Sutarman dan Kotter
A
A
A
KOMISARIS Jenderal (Komjen) Polisi Sutarman lagi menjabat sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memberi restu kepadanya.
Tentu sebagai kapolri baru, Sutarman harus berhadapan dengan tantangan-tantangan dalam membawa Polri ke arah yang lebih baik. Terorisme, kriminalitas, profesional internal, hingga korupsi menjadi tantangan jenderal polisi kelahiran Sukoharjo, Jawa Tengah ini. Salah satu wacana tantangan yang terlontar adalah dibentuk Detasemen Khusus (Densus) Antikorupsi. Wacana ini seolah menjadi menarik karena: pertama, korupsi telah menjadi persoalan yang sulit diberantas di negeri ini.
Kedua, berkaca pada kiprah Densus 88 Antiteror yang dinilai berhasil menangkap ratusan terduga dan pelaku teroris di berbagai daerah. Polisi sebagai salah satu penegak hukum di negeri ini, dinilai oleh beberapa pihak sebagai lembaga yang tepat memberantas penyakit di negeri ini apalagi Densus 88 Antiteror dinilai berhasil menjalankan tugasnya. Namun, wacana pembentukan Densus Antikorupsi seperti yang diusulkan kepada Polri tampaknya masih harus dipertimbangkan secara matang.
Sutarman sebagai sosok yang paling berhak menentukan pembentukan detasemen ini harus benar-benar melihat urgency dari detasemen ini. Jika dilihat dari persoalan dan kemampuan Polri (Densus 88 Antiteror), tentu cukup beralasan wacana tersebut muncul. Hanya, jika melihat keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tentu pembentukan Densus Antikorupsi sangat jauh dari kata urgency. Jika Sutarman pada suatu kesempatan, keduanya bisa melakukan sinergi, pernyataan itu juga kurang tepat.
Pasalnya, sinergi untuk pemberantasan korupsi tidak harus dengan melakukan pembentukan Densus Antikorupsi terlebih dahulu. Toh, saat ini Polri mempunyai divisi yang consent terhadap pemberantasan korupsi, yaitu Divisi Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di bawah komando Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim). Jika memang harus sinergi untuk melakukan pemberantasan korupsi, tampaknya akan lebih tepat dan cepat, Bareskrim dan KPK bisa melakukannya. Justru yang menjadi persoalan utama dari Polri saat ini bukan pada hal-hal eksternal.
Kondisi internal di Polri justru yang harus menjadi perhatian utama dari Sutarman. Profesional Polri adalah tantangan utama Sutarman dalam melakukan pembenahan. Masih banyak persoalan profesional Polri yang membuat institusi di bawah presiden langsung ini masih dinilai buruk oleh masyarakat. Kasus-kasus rekening gendut, oknum-oknum Polri yang masih melakukan pungutan liar di jalan raya, pelayanan di setiap kantor polisi yang masih lamban, transparansi penanganan kasus maupun keuangan Polri, tampaknya lebih bisa diutamakan oleh Sutarman untuk diselesaikan.
Memang, tugas Sutarman bukan hanya pada pembenahan internal, melainkan juga pada persoalan eksternal di lingkungan masyarakat yang masih menumpuk. Namun, harus ada satu persoalan yang dijadikan utama agar pembenahan bisa menjadi fokus. Jika pembenahan internal Polri (profesionalisme) bisa ditangani dengan baik, Sutarman diyakini akan dianggap sukses dalam menjalankan tugasnya, karena ini memang problem urgen di tubuh Polri.
Sebagai pemimpin, Sutarman harus bisa melakukan langkahlangkah transformasional. Jika profesionalisme Polri sudah dianggap sebuah sense of urgency, Sutarman bisa melakukan langkah-langkah selanjutnya agar menjadikan perubahan sebagai budaya. Jika mengacu pada teori dari seorang pakar kepemimpinan dari Harvard University John P Kotter, setelah menancapkan profesionalisme Polri sebagai sense of urgency, selanjutnya Sutarman bisa melakukan tujuh langkah lanjutan.
Tujuh langkah lanjutan tersebut adalah guiding coalition, developing a vision, communicating the vision, empowering employees (members), generating short-term wins, consolidatig gains and producing more change, dan terakhir anchoring new approaches in culture. Jika langkah-langkah tersebut bisa dilakukan hingga menjadikan perubahan yang terjadi menjadi budaya organisasi, wajah Polri akan berubah ke arah yang lebih baik, dan Sutarman memiliki modal untuk melakukan itu. Selamat bekerja Komjen Pol Sutarman!
