Bom waktu korupsi MK
A
A
A
PAKAR dan praktisi hukum tata negara, Refly Harun sekitar tiga tahun lalu (25 Oktober 2010) menulis di Harian Kompas ”MK Masih Bersih?”. Pada intinya Refly mengurai dugaan adanya makelar perkara di Mahkamah Konstitusi (MK).
Refly berobsesi agar MK lebih mawas diri dan secara bersama menjaga kredibilitasnya. Kemudian direspons oleh Ketua MK saat itu, Mahfud MD dengan membentuk Tim Investigasi Internal MK yang juga diketuai Refly. Refly merasa miris lantaran kerap mendengar selentingan bahwa MK mulai masuk angin. Saat Refly berkunjung ke Papua, juga mendengar keluhan dari peserta pertemuan bahwa pilkada tidak perlu lagi.
Sebab biayanya terlalu besar yang harus disiapkan kandidat kepala daerah dan penyelenggara pemilu. Bahkan juga menyiapkan dana untuk bersengketa di MK, ada yang habis Rp10-12 miliar untuk MK. Ada juga yang bercerita tentang dugaan negosiasi yang gagal untuk memenangi perkara, karena hakim meminta uang Rp1 miliar.
Itu ditulis berdasarkan informasi dari pemohon yang hanya sanggup memberikan garansi bank senilai itu. Kegagalan negosiasi dengan salah satu oknum hakim MK, karena dana tidak cair sampai sore, permohonan pun dicabut. Begitulah sebagian informasi yang ditulis Refly yang sebetulnya bermaksud agar MK menjadi pengadilan yang terpercaya.
Kepercayaan publik
Tim investigasi yang dipimpin Refly memang tidak berhasil mengungkap kecurigaan negosiasi dan suap di MK, karena untuk membuktikan suap bukan persoalan gampang. Orang yang memberi dan menerima selalu tertutup, apalagi tidak ada bukti tertulis berupa kuitansi penerimaan uang.
KPK sekalipun tidak akan menemukan bukti, kecuali jika sebelumnya menyadap telepon pemberi dan penerima suap, kemudian melakukan tangkap tangan saat uang diserahkan, atau sesaat setelah diserahkan. Penangkapan Ketua MK Akil Mochtar yang diduga menerima suap dalam operasi tangkap tangan (2/10) dengan bukti uang dolar Singapura sekitar Rp2-3 miliar, merupakan ”bom waktu” yang meledak setelah tertunda tiga tahun.
Kekhawatiran Refly menemukan kebenarannya, dugaan adanya suap di MK bukan isapan jempol. Malah lebih memalukan, penyidik KPK menemukan ganja dan ekstasi saat menggeledah ruang kerja Akil Mochtar pada Kamis (3/ 10/2013) malam. Seperti kata pepatah, tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Atau sepandai-pandai tupai melompat, suatu saat akan jatuh juga.
Begitulah gambaran untuk membenarkan keraguan Refly. Tetapi apapun hasilnya, apalagi KPK telah menetapkan Akil Mochtar sebagai tersangka pada penanganan sengketa hasil pemilukada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan Kabupaten Lebak, Banten, tentu patut diapresiasi. Peristiwa ini membuat kita bertanya, peradilan mana lagi yang bisa dipercaya.
MK yang selama ini dibanggakan dengan putusan-putusannya yang nir-intervensi, tetapi peristiwa itu seolah membenarkan prasangka adanya oknum yang bermain dalam perkara yang ditangani MK. Predikat peradilan bersih karena setiap putusan MK diambil oleh sembilan hakim konstitusi, runtuh seketika. Sembilan pilar konstitusi yang seharusnya menjadi pilar tegaknya konstitusi negara yang dibangun begitu susah payah, justru diruntuhkan oleh ketuanya.
Tetapi dari satu sisi ada hikmahnya, karena penangkapan dengan sendirinya berhasil menyelamatkan potensi permasalahan dalam pemilihan presiden 2014. Sengketa hasil penghitungan suara Pemilihan Bupati Gunung Mas, sebenarnya cukup aneh. Sebab bupati yang ditangkap KPK adalah incumbent dan ditetapkan pemenang oleh KPU Kabupaten Gunung Mas.
Kenapa begitu ambisius, sebab hampir semua sengketa pemilukada dimenangkan KPU daerah. Biasanya pemohon sebagai pihak yang kalah lebih bernafsu untuk menyogok hakim, agar gugatannya dimenangkan. Boleh jadi mendapat sinyal dari putusan MK sehari sebelumnya terhadap sengketa pemilukada Kabupaten Lebak, Banten yang diperintahkan untuk dilakukan pemilihan ulang.
