Demokrasi dan ketamakan dinastik
A
A
A
DALAM diskusi informal di ruang kerja saya (di Senayan) dengan beberapa orang dari daerah baru-baru ini, seorang di antaranya dengan nada serius meminta tanggapan atau pertanggungjawaban saya sebagai pejabat negara dan mantan aktivis tentang praktik demokrasi lokal yang dianggapnya sangat buruk dan bertentangan dengan nilai-nilai reformasi.
Ia menghitung sejumlah jabatan di daerah asalnya yang dikuasai keluarga, kroni, dan tim sukses pejabat kepala daerah. Proyek-proyek pemerintah pun demikian, dikerjakan atau ditangani para pengusaha klien politik dan barisan keluarga pejabat. Yang bersangkutan pun secara spekulatif mencoba membeberkan perkiraan harta kepala daerah yang dianggapnya melimpah termasuk sejumlah pejabat daerah bawahannya.
Yang lebih aktual lagi, katanya, para calon anggota legislatif yang akan bertarung dalam Pemilu 2014 nanti, dari berbagai parpol, mulai dari calon anggota DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, sampai pada caleg DPR RI, dan juga calon anggota DPD RI, sebagian berasal dari jajaran keluarga pejabat kepala daerah. Yang kemudian membuat saya mengangkatnya sebagai artikel singkat untuk direnungkan oleh publik bangsa ini, pertanyaan dan sekaligus sikap sinis-pesimistisnya terhadap kecenderungan yang terjadi itu: “kalau demikian adanya, maka apalagi yang akan jadi bagian kami rakyat ini, ketika semua peluang hendak diambil oleh pejabat politik penguasa lokal”?
Terhadap semua yang dikeluhkan itu, saya menanggapinya dengan mengesankan “dingindingin saja” kendati sebenarnya sangat serius. Saya jelaskan kepadanya bahwa kondisi seperti itu tak hanya terjadi di daerahnya, tapi juga ditemukan atau jadi kecenderungan umum di berbagai daerah di seluruh Tanah Air.
Barangkali pada tingkat tertentu hanya pejabat pemerintahan di DKI Jakarta yang berbeda karena lebih rasional, bahkan mencoba lebih progresif menerapkan prinsip-prinsip good governance, terutama di era Jokowi-Ahok sekarang ini. Sementara sebagian pemerintahan daerah di sekitar Jakarta sendiri terjadi praktik seperti yang diresahkan itu, bahkan mungkin lebih parah lagi ketimbang di daerah asalnya.
Tak berlebihan jika dikatakan bahwa terdapat fenomena “neodinasti” yang terbangun di era otonomi daerah sekarang ini. Para kepala daerah, jika mau jujur diakui, membangun bentuk dinasti baru itu dengan menancapkan tiga pilar utama selama menjabat. Pertama, pilar birokrasi dengan menempatkan orangorangnya di jajaran pejabat bawahannya untuk memudahkan mengatur, mengarahkan, dan mengendalikannya berdasarkan kepentingan, orientasi, dan rasional subjektif.
Ada tiga sumber rekrutmen para pejabat itu: keluarga, pendukung politik (tim sukses atau titipan dari kekuatan pendukung politik), dan loyalis yang bisa memahami kepentingan pejabat dan barisan tim sukses. Kedua, pilar bisnis dengan mendistribusikan berbagai proyek (yang berada di seluruh instansi di daerahnya) kepada pengusaha kliennya, keluarganya, atau kroni-kroninya, melalui tender formalitas-termasuk di dalamnya pemberian good will untuk urusan bisnis atau investasi yang langsung “diuangkan” atau dengan memperoleh golden share atas nama pihak ketiga.
Di jalur inilah seorang pejabat kepala daerah dan keluarganya mengumpulkan harta, yang biasanya diamankan melalui “brankas” pihak ketiga itu, baik dari unsur keluarga, loyalis, maupun mitra bisnisnya. Cara seperti ini pula menjadikan seorang pejabat seolah-olah bersih sehingga bebas dari pantauan penegak hukum, apalagi pihak yang disebut terakhir juga bisa diamankan dengan “saling berbagi”.
