PPI dan ujian demokrasi
A
A
A
BEBERAPA hari belakangan media massa ramai memberitakan peresmian Rumah Pergerakan di kediaman Anas Urbaningrum, Duren Sawit, Jakarta Timur. Mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu kini memimpin ormas Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI).
Orientasi ormas PPI kebangsaan
Tentu saja kehadiran PPI menambah deretan panjang ormas di Indonesia Era Reformasi. Indonesia adalah negara demokrasi yang menjamin rakyatnya berekspresi, berserikat, dan mengemukakan pendapat. Kehadiran ormas dan jenis lembaga nonparpol lain sesungguhnya hal yang wajar. Ketika Anas dkk mendirikan PPI juga sesuatu yang wajar.
Tetapi, karena direaksi berlebihan oleh para elite arus utama Partai Demokrat (PD), fokus perhatian khalayak bukan kepada visi misi bagus PPI, melainkan lebih ke aspek politiknya. Respons berlebihan PD yang terasa bernuansa antidemokratis dan antimeritokratis dalam menggeser posisi-posisi strategis para politisinya yang ikut dalam PPI merupakan bumerang tersendiri.
Selain secara umum tindakan yang segera dibaca sebagai penuntasan de-Anasisasi PD, itu juga tidak bijak dan menambah citra paradoks demokrasi PD. Apalagi, sebelumnya PD disorot terkait suksesi politik internalnya yang memosisikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai ketua umum, sekaligus ketua Dewan Pembina, dan ketua Majelis Tinggi sekaligus.
Sorotan lebih ditujukan pada diingkarinya prinsip ”checks and balances” dalam demokrasi internal PD. Kehadiran PPI merupakan peristiwa demokrasi, penyikapan elite-elite PD pun akan dilihat dari perspektif itu. Kedewasaan elite parpol dalam berdemokrasi tentu juga ditentukan oleh sejauh mana mereka mampu mengelola realitas faksional.
Ketika suatu tindakan politik dilakukan secara berlebihan tanpa pertimbangan rasionalitas yang mudah diterima, ia segera menjadi bumerang. Ketika politik selalu dilihat statis dan harga mati, ia mengingkari sunatullah politik bahwa politik selalu membuka banyak kemungkinan. Demikian pula dengan cara pandang mengenai konflik. Kalau konflik direspons secara tradisional, yang muncul adalah sejumlah kerancuan. Sebaliknya, konflik mesti dilihat secara modern sebagai sesuatu yang tidak mungkin ditiadakan.
Upaya meniadakan konflik akan selalu sia-sia. Karena itu, cara menyikapi konflik yang benar adalah mengelolanya. Kelas-kelas politisi yang membentang dari bermutu dan tidak selalu dinilai dari cara menyikapi konflik. Sejarah politik Indonesia yang panjang, bahkan apabila kita tarik ke era pergerakan nasional, memang tidak selalu menghadirkan para demokrat. Para elite di panggung sejarah juga tidak selalu dipenuhi oleh sosok-sosok yang mampu mengelola perbedaan.
Tetapi, justru karena itulah, elite-elite kekuasaan masa kini seharusnya elite-elite pembelajar supaya bisa bersikap lebih arif dalam menyikapi perbedaan. Peristiwa-peristiwa awal yang menyertai kehadiran PPI ini seyogianya menjadi hikmah bagi siapa saja bahwa demokrasi adalah rasionalisasi. Setiap upaya untuk menghambat laju demokrasi pasti ia berlawanan dengan akal sehat. Demokrasi juga menyiratkan ada kompetisi rasional yang berkeadaban.
Konteks tinggi
Tentu kita menginginkan ada tradisi demokrasi politik yang berkonteks tinggi atau apa yang dulu sering diistilahkan oleh M Amien Rais sebagai ”high politics”, bukan ”low politics”. Tentu yang relevan dengan keperluan peningkatan kualitas berdemokrasi ialah penguatan tradisi berdemokrasi itu sendiri. Demokrasi membuka peluang bagi interaksi heterogen yang dinamis dan konfliktual. Elite politik selalu dituntut untuk bijak dalam menyikapi heterogenitas dan realitas konfliktual yang terjadi.
