Tiga pilar pembangunan bangsa dan negara
A
A
A
KEKUATAN sekaligus kelemahan jika tidak dikelola dengan baik dalam pembangunan bangsa dan negara adalah bidang ekonomi, bidang politik, dan bidang hukum.
Indonesia pernah mengalami dampak buruk ketika pembangunan bidang politik dikedepankan dan pembangunan dua bidang lainnya diabaikan bahkan dilemahkan; begitu pula Indonesia pernah mengalami dampak buruk dampak dari pembangunan bidang ekonomi dikedepankan bahkan sampai saat ini, sedangkan pembangunan bidang hukum dan bidang politik sekadar alat untuk mencapai tujuan pembangunan.
Kekuatan ketiga pilar pembangunan tersebut terletak adalah terletak pada harmonisasi peraturan perundangan terkait ketiganya dan sinkronisasi kelembagaan yang bertugas mengelola ketiga bidang tersebut.
Contoh nyata ketika kebijakan pemerintah mengeluarkan PAKTO untuk menggerakkan dan menumbuhkan sebanyak mungkin ekonomi nasional dan kemudian harus dilaksanakan bailout untuk menyelamatkan perbankan nasional pada 1998; yang diutamakan pendapat ahli ekonomi dan perbankan, tetapi pendapat ahli hukum nasional dikesampingkan, sedangkan ahli hukum asing dijadikan rujukan bahkan tidak ada sama sekali pandangan ahli ilmu politik di dalamnya.
Lebih mengenaskan adalah, tidak ada satu pun ahli hukum pidana dan administrasi negara disertakan. Begitu pula ketika penyusunan legislasi berkaitan bidang ekonomi nasional dan politik tidak mengikutaktifkan ahli ekonomi dan ahli politik, kecuali lebih banyak perancang ahli hukum. Dalam kegiatan legislasi, hampir jarang terlihat sinergi pemikiran para ahli ketiga bidang tersebut dalam satu objek perencanaan pembangunan nasional. Karena kebijakan perencanaan bersifat sektoral semata-mata dan mengandalkan sinkronisasi kelembagaan sebagai tenaga pendorong yang dipandang ikut menentukan keberhasilan perencanaan pembangunan.
Sinergitas pemikiran ahli dalam ketiga bidang tersebut sering diperlukan secara adhoc jika timbul masalah di dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Bahkan, sering terjadi lempar tanggung jawab di antara para ahli tersebut seperti kasus BLBI dan Kasus Century atau Kasus Lapindo. Kegiatan interdisiplin keilmuan yang demikian penting sejak perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional sering diabaikan, karena masing-masing ahli selalu mengedepankan ego-intelektualitasnya daripada ego kepentingan bangsa dan negara dalam satu rumah NKRI.
Salah satu penyebab utama dari ketimpangan dan kesenjangan pandangan para ahli ketiga bidang tersebut adalah disebabkan selain kepentingan kekuasaan yang memaksakan kekuasaannya dan lemahnya integritas serta profesionalitas kaum intelektual sebagai abdi bangsa dan negara. Yang sangat menyedihkan, dalam situasi negara Indonesia yang merdeka ini, masih ada kaum intelektual yang mau “melacurkan ilmunya” demi kepentingan sesaat atau bangga sebagai abdi kepentingan asing.
Kelemahan-kelemahan para ahli dalam ketiga bidang tersebut juga sangat terbatasnya sumber daya manusia dan teknologi serta ketersediaan devisa dalam memperkuat jati diri sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat di tengah-tengah tekanan pengaruh asing. Negara maju seperti China, Rusia, Amerika Serikat, dan beberapa negara anggota Uni Eropa dan Australia berlomba-lomba memasuki pasar Indonesia, dan pintu masuk kekuatan asing dalam bidang ekonomi adalah perjanjian GATT-WTO yang telah diratifikasi oleh sebagian terbesar Negara termasuk Indonesia.
Kenyataan yang terjadi setelah konsensus Washington (1989), adalah persaingan pasar yang tidak sehat yang dilakukan negara maju terhadap negara berkembang (Stiglitz) telahmenjadisuatu keniscayaan dan tidak terelakkan dalam abad ke-20–21. Negara berkembang tidak mampu mengikuti alur persaingan bebas. Keadaan tersebut diperburuk oleh ekonomi biaya tinggi karena maraknya perbuatan suap dan korupsi dalam hampir semua aspek kehidupan dalam perjalanan bangsa ini.
Proses negosiasi dan kelihaian diplomasi Indonesia yang selalu melemah menghadapi ketatnya persaingan bebas dalam aktivitas ekonomi dan perdagangan, juga bersumber dari ketidakpastian regulasi nasional serta inkonsistensi kebijakan nasional dalam bidang tersebut, telah menambah beban negara dan bangsa ini dalam dua atau tiga pemerintahan yang akan datang. Kelemahan-kelemahan dalam produktivitas ekonomi nasional dan manajerial administrasi pemerintahan telah menyebabkan menurunnya devisa untuk mendukung kekuatan ekonomi nasional yang berdampak terhadap proses dan implementasi legislasi.