Ketiga, dengan mendorong dan mendukung barisan keluarganya (anaknya atau istrinya, atau suaminya, atau mertuanya, atau orang tuanya, atau kakaknya, atau adiknya, atau iparnya, atau sepupunya, atau keponakannya, dan sejenisnya) ke berbagai peluang jabatan politik baik di daerah maupun di Jakarta (DPRD, DPR RI, dan atau DPD RI). Figur dari barisan keluarga yang bertarung memperebutkan jabatan politik itu jelas tak akan kesulitan sumber daya dan dukungan.
Dalam proses-proses politik seperti itulah, keluarga penguasa bersaing dengan unsur rakyat dengan sumber daya yang terbatas dan tanpa dukungan instrumen birokrasi sehingga sangat mudah dipastikan bahwa dari keluarga pejabatlah yang diuntungkan dan atau berpeluang besar memenangkan pertarungan. Pertanyaannya kemudian, di mana rasa keadilan dan fairness pejabat penguasa ketika terus berambisi untuk melumpuhkan semangat rakyatnya dalam politik?
Kondisi seperti ini memang sangat memprihatinkan karena sungguh-sungguh mengekspresikan kegagalan reformasi secara sengaja dan terbuka ditonton oleh publik bangsa ini. Kita berada di era demokrasi sebagai hasil reformasi. Namun, agaknya atas nama demokrasi pula atau atas nama hak asasi manusia (HAM), nilai-nilai reformasi diinjak oleh sebagian oknum pejabat.
Targetnya sangat jelas yakni (1) agar terus bisa memapankan kekuasaan berbasis keluarga dari periode ke periode dan pada saat yang sama (2) dengan cara dan sekaligus mengumpulkan harta yang bisa digunakan untuk terus memberi topangan finansial dalam pertarungan politik selanjutnya dan atau terus menikmati kesenangan duniawi berkelanjutan. Perkembangan seperti ini secara psikososiologis bisa dikatakan sebagai “ketamakan dinastik” yang mencengkeram dengan ciri “matinya rasa malu dan frasa sosial penguasa” akibat mabuk jabatan dan harta.
Kecenderungan itu akan sulit diakhiri karena bagian yang melekat dari watak dan orientasi manusia yang selalu mau berkuasa dan menikmati kemewahan. Barangkali, barang siapa yang mempersoalkannya akan berpotensi jadi bagian dari musuh politik, di mana mereka memiliki instrumen untuk mematikan langkah dari setiap upaya mengakhiri rezim dinasti yang serakah itu. Lalu, siapa yang bertanggung jawab terhadap suburnya kecenderungan seperti ini? Pertama, pemerintah nasional yang sedang berkuasa.
Setiap penguasa di Era Reformasi ini sebenarnya wajib mencermati realita di lapangan, seraya kemudian mengonfirmasikannya dengan misi reformasi, apakah sudah sejalan atau belum. Tepatnya, pemerintah selama ini melakukan pembiaran terhadap fakta penyimpangan praktik kekuasaan lokal, membiarkan cenderung mapan terbangunnya dinasti baru yang secara substansial sangat merugikan hakhak rakyat.
Parahnya lagi, dalam rancangan perubahan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, termasuk dalam proses-proses pembahasannya sekarang ini (DPR, DPD, dan pemerintah), sama sekali tidak muncul gagasan untuk mempersoalkan kecenderungan dinasti baru itu seraya mencegahnya dengan melahirkan aturanaturan yang relevan. Entahlah, barangkali mereka lalai mencermati karena memang tak melakukan observasi konfirmatif di tingkat praktik olah kekuasaan di lapangan atau karena mereka yang terlibat adalah bagian dari penikmat era neodinasti itu.
Saya berharap catatan ini pun bisa sedikit menyadarkan para kolega yang sedang terlibat dalam pembahasan perubahan kebijakan pemerintahan daerah itu. Kedua, yang hendak saya kasih catatan sebagai pihak yang harusnya juga bertanggung jawab adalah para aktivis LSM di tingkat lokal maupun nasional, termasuk para akademisi dari berbagai kampus di Tanah Air. Karena sebagai mantan aktivis dan dosen saya tahu bahwa praktik buruk pemerintahan seperti itu bisa jadi agenda dan target utama dari gerakan sosial untuk perbaikan pemerintahan.
Namun, saya pun kembali tersadarkan bahwa kekuatan gerakan moral para aktivis dan akademisi itu dapat selalu terlumpuhkan oleh kekuatan materi yang dimiliki para penguasa lokal, apalagi memperoleh topangan dari para pemilik modal (pebisnis) dari penguasa lokal. Lalu, kalau demikian adanya, apakah kecenderungan buruk seperti itu akan terus dibiarkan merajalela? Artikel ini pandangan pribadi.