Tentu sebagai kapolri baru, Sutarman harus berhadapan dengan tantangan-tantangan dalam membawa Polri ke arah yang lebih baik. Terorisme, kriminalitas, profesional internal, hingga korupsi menjadi tantangan jenderal polisi kelahiran Sukoharjo, Jawa Tengah ini. Salah satu wacana tantangan yang terlontar adalah dibentuk Detasemen Khusus (Densus) Antikorupsi. Wacana ini seolah menjadi menarik karena: pertama, korupsi telah menjadi persoalan yang sulit diberantas di negeri ini.
Kedua, berkaca pada kiprah Densus 88 Antiteror yang dinilai berhasil menangkap ratusan terduga dan pelaku teroris di berbagai daerah. Polisi sebagai salah satu penegak hukum di negeri ini, dinilai oleh beberapa pihak sebagai lembaga yang tepat memberantas penyakit di negeri ini apalagi Densus 88 Antiteror dinilai berhasil menjalankan tugasnya. Namun, wacana pembentukan Densus Antikorupsi seperti yang diusulkan kepada Polri tampaknya masih harus dipertimbangkan secara matang.
Sutarman sebagai sosok yang paling berhak menentukan pembentukan detasemen ini harus benar-benar melihat urgency dari detasemen ini. Jika dilihat dari persoalan dan kemampuan Polri (Densus 88 Antiteror), tentu cukup beralasan wacana tersebut muncul. Hanya, jika melihat keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tentu pembentukan Densus Antikorupsi sangat jauh dari kata urgency. Jika Sutarman pada suatu kesempatan, keduanya bisa melakukan sinergi, pernyataan itu juga kurang tepat.
Pasalnya, sinergi untuk pemberantasan korupsi tidak harus dengan melakukan pembentukan Densus Antikorupsi terlebih dahulu. Toh, saat ini Polri mempunyai divisi yang consent terhadap pemberantasan korupsi, yaitu Divisi Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di bawah komando Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim). Jika memang harus sinergi untuk melakukan pemberantasan korupsi, tampaknya akan lebih tepat dan cepat, Bareskrim dan KPK bisa melakukannya. Justru yang menjadi persoalan utama dari Polri saat ini bukan pada hal-hal eksternal.
Kondisi internal di Polri justru yang harus menjadi perhatian utama dari Sutarman. Profesional Polri adalah tantangan utama Sutarman dalam melakukan pembenahan. Masih banyak persoalan profesional Polri yang membuat institusi di bawah presiden langsung ini masih dinilai buruk oleh masyarakat. Kasus-kasus rekening gendut, oknum-oknum Polri yang masih melakukan pungutan liar di jalan raya, pelayanan di setiap kantor polisi yang masih lamban, transparansi penanganan kasus maupun keuangan Polri, tampaknya lebih bisa diutamakan oleh Sutarman untuk diselesaikan.
Memang, tugas Sutarman bukan hanya pada pembenahan internal, melainkan juga pada persoalan eksternal di lingkungan masyarakat yang masih menumpuk. Namun, harus ada satu persoalan yang dijadikan utama agar pembenahan bisa menjadi fokus. Jika pembenahan internal Polri (profesionalisme) bisa ditangani dengan baik, Sutarman diyakini akan dianggap sukses dalam menjalankan tugasnya, karena ini memang problem urgen di tubuh Polri.
Sebagai pemimpin, Sutarman harus bisa melakukan langkahlangkah transformasional. Jika profesionalisme Polri sudah dianggap sebuah sense of urgency, Sutarman bisa melakukan langkah-langkah selanjutnya agar menjadikan perubahan sebagai budaya. Jika mengacu pada teori dari seorang pakar kepemimpinan dari Harvard University John P Kotter, setelah menancapkan profesionalisme Polri sebagai sense of urgency, selanjutnya Sutarman bisa melakukan tujuh langkah lanjutan.
Tujuh langkah lanjutan tersebut adalah guiding coalition, developing a vision, communicating the vision, empowering employees (members), generating short-term wins, consolidatig gains and producing more change, dan terakhir anchoring new approaches in culture. Jika langkah-langkah tersebut bisa dilakukan hingga menjadikan perubahan yang terjadi menjadi budaya organisasi, wajah Polri akan berubah ke arah yang lebih baik, dan Sutarman memiliki modal untuk melakukan itu. Selamat bekerja Komjen Pol Sutarman!
(nfl)