Pembangunan bidang hukum mudah direncanakan, tetapi tidak mudah diimplementasikan karena ketidaktersediaan anggaran negara yang cukup untuk menopangnya. Pembangunan bidang politik sebagai akibat tersisa dari pembangunan bidang politik masa lampau, kini memasuki masa transisi. Sektor ini tidak dibangun dan direncanakan dengan tersistem baik dan berkesinambungan karena masih terbelenggu dengan euforia keberhasilan menumbangkan rezim lama.
Alhasil rezim reformasi tidak memiliki arah yang jelas, apalagi tanpa Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan di tengah-tengah gelombang persaingan keras dalam konteks peta politik global saat ini. Ketiadaan GBHN mengakibatkan semakin jauhnya perjalanan bangsa ini dari arah, tujuan, dan cita-cita pendiri negara dan pembentuk UUD 1945 karena gejolak dunia hanya dihadapi oleh kebijakan yang bersifat adhoc dan tujuan jangka pendek. Kelemahan ini kemudian diperburuk lagi dengan “penyakit musiman” bidang politik yang mengedepankan politik oligarki bukan politik kebangsaan hanya mengejar kekuasaan dan uang untuk kepentingan elite tertentu berbalut kekerabatan bahkan keturunan.
Pembangunan bidang hukum belum dapat melepaskan diri dari kepentingan-kepentingan, karena sejarah hukum sejak lama membuktikan bahwa hukum baik dalam proses legislasi maupun dalam implementasi tidak lekang dari kepentingan politik.
Hal ini bertolak belakang dengan cita teori Hukum Murni dari Hans Kelsen beberapa puluh tahun lamanya, dan bertolak belakang dengan teori Hukum Pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja yang menggagas agar hukum sesuai dengan nilai-nilai keadilan masyarakat luas; bahkan masih jauh dari teori Hukum Progresif Almarhum Satjipto Rahardjo bahwa hukum itu untuk manusia bukan sebaliknya.
Faktanya adalah hukum masih sebatas alat kekuasaan dalam berbagai aspek sosial, ekonomi nasional, sumber daya alam, politik, dan kebudayaan. Kekuatan tiga pilar: ekonomi, politik, dan hukum harus dikembalikan kepada tempat yang tepat dan bersinergi satu sama lain, untuk mewujudkan bahwa Indonesia memang berdaulat dalam ketiga aspek kehidupan bangsa ini.
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
Indonesia pernah mengalami dampak buruk ketika pembangunan bidang politik dikedepankan dan pembangunan dua bidang lainnya diabaikan bahkan dilemahkan; begitu pula Indonesia pernah mengalami dampak buruk dampak dari pembangunan bidang ekonomi dikedepankan bahkan sampai saat ini, sedangkan pembangunan bidang hukum dan bidang politik sekadar alat untuk mencapai tujuan pembangunan.
Kekuatan ketiga pilar pembangunan tersebut terletak adalah terletak pada harmonisasi peraturan perundangan terkait ketiganya dan sinkronisasi kelembagaan yang bertugas mengelola ketiga bidang tersebut.
Contoh nyata ketika kebijakan pemerintah mengeluarkan PAKTO untuk menggerakkan dan menumbuhkan sebanyak mungkin ekonomi nasional dan kemudian harus dilaksanakan bailout untuk menyelamatkan perbankan nasional pada 1998; yang diutamakan pendapat ahli ekonomi dan perbankan, tetapi pendapat ahli hukum nasional dikesampingkan, sedangkan ahli hukum asing dijadikan rujukan bahkan tidak ada sama sekali pandangan ahli ilmu politik di dalamnya.
Lebih mengenaskan adalah, tidak ada satu pun ahli hukum pidana dan administrasi negara disertakan. Begitu pula ketika penyusunan legislasi berkaitan bidang ekonomi nasional dan politik tidak mengikutaktifkan ahli ekonomi dan ahli politik, kecuali lebih banyak perancang ahli hukum. Dalam kegiatan legislasi, hampir jarang terlihat sinergi pemikiran para ahli ketiga bidang tersebut dalam satu objek perencanaan pembangunan nasional. Karena kebijakan perencanaan bersifat sektoral semata-mata dan mengandalkan sinkronisasi kelembagaan sebagai tenaga pendorong yang dipandang ikut menentukan keberhasilan perencanaan pembangunan.
Sinergitas pemikiran ahli dalam ketiga bidang tersebut sering diperlukan secara adhoc jika timbul masalah di dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Bahkan, sering terjadi lempar tanggung jawab di antara para ahli tersebut seperti kasus BLBI dan Kasus Century atau Kasus Lapindo. Kegiatan interdisiplin keilmuan yang demikian penting sejak perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional sering diabaikan, karena masing-masing ahli selalu mengedepankan ego-intelektualitasnya daripada ego kepentingan bangsa dan negara dalam satu rumah NKRI.