LAODE IDA
Wakil Ketua DPD RI
Ia menghitung sejumlah jabatan di daerah asalnya yang dikuasai keluarga, kroni, dan tim sukses pejabat kepala daerah. Proyek-proyek pemerintah pun demikian, dikerjakan atau ditangani para pengusaha klien politik dan barisan keluarga pejabat. Yang bersangkutan pun secara spekulatif mencoba membeberkan perkiraan harta kepala daerah yang dianggapnya melimpah termasuk sejumlah pejabat daerah bawahannya.
Yang lebih aktual lagi, katanya, para calon anggota legislatif yang akan bertarung dalam Pemilu 2014 nanti, dari berbagai parpol, mulai dari calon anggota DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, sampai pada caleg DPR RI, dan juga calon anggota DPD RI, sebagian berasal dari jajaran keluarga pejabat kepala daerah. Yang kemudian membuat saya mengangkatnya sebagai artikel singkat untuk direnungkan oleh publik bangsa ini, pertanyaan dan sekaligus sikap sinis-pesimistisnya terhadap kecenderungan yang terjadi itu: “kalau demikian adanya, maka apalagi yang akan jadi bagian kami rakyat ini, ketika semua peluang hendak diambil oleh pejabat politik penguasa lokal”?
Terhadap semua yang dikeluhkan itu, saya menanggapinya dengan mengesankan “dingindingin saja” kendati sebenarnya sangat serius. Saya jelaskan kepadanya bahwa kondisi seperti itu tak hanya terjadi di daerahnya, tapi juga ditemukan atau jadi kecenderungan umum di berbagai daerah di seluruh Tanah Air.
Barangkali pada tingkat tertentu hanya pejabat pemerintahan di DKI Jakarta yang berbeda karena lebih rasional, bahkan mencoba lebih progresif menerapkan prinsip-prinsip good governance, terutama di era Jokowi-Ahok sekarang ini. Sementara sebagian pemerintahan daerah di sekitar Jakarta sendiri terjadi praktik seperti yang diresahkan itu, bahkan mungkin lebih parah lagi ketimbang di daerah asalnya.
Tak berlebihan jika dikatakan bahwa terdapat fenomena “neodinasti” yang terbangun di era otonomi daerah sekarang ini. Para kepala daerah, jika mau jujur diakui, membangun bentuk dinasti baru itu dengan menancapkan tiga pilar utama selama menjabat. Pertama, pilar birokrasi dengan menempatkan orangorangnya di jajaran pejabat bawahannya untuk memudahkan mengatur, mengarahkan, dan mengendalikannya berdasarkan kepentingan, orientasi, dan rasional subjektif.
Ada tiga sumber rekrutmen para pejabat itu: keluarga, pendukung politik (tim sukses atau titipan dari kekuatan pendukung politik), dan loyalis yang bisa memahami kepentingan pejabat dan barisan tim sukses. Kedua, pilar bisnis dengan mendistribusikan berbagai proyek (yang berada di seluruh instansi di daerahnya) kepada pengusaha kliennya, keluarganya, atau kroni-kroninya, melalui tender formalitas-termasuk di dalamnya pemberian good will untuk urusan bisnis atau investasi yang langsung “diuangkan” atau dengan memperoleh golden share atas nama pihak ketiga.
Di jalur inilah seorang pejabat kepala daerah dan keluarganya mengumpulkan harta, yang biasanya diamankan melalui “brankas” pihak ketiga itu, baik dari unsur keluarga, loyalis, maupun mitra bisnisnya. Cara seperti ini pula menjadikan seorang pejabat seolah-olah bersih sehingga bebas dari pantauan penegak hukum, apalagi pihak yang disebut terakhir juga bisa diamankan dengan “saling berbagi”.
Ketiga, dengan mendorong dan mendukung barisan keluarganya (anaknya atau istrinya, atau suaminya, atau mertuanya, atau orang tuanya, atau kakaknya, atau adiknya, atau iparnya, atau sepupunya, atau keponakannya, dan sejenisnya) ke berbagai peluang jabatan politik baik di daerah maupun di Jakarta (DPRD, DPR RI, dan atau DPD RI). Figur dari barisan keluarga yang bertarung memperebutkan jabatan politik itu jelas tak akan kesulitan sumber daya dan dukungan.
