Mendorong kemandirian desa

Jum'at, 04 Oktober 2013 - 09:38 WIB
Mendorong kemandirian...
Mendorong kemandirian desa
A A A
SATU terobosan baru berhasil dicapai dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Desa. Dalam rapat konsultasi antara pemerintah dan DPR, pemerintah pada Selasa (1/10) lalu, akhirnya sepakat menyetujui anggaran desa akan masuk pos Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

Berdasarkan keterangan Ketua Pansus RUU Desa Ahmad Muqowam, keberadaan anggaran desa merupakan wujud upaya pemberdayaan desa serta membuat desa lebih maju dan mandiri. Keberadaan nomenklatur anggaran desa dalam APBN juga diarahkan untuk mengefektifkan anggaran. Selama ini, anggaran desa yang dialokasikan melalui kementerian tidak tepat sasaran.

Jika diimplementasikan dengan benar, keberadaan anggaran memang sangat strategis mendorong pembangunan desa. Kondisi yang terjadi saat ini, walaupun strategi pembangunan sudah mengarah pada kebijakan desentralisasi seiring dengan pemberlakuan otonomi daerah, posisi desa masih termarginalkan dan sekadar menjadi objek, bukan subjek pembangunan itu sendiri.

Idealnya, masyarakat desa harus aktif memegang peranan membangun desanya masing-masing karena merekalah yang memahami persoalan dan potensi desanya. Implementasi otonomi daerah harus diakui baru berhenti pada level kabupaten. Semua anggaran pembangunan, baik itu dana alokasi umum (DAU) maupun dana alokasi khusus (DAK) mengucur lewat kabupaten.

Dengan demikian, bagaimana pemanfaatan, pengelolaan, dan pertanggungjawaban sepenuhnya bergantung pada pemerintah kabupaten atau bupati. Selain berpotensi pengelolaan dana tidak tepat sasaran, kondisi demikian tentu mematikan daya inisiatif dan kreativitas pemerintahan desa, dalam hal ini kepala desa, yang notabene lebih mengetahui persoalan desa dan pembangunan seperti apa yang dibutuhkan.

Dalam banyak kasus, dana pembangunan desa yang dilewatkan kabupaten sering dimanfaatkan sebagai alat politik untuk memenangkan pemilihan kepala daerah. Pada posisi yang sama, anggaran desa yang dilewatkan kementerian juga menempatkan pemerintah desa, dalam hal ini kepala desa, hanya sebagai penonton.

Banyak program yang sejatinya sangat idealis dan memakan dana yang sangat besar ternyata kemudian tidak membawa manfaat, bahkan terbengkelai begitu saja karena ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Selain berbagai persoalan di atas,akibat panjang rantai birokrasi yang harus dilewati, dana pembangunan desa yang kemudian cair ke desa sering kali mengalami penyusutan.

Imbasnya sudah barang tentu kualitas dari program atau proyek semakin menurun. Dengan demikian, masyarakat desa menjadi dirugikan. Harus diakui, menyerahkan anggaran pembangunan langsung ke desa tidak serta-merta bisa berlancar-lancar. Dimafhumi bahwa selama ini banyak kepala desa bermasalah secara hukum karena memanfaatkan posisinya untuk mengeruk kekayaan.

Sistem pemilihan langsung yang “padat modal”, secara tidak langsung membentuk perilaku koruptif. Dengan demikian, jika anggaran desa diwujudkan, pemerintah dan DPR harus benar-benar memikirkan bagaimana sistem pengawasannya. Kemandirian pengelolaan anggaran juga terkait erat dengan kemampuan manajemen pemerintah desa dan ketersediaan sumber daya manusia.

Tanpa dukungan soft skill tersebut, sebesar apa pun dana akan dikucurkan, tidak akan membawa manfaat maksimal karena miskelola. Karena itu, pengucuran dana harus juga disertai asistensi dan pembinaan sehingga dana bisa dikelola dengan sebaik-baiknya. Namun, seberat apa pun kendala dan tantangannya, anggaran desa merupakan keniscayaan dan sangat strategis untuk mendorong kemandirian dan menggenjot pembangunan desa.

Jika hal tersebut bisa diwujudkan, pada akhirnya terobosan ini bisa menjadi solusi ketimpangan pembangunan desa-kota, mengurangi urbanisasi, dan pada akhirnya akan mewujudkan pemerataan kesejahteraan.
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0665 seconds (0.1#10.140)