Anomali MK dalam sistem demokrasi

Rabu, 09 Oktober 2013 - 07:37 WIB
Anomali MK dalam sistem demokrasi
Anomali MK dalam sistem demokrasi
A A A
TIGA ciri khas negaranegara yang menganut sistem demokrasi modern adalah, pertama bahwa rakyat memberikan mandat kepada perwakilan (legislator)nya melalui mekanisme pemilihan umum.

Yang kedua adalah bahwa pemegang mandat tersebut dapat membuat undang-undang (karenanya disebut law maker) yang mengikat kepada rakyat pemberi mandat. Yang ketiga adalah bahwa terdapat mekanisme checks and balances lembaga-lembaga yang menjalankan kewenangannya oleh lembaga negara lainnya. Rupanya Mahkamah Konstitusi (MK) adalah kebalikan dari hal tersebut di atas.

Hakim-hakimnya disebut negative legislator, karena dapat membatalkan Undang-undang yang dihasilkan oleh pemegang mandat demokrasi. Putusannya mengikat seketika bagi pihak yang beperkara maupun tidak beperkara (erga omnes), melebihi putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Terhadap putusan MK tidak tersedia upaya hukum banding apapun.

Mahkamah Konstitusi Indonesia pernah membuat suatu putusan yang tidak dimohonkan (ultrapetitum) terkait judicial review Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 dalam putusan Nomor 005/PUU-IV/ 2006, yang menetapkan bahwa hakim-hakim MK tidak berada di bawah pengawasan Komisi Yudisial. Inilah salah satu contoh penyelundupan putusan yang bernuansa conflict of interest, serta tidak ada mekanisme untuk men-challenge-nya.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi berpotensi menafikan proses demokrasi. Para pihak yang kepentingannya tidak diakomodasi dalam undang-undang dapat berjuang bergerilya mengajukan pembatalan undang-undang lewat pintu mahkamah ini. Seorang ketua umum partai besar konon juga mengkritisi sistem Mahkamah Konstitusi, di mana hanya dengan lima orang (mayoritas) hakim dapat membatalkan produk lembaga legislatif yang dihasilkan 500 orang.

Di Mesir, ketua Mahkamah Konstitusi didapuk oleh militer menjadi presiden sementara, menggantikan Presiden Mursi yang terpilih secara demokratis. Karena itu, di beberapa negara, Mahkamah Konstitusi hanya ditempatkan sebagai salah satu kamar di Mahkamah Agung, sehingga ada mekanisme pengendaliannya.

Konsep keberadaan Mahkamah Konstitusi sebenarnya adalah ibarat komisaris independen yang menjaga kepentingan pemegang saham minoritas terhadap pemilik suara mayoritas. Karena itu, tugas utamanya adalah menguji norma, yaitu suatu undangundang apakah bertentangan dengan konstitusi. Jadi bukan menguji satu peristiwa hukum yang konkret. Namanya juga Mahkamah Konstitusi.

Sementara di Indonesia, energi terbesar hakim Mahkamah Konstitusi adalah untuk menyelesaikan perkara sengketa pilkada. Hal ini terjadi karena sejak 2008 Mahkamah Agung melimpahkan kewenangan mengadili sengketa Pilkada ke Mahkamah Konstitusi. Harap dicatat, kewenangan tersebut bukan karena perintah atau mandat Undang-Undang Dasar NRI 1945, melainkan karena revisi terbatas Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 pada Pasal 236 C.

Seyogianya Undang-undang tidak boleh memberikan hak kepada suatu lembaga melebihi apa yang diatur secara limitatif dalam Undang-Undang Dasar. Indonesia saat ini memiliki 538 daerah otonom. Apabila dalam setiap pilkada ada satu atau dua pasangan calon kepala daerah yang mengajukan sengketa ke Mahkamah Konstitusi, praktis setiap hari kerja hakim konstitusi harus menangani setidak-tidaknya dua perkara pilkada. Hal ini akan sangat menguras energi anggota hakim yang hanya terdiri atas sembilan orang, yang juga dapat mengakibatkan kejenuhan yang dapat mengurangi ketajaman profesionalisme (professional exhausted), dan mengabaikan tugas utamanya sebagai penguji norma undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.

Mahkamah Konstitusi tidak boleh dibiarkan menjadi penafsir tunggal kebenaran. Sistem ketatanegaraan yang sehat adalah terdapatnya mekanisme checks and balances antarlembaga, untuk mencegah timbulnya lembaga super body yang tidak terkontrol. Setiap warga negara dapat mengajukan gugatan mengenai Mahkamah Konstitusi, yang memiliki legal standing dan causa verband (hubungan sebab akibat) atas dalil bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat ergo omnes yang mengikat seluruh warga negara sekalipun tidak merupakan pihak dalam suatu perkara.

Persoalannya adalah, ke lembaga mana pengujian Undang-Undang MK dapat diajukan? Mengingat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, lembaga yang dapat menguji undang-undang hanyalah Mahkamah Konstitusi, apakah mungkin mengajukan judisial review Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi? Dalam ajaran hukum ada istilah Nemo Judex Indoneus In Propria, yang artinya tidak mungkin seorang hakim mengadili dirinya sendiri.

Tampaknya pintu koreksi yang terbuka, adalah dengan merevisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Tugas, pokok, dan kewenangannya agar disesuaikan dengan maksud perkuatan konstruksi infrastruktur demokrasi, yang memproteksi kepentingan seluruh warga negara, dari kesewenang-wenangan perundang-undangan yang hanya didasarkan pada kehendak mayoritas legislator.

Dengan kondisiketua Mahkamah Konstitusi yang barubaru ini terkena satu kasus hukum, kita harus tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah. Kejadian ini harus menjadi refleksi perbaikan sistem kewenangan institusional dan sistem pengendalian manajemen organisasi. Perilaku pimpinan atau perorangan pada suatu organisasi tidak serta-merta merupakan gambaran dari organisasi.

Sementara itu, suatu undang-undang harus mempertimbangkan segala aspek secara komprehensif, holistis, dan integral. Tidak boleh membuat suatu undang-undang yang memberi kewenangan kepada suatu institusi melebihi apa yang dimandatkan Undang-Undang Dasar. Lembaga-lembaga publik yang kewenangannya dapat memberi pengaruh langsung terhadap kebebasan asasi warga negara,
seperti lembaga-lembaga penegak hukum, harus didesain dengan mekanisme tata kelola kepemerintahan (governance) yang sehat. Hukum acara dan tata kerjanya harus diundangkan dan menjadi domain publik. Termasuk di dalamnya adalah mekanisme checks and balances oleh lembaga negara lainnya.

SAMPE L PURBA
Praktisi dan Pengamat Hukum, Alumni PPRA 49 Lemhanas RI
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6560 seconds (0.1#10.140)
pixels