Jika seperti ini skenarionya, penangkapan susulan KPK terhadap salah satu pengusaha yang diduga terkait Ketua MK dalam sengketa hasil pemilihan Bupati Lebak, semakin membuat terang dugaan adanya permainan. Ini bisa jadi pelajaran bahwa godaan uang yang datang bertubi-tubi dalam menangani sengketa pemilukada, suatu saat akan mampu meruntuhkan iman hakim konstitusi.
Momentum emas
Kebanggaan pada MK tidak bisa hanya didengungkan di media massa. Penangkapan Ketua MK harus dijadikan momentum emas untuk tidak sekadar bangga bahwa MK tetap bersih. Agar kepercayaan publik kembali pulih terhadap MK sebagai peradilan yang kredibel, hakim konstitusi yang belum masuk angin harus lebih mawas diri.
Lebih dari itu, KPK juga harus menelusuri kemungkinan adanya keterlibatan oknum lain, sebab biasanya suap menyuap tidak berdiri sendiri, selalu ada orang lain yang terlibat. Tanpa bermaksud mendahului putusan hakim, kebanggaan pada MK menjadi pudar. Di negeri ini, hampir tidak ada satu pun institusi hukum yang steril dari kasus korupsi.
KPK memang masih dipercaya, meski dua pimpinan KPK pernah dijadikan tersangka dan ditahan oleh penyidik kepolisian yang terkenal dengan kasus ”cicak-buaya”. Tetapi secara hukum tidak terbukti karena kasusnya dihentikan di tingkat penuntutan. Publik malah lebih percaya kalau dua pimpinan KPK hanyalah korban kriminalisasi.
Titik perhatian terpenting untuk membangun kembali kepercayaan publik, karena MK sebagai anak kandung reformasi tidak boleh hancur oleh ulah segelintir hakimnya. Kalau Mahkamah Agung sudah tercemar oleh ulah oknum hakim agung, begitu pula hakim pengadilan tindak pidana korupsi, tidak berarti bahwa penegakan hukum harus berhenti.
Semua lembaga peradilan harus ditata ulang, mulai dari mekanisme rekrutmen sampai pada penguatan profesionalitas dan integritasnya.
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
Refly berobsesi agar MK lebih mawas diri dan secara bersama menjaga kredibilitasnya. Kemudian direspons oleh Ketua MK saat itu, Mahfud MD dengan membentuk Tim Investigasi Internal MK yang juga diketuai Refly. Refly merasa miris lantaran kerap mendengar selentingan bahwa MK mulai masuk angin. Saat Refly berkunjung ke Papua, juga mendengar keluhan dari peserta pertemuan bahwa pilkada tidak perlu lagi.
Sebab biayanya terlalu besar yang harus disiapkan kandidat kepala daerah dan penyelenggara pemilu. Bahkan juga menyiapkan dana untuk bersengketa di MK, ada yang habis Rp10-12 miliar untuk MK. Ada juga yang bercerita tentang dugaan negosiasi yang gagal untuk memenangi perkara, karena hakim meminta uang Rp1 miliar.
Itu ditulis berdasarkan informasi dari pemohon yang hanya sanggup memberikan garansi bank senilai itu. Kegagalan negosiasi dengan salah satu oknum hakim MK, karena dana tidak cair sampai sore, permohonan pun dicabut. Begitulah sebagian informasi yang ditulis Refly yang sebetulnya bermaksud agar MK menjadi pengadilan yang terpercaya.
Kepercayaan publik
Tim investigasi yang dipimpin Refly memang tidak berhasil mengungkap kecurigaan negosiasi dan suap di MK, karena untuk membuktikan suap bukan persoalan gampang. Orang yang memberi dan menerima selalu tertutup, apalagi tidak ada bukti tertulis berupa kuitansi penerimaan uang.
KPK sekalipun tidak akan menemukan bukti, kecuali jika sebelumnya menyadap telepon pemberi dan penerima suap, kemudian melakukan tangkap tangan saat uang diserahkan, atau sesaat setelah diserahkan. Penangkapan Ketua MK Akil Mochtar yang diduga menerima suap dalam operasi tangkap tangan (2/10) dengan bukti uang dolar Singapura sekitar Rp2-3 miliar, merupakan ”bom waktu” yang meledak setelah tertunda tiga tahun.
