Bonus demografi di tengah otda

Kamis, 10 Oktober 2013 - 09:18 WIB
Bonus demografi di tengah otda
Bonus demografi di tengah otda
A A A
INDONESIA tengah memasuki bonus demografi. Isu ini terjadi karena ada perubahan struktur demografi atau komposisi penduduk menurut umur yang diperkirakan mencapai puncaknya pada 2030.

Pada tahun tersebut rasio ketergantungan penduduk akan berkisar 44–46%. Faktor utamanya adalah keberhasilan program Keluarga Berencana (KB) yang dilakukan pemerintah dalam 40 tahun terakhir. Bonus demografi jelas untuk publik. Ibarat pepatah “siapa menanam, mengetam”. Dengan keberhasilan KB, jumlah tanggungan keluarga turun signifikan.

Dengan demikian, ada kesempatan untuk menabung dan meningkatkan kesejahteraan. Namun, sebagai bentuk sosialisasi, agaknya penggunaan istilah “bonus demografi” perlu disederhanakan. Isilah tersebut terlalu canggih untuk dipahami publik yang berpendidikan rendah. Bukan tak mungkin ada yang memahaminya secara keliru yakni sebagai legitimasi ungkapan “banyak anak banyak rezeki”. Secara semantik nuansa makna kata “bonus” cenderung berkonotasi “positif”.

Padahal, dalam konteks tersebut tidak selalu berarti demikian karena bonus demografi yang tidak diikuti dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan ketersediaan pasar tenaga kerja justru bisa menjadi bencana. Mengingat hal tersebut, ada baiknya istilah “bonus demografi” dicarikan padanan katanya dengan yang lebih sederhana dan mudah dipahami rakyat. Misalnya, istilah “ledakan penduduk produktif” atau istilah lain yang lebih mendekati maknanya.

Meskipun tak tepat benar, yang penting pesannya sampai ke publik. Persoalan istilah ilmiahnya biarlah tetap menjadi konsumsi kaum akademik. Bagi publik isu bonus demografi perlu dikampanyekan. Tujuannya untuk membangkitkan kesadaran mereka tentang pentingnya meningkatkan kualitas SDM. Apalagi di era persaingan ekonomi dan pasar global yang makin ketat seperti saat ini. Bila tidak, momentum tersebut justru akan menjadi bumerang.

Peran penting Pemda
Sebagai pelayan publik, peran pemerintah sangat menentukan apakah bonus demografi akan menjadi maslahat atau mudarat. Dalam hal ini pemerintah bertanggung jawab untuk menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan publik, khususnya yang memungkinkannya memiliki sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, pasar tenaga kerja, dan akses terhadap sumber-sumber ekonomi.

Di era otonomi daerah (otda) dewasa ini tanggung jawab terdepan jelas ada di tangan pemerintah daerah (pemda). Otda tak lain merupakan upaya membangun Indonesia dari daerah. Bagi pemerintah, untuk mewujudkan hal tersebut tentu tak semudah membalik telapak tangan. Meskipun secara makroekonomi kondisi Indonesia cukup baik, dalam realitasnya masih banyak rakyat yang kondisi sosial ekonominya memprihatinkan.

Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi belum diikuti dengan pemerataan. Data BPS misalnya memperlihatkan bahwa pada 2013 jumlah tenaga kerja pendidikan sekolah dasar ke bawah mencapai 35,88 juta orang, tingkat kemiskinan 11,37% (per Maret 2013), dan tingkat pengangguran per Februari 2013 mencapai 7,17 juta orang atau 5,92% dari jumlah angkatan kerja di Indonesia yang mencapai 121,2 juta orang.

Dana yang selalu menjadi alasan klasik sesungguhnya bukan hal yang sangat mencemaskan. Persoalan yang mengkhawatirkan adalah rendahnya kemauan dan komitmen politik pemda dalam memprioritas anggaran pendapatan dan belanja daerah APBD untuk kepentingan publik. Ini dapat dilihat dengan jelas setidaknya dari postur APBD untuk belanja modal yang hanya sekitar 30–40% ketimbang belanja rutin yang mencapai 60–70%. Padahal, idealnya adalah kebalikannya.

