Diplomasi olahraga

Rabu, 16 Oktober 2013 - 07:37 WIB
Diplomasi olahraga
Diplomasi olahraga
A A A
SAYA bukan penggemar sepak bola, bahkan siswa sekolah dasar akan lebih tahu aturan pertandingan sepak bola dibandingkan saya.

Namun mendengar gemuruh sorak-sorai tetangga yang menyaksikan pertandingan antara Indonesia dan Korea Selatan di Kualifikasi Piala Asia U-19 mendorong saya untuk beralih ke channel TV yang menayangkan pertandingan tersebut. Saya setuju dengan pendapat para tuips bahwa pertandingan malam itu lebih berbobot dibandingkan dengan pertandingan sepak bola tim Indonesia yang pernah saya saksikan. Penonton seperti mendapat energi dan harapan baru tentang Indonesia.

Setelah sekian lama terpuruk, masyarakat cenderung takut untuk berharap akan prestasi sepak bola. Tambahan lagi segala skandal dan kisruh persepakbolaan yang masih saja belum selesai. Keadaan macam ini sangat berbanding lurus dengan kondisi politik yang juga sarat skandal, praktik kecurangan, bahkan korupsi. Bisa disimpulkan kekisruhan di lapangan sepak bola adalah cerminan dari kekisruhan di lapangan politik.

Tak mengherankan, banyak pihak yang berharap pemain Indonesia muda yang tergabung dalam Garuda Jaya dijauhkan dari tangan-tangan politik dan pasar yang mencoba menunggangi keberhasilan tim tersebut. Masyarakat menganggap kemurnian pemain muda itu dari politik dan pasar adalah faktor yang membawa kemenangan dalam setiap pertandingan. Politik dan godaan bintang iklan dianggap sebagai sumber masalah prestasi sepak bola. Namun, politik dan olahraga sesungguhnya bisa saling mengisi dan menguntungkan negara.

Keberhasilan tim olahraga dapat menjadi alat untuk membangun imej atau citra sebuah rezim dan suatu bangsa. Di Argentina, sepakbola menjadi salah satu cara untuk mendorong rasa cinta Tanah Air di bawah pemerintahan Juan Peron. Sejumlah pengamat mengatakan cara itu sangat penting karena Argentina di masa itu didominasi para imigran yang datang dari Spanyol, Inggris, dan Eropa. Rezim saat itu bahkan membuat film dengan judul Pelota de trapoyang menceritakan seorang pemain sepak bola yang memilih mati gagal jantung di lapangan ketika bertanding melawan Brasil di final Copa America daripada beristirahat di rumah.

Dalam kenyataannya, Argentina memang menjuarai Copa America beberapa kali dan selalu masuk tiga besar. Secara politik, dampaknya adalah sokongan yang kuat terhadap rezim Peron yang mampu memimpin Argentina selama tiga periode. Argentina juga merebut kembali harga diri mereka melalui sepak bola setelah kalah perang dengan Inggris pada saat Perang Falklands/Malvinas pada 1983. Pemain yang paling berjasa untuk mengembalikan harga diri negara tidak lain adalah Diego Maradona.

Maradona membawa tim nasional Argentina memenangi eventPiala Dunia untuk kedua kalinya di tahun 1986. Maradona hingga kini masih sangat dihormati para pencinta sepak bola, khususnya di Argentina. Bahkan para penggemarnya mendirikan Maradonian Church dengan pengikut yang diperkirakan mencapai 100.000 orang dari berbagai negara. Banyak pula orang yang kemudian berharap Lionel Messi akan menggantikan Maradona sebagai legenda sepak bola di Argentina, sayangnya Messi dianggap lebih Catalan ketimbang Argentina.