Kekhawatiran Refly menemukan kebenarannya, dugaan adanya suap di MK bukan isapan jempol. Malah lebih memalukan, penyidik KPK menemukan ganja dan ekstasi saat menggeledah ruang kerja Akil Mochtar pada Kamis (3/ 10/2013) malam. Seperti kata pepatah, tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Atau sepandai-pandai tupai melompat, suatu saat akan jatuh juga.
Begitulah gambaran untuk membenarkan keraguan Refly. Tetapi apapun hasilnya, apalagi KPK telah menetapkan Akil Mochtar sebagai tersangka pada penanganan sengketa hasil pemilukada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan Kabupaten Lebak, Banten, tentu patut diapresiasi. Peristiwa ini membuat kita bertanya, peradilan mana lagi yang bisa dipercaya.
MK yang selama ini dibanggakan dengan putusan-putusannya yang nir-intervensi, tetapi peristiwa itu seolah membenarkan prasangka adanya oknum yang bermain dalam perkara yang ditangani MK. Predikat peradilan bersih karena setiap putusan MK diambil oleh sembilan hakim konstitusi, runtuh seketika. Sembilan pilar konstitusi yang seharusnya menjadi pilar tegaknya konstitusi negara yang dibangun begitu susah payah, justru diruntuhkan oleh ketuanya.
Tetapi dari satu sisi ada hikmahnya, karena penangkapan dengan sendirinya berhasil menyelamatkan potensi permasalahan dalam pemilihan presiden 2014. Sengketa hasil penghitungan suara Pemilihan Bupati Gunung Mas, sebenarnya cukup aneh. Sebab bupati yang ditangkap KPK adalah incumbent dan ditetapkan pemenang oleh KPU Kabupaten Gunung Mas.
Kenapa begitu ambisius, sebab hampir semua sengketa pemilukada dimenangkan KPU daerah. Biasanya pemohon sebagai pihak yang kalah lebih bernafsu untuk menyogok hakim, agar gugatannya dimenangkan. Boleh jadi mendapat sinyal dari putusan MK sehari sebelumnya terhadap sengketa pemilukada Kabupaten Lebak, Banten yang diperintahkan untuk dilakukan pemilihan ulang.
Jika seperti ini skenarionya, penangkapan susulan KPK terhadap salah satu pengusaha yang diduga terkait Ketua MK dalam sengketa hasil pemilihan Bupati Lebak, semakin membuat terang dugaan adanya permainan. Ini bisa jadi pelajaran bahwa godaan uang yang datang bertubi-tubi dalam menangani sengketa pemilukada, suatu saat akan mampu meruntuhkan iman hakim konstitusi.
Momentum emas
Kebanggaan pada MK tidak bisa hanya didengungkan di media massa. Penangkapan Ketua MK harus dijadikan momentum emas untuk tidak sekadar bangga bahwa MK tetap bersih. Agar kepercayaan publik kembali pulih terhadap MK sebagai peradilan yang kredibel, hakim konstitusi yang belum masuk angin harus lebih mawas diri.
Lebih dari itu, KPK juga harus menelusuri kemungkinan adanya keterlibatan oknum lain, sebab biasanya suap menyuap tidak berdiri sendiri, selalu ada orang lain yang terlibat. Tanpa bermaksud mendahului putusan hakim, kebanggaan pada MK menjadi pudar. Di negeri ini, hampir tidak ada satu pun institusi hukum yang steril dari kasus korupsi.
KPK memang masih dipercaya, meski dua pimpinan KPK pernah dijadikan tersangka dan ditahan oleh penyidik kepolisian yang terkenal dengan kasus ”cicak-buaya”. Tetapi secara hukum tidak terbukti karena kasusnya dihentikan di tingkat penuntutan. Publik malah lebih percaya kalau dua pimpinan KPK hanyalah korban kriminalisasi.
Titik perhatian terpenting untuk membangun kembali kepercayaan publik, karena MK sebagai anak kandung reformasi tidak boleh hancur oleh ulah segelintir hakimnya. Kalau Mahkamah Agung sudah tercemar oleh ulah oknum hakim agung, begitu pula hakim pengadilan tindak pidana korupsi, tidak berarti bahwa penegakan hukum harus berhenti.
Semua lembaga peradilan harus ditata ulang, mulai dari mekanisme rekrutmen sampai pada penguatan profesionalitas dan integritasnya.
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
(nfl)