Dalam proses-proses politik seperti itulah, keluarga penguasa bersaing dengan unsur rakyat dengan sumber daya yang terbatas dan tanpa dukungan instrumen birokrasi sehingga sangat mudah dipastikan bahwa dari keluarga pejabatlah yang diuntungkan dan atau berpeluang besar memenangkan pertarungan. Pertanyaannya kemudian, di mana rasa keadilan dan fairness pejabat penguasa ketika terus berambisi untuk melumpuhkan semangat rakyatnya dalam politik?
Kondisi seperti ini memang sangat memprihatinkan karena sungguh-sungguh mengekspresikan kegagalan reformasi secara sengaja dan terbuka ditonton oleh publik bangsa ini. Kita berada di era demokrasi sebagai hasil reformasi. Namun, agaknya atas nama demokrasi pula atau atas nama hak asasi manusia (HAM), nilai-nilai reformasi diinjak oleh sebagian oknum pejabat.
Targetnya sangat jelas yakni (1) agar terus bisa memapankan kekuasaan berbasis keluarga dari periode ke periode dan pada saat yang sama (2) dengan cara dan sekaligus mengumpulkan harta yang bisa digunakan untuk terus memberi topangan finansial dalam pertarungan politik selanjutnya dan atau terus menikmati kesenangan duniawi berkelanjutan. Perkembangan seperti ini secara psikososiologis bisa dikatakan sebagai “ketamakan dinastik” yang mencengkeram dengan ciri “matinya rasa malu dan frasa sosial penguasa” akibat mabuk jabatan dan harta.
Kecenderungan itu akan sulit diakhiri karena bagian yang melekat dari watak dan orientasi manusia yang selalu mau berkuasa dan menikmati kemewahan. Barangkali, barang siapa yang mempersoalkannya akan berpotensi jadi bagian dari musuh politik, di mana mereka memiliki instrumen untuk mematikan langkah dari setiap upaya mengakhiri rezim dinasti yang serakah itu. Lalu, siapa yang bertanggung jawab terhadap suburnya kecenderungan seperti ini? Pertama, pemerintah nasional yang sedang berkuasa.
Setiap penguasa di Era Reformasi ini sebenarnya wajib mencermati realita di lapangan, seraya kemudian mengonfirmasikannya dengan misi reformasi, apakah sudah sejalan atau belum. Tepatnya, pemerintah selama ini melakukan pembiaran terhadap fakta penyimpangan praktik kekuasaan lokal, membiarkan cenderung mapan terbangunnya dinasti baru yang secara substansial sangat merugikan hakhak rakyat.
Parahnya lagi, dalam rancangan perubahan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, termasuk dalam proses-proses pembahasannya sekarang ini (DPR, DPD, dan pemerintah), sama sekali tidak muncul gagasan untuk mempersoalkan kecenderungan dinasti baru itu seraya mencegahnya dengan melahirkan aturanaturan yang relevan. Entahlah, barangkali mereka lalai mencermati karena memang tak melakukan observasi konfirmatif di tingkat praktik olah kekuasaan di lapangan atau karena mereka yang terlibat adalah bagian dari penikmat era neodinasti itu.
Saya berharap catatan ini pun bisa sedikit menyadarkan para kolega yang sedang terlibat dalam pembahasan perubahan kebijakan pemerintahan daerah itu. Kedua, yang hendak saya kasih catatan sebagai pihak yang harusnya juga bertanggung jawab adalah para aktivis LSM di tingkat lokal maupun nasional, termasuk para akademisi dari berbagai kampus di Tanah Air. Karena sebagai mantan aktivis dan dosen saya tahu bahwa praktik buruk pemerintahan seperti itu bisa jadi agenda dan target utama dari gerakan sosial untuk perbaikan pemerintahan.
Namun, saya pun kembali tersadarkan bahwa kekuatan gerakan moral para aktivis dan akademisi itu dapat selalu terlumpuhkan oleh kekuatan materi yang dimiliki para penguasa lokal, apalagi memperoleh topangan dari para pemilik modal (pebisnis) dari penguasa lokal. Lalu, kalau demikian adanya, apakah kecenderungan buruk seperti itu akan terus dibiarkan merajalela? Artikel ini pandangan pribadi.
LAODE IDA
Wakil Ketua DPD RI
(nfl)