Belum lagi soal kebocoran uang negara yang menurut FITRA diperkirakan mencapai 30% per tahun. Rendahnya kemauan dan komitmen politik tersebut secara nyata juga tampak dari minimnya perhatian pada pembangunan infrastruktur daerah. Nyaris di semua daerah persoalan infrastruktur menjadi masalah laten yang seolah terus mengalami pembiaran. Kritik dari dalam bukan tidak ada. Presiden misalnya pernah mengingatkan agar APBD tidak dihabiskan untuk belanja pegawai.

Tetapi, energi dan volumenya terlalu lemah. Mengharap perubahan dari dalam ibarat mengharap siput berlari. Dalam iklim birokrasi yang belum tereformasi secara substansial, tak ada pilihan lain bagi rakyat kecuali membangun kesadaran dan kekuatan politiknya guna mendobrak mata hati penguasa yang buta.

Pengawalan ketat harus dilakukan terhadap program-program kerja pemerintah, mulai dari perencanaan anggaran sampai pelaksanaannya. Tanpa partisipasi aktif rakyat, jangan bermimpi bahwa bonus demografi akan menjadi bonus investasi, melainkan sebaliknya, bisa menjadi bencana demografi.

Revitalisasi BKKBN
Bagi pemda, isu bonus demografi seharusnya makin menyadarkannya tentang arti pengendalian laju pertumbuhan penduduk. Klaim tentang keberhasilan pertumbuhan ekonomi yang dicapainya bisa jadi benar, tetapi menjadi tak berarti bila tak disertai dengan penurunan jumlah penduduk yang signifikan. Sebagai gambaran, sejauh ini dengan pertumbuhan penduduk 1,49%, diperkirakan jumlah penduduk Indonesia pada 2013 telah mencapai 250 juta jiwa.

Jauh panggang dari api, yang terjadi justru pengabaian dari banyak pemda. Ini bisa terjadi karena pascareformasi terjadi perubahan sistem pemerintahan dari pusat ke daerah. Dengan sistem otonomi daerah (UU N0 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah), kebijakan yang dibuat oleh pusat tidak sampai ke daerah. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) termasuk yang teramputasi karena tak memiliki kaki lagi di daerah (kabupaten/kota).

Hubungannya dengan Badan Kependudukan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD) kini hanya bersifat fungsional. Dalam situasi tersebut, banyak kepala daerah yang seolah tidak memahami pentingnya korelasi antara pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Mereka lebih tertarik dengan kepentingan politik jangka pendek yang secara politik lebih menguntungkannya.

Melihat kecenderungan perilaku politik daerah saat ini, penting bagi BKKBN untuk merevitalisasi eksistensi vertikalnya di daerah. Adalah benar bahwa secara kelembagaan kedudukan BKKBN kini lebih kuat dari sebelumnya karena berada di bawah dan bertanggung jawab langsung ke Presiden (sesuai Undang-Undang Pembangunan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga yang disahkan pada 2009).

Tetapi, hal tersebut tidak cukup karena objek sesungguhnya ada di daerah (kota dankabupaten). Dalamhalinidiperlukan kerja keras untuk membangun dukungan politik publik guna meyakinkan pemerintahdanDPRbahwaeksistensi BKKBN di daerah merupakan keniscayaan. Lepas dari tiadanya hubungan kelembagaan yang bersifat vertikal, dalam jangka pendek perlu dibangun kesepahaman, kerja sama, dan sinergi yang kuat antara BKKBN dan pemda.

Bonus demografi seharusnya membuka mata hati semua pihak, termasuk pemerintah, untuk mewujudkan impian Indonesia sebagai salah satu dari 10 kekuatan ekonomi dunia pada 2030 sebagaimana diprediksi beberapa lembaga riset internasional seperti McKinsey Global Institute. Jangan sampai bonus demografi justru semakin meningkatkan jumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) nonprofesional ke luar negeri.

Tanpa menafikan devisa yang dihasilkannya, sejauh ini martabat dan harga diri bangsa Indonesia di mata orang luar telah runtuh terstigma sebagai bangsa budak. Lalu di mana arti kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan 68 tahun lalu?

R. SITI ZUHRO
Profesor (Riset) Pusat Penelitian Politik LIPI
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5996 seconds (0.1#10.140)