.

Revisi tata kelola migas
Liberalisasi tata kelola migas berdasarkan UU No 22/2001 telah memicu penguasaan perusahaan asing atas ladang migas yang berpotensi menggerus kedaulatan energi Indonesia. Sedangkan Peraturan Menteri ESDM No 19/2009 dan Peraturan Menteri ESDM No 3/2010 justru menyebabkan persaingan tidak sehat antarpelaku usaha gas bumi yang berpotensi merugikan konsumen.

Karena itu, perlu diupayakan deliberalisasi tata kelola migas melalui revisi terhadap UU 22/2001 dan semua peraturan di bawahnya yang berpotensi melanggar Pasal 33 UUD 1945. Ada beberapa substansi yang harus direvisi pada UU No 22/2001 agar selaras dengan Pasal 33 UUD 1945. Pertama, mengembalikan komoditas migas dari komoditas pasar menjadi komoditas strategis sehingga memungkinkan bagi pemerintah untuk melakukan intervensi dalam penetapan harga dan pemanfaatan komoditas strategis untuk sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat.

Kedua, mengembalikan penguasaan negara dengan menyerahkan pengelolaan migas dari hulu sampai hilir kepada BUMN. Untuk itu, perlu memberikan prioritas dalam setiap penawaran pengelolaan blok migas yang baru kepada Pertamina. Sedangkan blok migas lama yang sudah habis masa kontraknya harus diberikan pengelolaannya kepada Pertamina sebagai operator tunggal.

Sedangkan prioritas pengelolaan gas di sektor hilir harus diberikan kepada BUMN dalam rangka memperkuat BUMN untuk melakukan pengembangan infrastruktur di seluruh Indonesia dan penguasaan aset strategis nasional. Ketiga, perlu diatur sinergi dan pembagian peran sesama BUMN dalam pengelolaan migas.

Tujuannya, BUMN ter-sebut bisa fokus pada core business masing-masing, sekaligus menghindari persaingan antar- BUMN di sektor hilir. Tanpa deliberalisasi tata kelola migas, upaya revisi UU No 22/2001 yang saat ini sedang digodok di Komisi VII DPR RI tidak akan membawa beru-bahan berarti bagi kemakmuran rakyat.

DR FAHMY RADHI MBA
Peneliti pada Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4517 seconds (0.1#10.140)