Messi tidak pernah main di liga lokal Argentina kecuali saat masuk sekolah bola di umur 8 tahun. Messi dan Maradona memang memiliki keterampilan yang sama, tetapi pilihan politik dan karakternya sangat kontras. Messi dianggap sebagai ”anak manis” ketimbang Maradona yang ”pemberontak”. Semakin Maradona memberontak, semakin ia dicintai penggemarnya di Argentina. Walaupun tidak (belum) menjadi legenda di Argentina, Messi telah banyak berjasa membangun imej Catalonia sebagai sebuah negara olahraga melalui FC Barcelona.

Catalonia adalah sebuah wilayah otonomi khusus di Spanyol yang memiliki pemerintahan sendiri. Ia seperti negara di dalam negara, tetapi tidak punya kuasa untuk melakukan diplomasi luar negeri. Beberapa kali survei diadakan untuk mengukur keinginan untuk memisahkan diri dari Spanyol dan hasilnya sebanyak 40–50% penduduk setuju agar Catalonia berdiri sendiri. Catalonia melakukan soft-power diplomacy untuk memperoleh pengakuan politik internasional melalui olah raga.

Soft-power sebagai konsep dikembangkan Joseph Nye untuk membantu pengambil keputusan di Amerika dalam memahami peranan yang mungkin dikembangkan mengingat keterbatasan penggunaan hard-power yang muncul pasca-Perang Dingin. Soft-power didefinisikan sebagai kemampuan persuasi di mana satu pihak dengan cara damai meyakinkan pihak lain untuk melakukan apa yang diinginkannya. Intinya, soft-power mengedepankan kekuatan ide-ide normatif, citra positif dari suatu negara, yang pada akhirnya membuat negara lain tertarik untuk melakukan kerja sama atau melakukan apa yang diminta pada negara lain.

Dalam dunia diplomasi, ada studi-studi yang memantau keampuhan tim olahraga dalam mengambil hati negara lain (Gregory Payne 2009, Nygard dan Gates 2013), bahkan hal itu juga berlaku untuk negara yang paling sulit seperti Korea Utara. Bayangkan kelebihan yang dimiliki Indonesia jika persepakbolaan dan tim olahraga kita yang lain jaya. Ini cara yang sangat ampuh memperkenalkan Indonesia karena rata-rata organisasi olahraga internasional hanya mengakui keanggotaan berdasarkan negara.

Hal itu yang tidak bisa dilakukan oleh Catalonia yang ingin menginternasionalisasi diri dengan memperkuat FC Barcelona sebagai duta utama Catalonia. Meskipun secara statistik 2/3 dari penduduknya rajin berolahraga dan sangat ingin memiliki tim olahraga nasional sendiri yang terpisah dari Spanyol, mereka tak bisa mencapai keinginan tersebut karena alasan persyaratan organisasi olahraga internasional tadi. Namun, Barca tetap menjadi simbol nasionalisme dan identitas negara Catalonia.

Perjalanan pertandingan persahabatan Barca ke beberapa negara Asia bertujuan mempromosikan turisme di Catalan dan terbukti 50% turis yang datang ke Spanyol menghabiskan waktunya di Catalonia. Olahraga adalah alat persuasi yang terbukti cukup ampuh untuk membangun kepercayaan dan dialog yang buntu. Contohnya Amerika dan China yang pernah melakukan ping pong diplomacy tahun 1971 atau negara-negara yang berebut menyelenggarakan Olimpiade.

Catatannya adalah bahwa olahraga adalah alat untuk memperkenalkan keunggulan normatif suatu negara dan bangsa. Jadi, ketika prestasi olahraga Indonesia unggul, citra positif apa yang akan tertangkap oleh bangsa lain? Jika yang tertangkap justru citra negatif, kontribusi dari prestasi itu sangatlah terbatas. Apakah para pemimpin politik Indonesia mau membangun ranah olahraga kita dengan serius?

Apakah para pemimpin politik Indonesia siap memproyeksikan citra positif politik Indonesia yang beretika dan profesional ketika nama baik Indonesia melambung di dunia olahraga? Semoga politisi kita insaf untuk tidak sekadar ”memetik” keberhasilan dan mau mulai ”menanam” dengan tekun.

DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3605 seconds (0.1#10.140)