Salah satu penyebab utama dari ketimpangan dan kesenjangan pandangan para ahli ketiga bidang tersebut adalah disebabkan selain kepentingan kekuasaan yang memaksakan kekuasaannya dan lemahnya integritas serta profesionalitas kaum intelektual sebagai abdi bangsa dan negara. Yang sangat menyedihkan, dalam situasi negara Indonesia yang merdeka ini, masih ada kaum intelektual yang mau “melacurkan ilmunya” demi kepentingan sesaat atau bangga sebagai abdi kepentingan asing.
Kelemahan-kelemahan para ahli dalam ketiga bidang tersebut juga sangat terbatasnya sumber daya manusia dan teknologi serta ketersediaan devisa dalam memperkuat jati diri sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat di tengah-tengah tekanan pengaruh asing. Negara maju seperti China, Rusia, Amerika Serikat, dan beberapa negara anggota Uni Eropa dan Australia berlomba-lomba memasuki pasar Indonesia, dan pintu masuk kekuatan asing dalam bidang ekonomi adalah perjanjian GATT-WTO yang telah diratifikasi oleh sebagian terbesar Negara termasuk Indonesia.
Kenyataan yang terjadi setelah konsensus Washington (1989), adalah persaingan pasar yang tidak sehat yang dilakukan negara maju terhadap negara berkembang (Stiglitz) telahmenjadisuatu keniscayaan dan tidak terelakkan dalam abad ke-20–21. Negara berkembang tidak mampu mengikuti alur persaingan bebas. Keadaan tersebut diperburuk oleh ekonomi biaya tinggi karena maraknya perbuatan suap dan korupsi dalam hampir semua aspek kehidupan dalam perjalanan bangsa ini.
Proses negosiasi dan kelihaian diplomasi Indonesia yang selalu melemah menghadapi ketatnya persaingan bebas dalam aktivitas ekonomi dan perdagangan, juga bersumber dari ketidakpastian regulasi nasional serta inkonsistensi kebijakan nasional dalam bidang tersebut, telah menambah beban negara dan bangsa ini dalam dua atau tiga pemerintahan yang akan datang. Kelemahan-kelemahan dalam produktivitas ekonomi nasional dan manajerial administrasi pemerintahan telah menyebabkan menurunnya devisa untuk mendukung kekuatan ekonomi nasional yang berdampak terhadap proses dan implementasi legislasi.
Pembangunan bidang hukum mudah direncanakan, tetapi tidak mudah diimplementasikan karena ketidaktersediaan anggaran negara yang cukup untuk menopangnya. Pembangunan bidang politik sebagai akibat tersisa dari pembangunan bidang politik masa lampau, kini memasuki masa transisi. Sektor ini tidak dibangun dan direncanakan dengan tersistem baik dan berkesinambungan karena masih terbelenggu dengan euforia keberhasilan menumbangkan rezim lama.
Alhasil rezim reformasi tidak memiliki arah yang jelas, apalagi tanpa Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan di tengah-tengah gelombang persaingan keras dalam konteks peta politik global saat ini. Ketiadaan GBHN mengakibatkan semakin jauhnya perjalanan bangsa ini dari arah, tujuan, dan cita-cita pendiri negara dan pembentuk UUD 1945 karena gejolak dunia hanya dihadapi oleh kebijakan yang bersifat adhoc dan tujuan jangka pendek. Kelemahan ini kemudian diperburuk lagi dengan “penyakit musiman” bidang politik yang mengedepankan politik oligarki bukan politik kebangsaan hanya mengejar kekuasaan dan uang untuk kepentingan elite tertentu berbalut kekerabatan bahkan keturunan.
Pembangunan bidang hukum belum dapat melepaskan diri dari kepentingan-kepentingan, karena sejarah hukum sejak lama membuktikan bahwa hukum baik dalam proses legislasi maupun dalam implementasi tidak lekang dari kepentingan politik.
Hal ini bertolak belakang dengan cita teori Hukum Murni dari Hans Kelsen beberapa puluh tahun lamanya, dan bertolak belakang dengan teori Hukum Pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja yang menggagas agar hukum sesuai dengan nilai-nilai keadilan masyarakat luas; bahkan masih jauh dari teori Hukum Progresif Almarhum Satjipto Rahardjo bahwa hukum itu untuk manusia bukan sebaliknya.
Faktanya adalah hukum masih sebatas alat kekuasaan dalam berbagai aspek sosial, ekonomi nasional, sumber daya alam, politik, dan kebudayaan. Kekuatan tiga pilar: ekonomi, politik, dan hukum harus dikembalikan kepada tempat yang tepat dan bersinergi satu sama lain, untuk mewujudkan bahwa Indonesia memang berdaulat dalam ketiga aspek kehidupan bangsa ini.
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
(nfl)