Yang berkonteks tinggi memiliki cita rasa seni politik yang tinggi bahwa demokrasi selalu diterjemahkan secara fungsional dan meritokratik. Yang berkonteks rendah ialah yang selalu berorientasi homogenisasi atau meminjam istilah yang populer pada awal masa Orde Baru, bolduserisasi politik sebagai respons yang salah terhadap realitas konfliktual. Jelas bahwa ia tidak menyelesaikan persoalan pula.
Sepanjang perjalanan demokrasi kita mengajarkan agar kualitasnya meningkat. Mutu demokrasi akan tampak manakala yang hadir dalam arus utama kepolitikan kita ialah sosok-sosok berkompeten yang hadir dari suatu sistem yang demokratis. Kita akan segera menjumpai krisis kompetensi dalam ranah kepolitikan manakala yang dominan dalam pentas politik utama bukan mereka yang tersaring secara meritokratik.
Bahaya besar akan dihadapi oleh tidak saja lembaga politik bersangkutan, tetapi juga lebih luas lagi terhadap bangsa kita juga apabila aspek meritokrasi tersapu dalam tradisi politik kita.
Mengapa demikian? Bayangkan saja, manakala para aktor yang menyembul dalam sejarah masa depan demokrasi kita ialah yang asal-asalan alias berkonteks rendah. Dalam konteks inilah, tidak saja PD, tetapi juga semua parpol bahkan semua entitas sosial dan politik di negeri kita dituntut untuk menampilkan konteks tinggi dalam pentas kebangsaan.
Masa depan PPI
Bagi PPI sebagai ormas, terlepas dari nuansa politik yang diterimanya, tentu saja yang terbaik adalah mencatat semua fenomena yang menimpanya, mengambil hikmahnya, dan fokus pada visi keindonesiaannya. Dalam sambutan peluncuran Rumah Pergerakan, Anas menyatakan PPI tidak identik dengan dirinya, tetapi ia wadah perjuangan yang terbuka bagi yang bervisi sama.
Pernyataan itu menegaskan depriyayisasi organisasi dan sebaliknya menggariskan corak egaliterismenya. Dari sisi PPI, ini modal awal untuk menegaskan politik konteks tinggi. Kendatipun PPI adalah ormas, sebagaimana semua elemen lain tetap punya tanggung jawab dalam pendidikan politik. Eksistensi dan survivalitas PPI sebagai ormas juga akan ditempa sejarah. Tantangan yang dihadapi PPI tentu tak sekadar menghadapi reaksi bernuansa antidemokrasi para aktivisnya yang berkiprah di PD, tetapi jauh lebih luas dan kompleks lagi.
PPI telah menggariskan visinya sebagai gerakan yang bersemangatkan pergerakan nasional yang terus bergerak untuk menggapai cita-cita bangsa. Orientasinya juga bukan jangka pendek. Beberapa pengamat mengemukakan analisisnya mengenai nasib PPI ditentukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terkait status tersangka yang disandang Anas. Anas yakin bahwa ia tengah dikriminalisasi dan dizalimi secara politik.
Sebagai ormas yang visioner dan dukungan yang dinamis, KPK bukan penentu masa depannya. Sebagaimana ormas-ormas lain yang hadir beberapa tahun belakangan seperti ormas Nasional Demokrat (Nasdem), ormas Persatuan Indonesia (Perindo), dan yang lain, dengan jaringan yang dimiliki, PPI dinantikan kiprahnya dalam berbuat sekecil apa pun demi bangsa. PPI dipimpin oleh tokoh muda dan memiliki peluang untuk merangkul kalangan muda dalam segenap aktivitas sosial dan pendidikan politik yang dikembangkan. Ormas-ormas Indonesia tetap harus optimistis dalam melangkah ke depan. Wallahualam.
M Alfan Alfian
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional
Orientasi ormas PPI kebangsaan
Tentu saja kehadiran PPI menambah deretan panjang ormas di Indonesia Era Reformasi. Indonesia adalah negara demokrasi yang menjamin rakyatnya berekspresi, berserikat, dan mengemukakan pendapat. Kehadiran ormas dan jenis lembaga nonparpol lain sesungguhnya hal yang wajar. Ketika Anas dkk mendirikan PPI juga sesuatu yang wajar.
Tetapi, karena direaksi berlebihan oleh para elite arus utama Partai Demokrat (PD), fokus perhatian khalayak bukan kepada visi misi bagus PPI, melainkan lebih ke aspek politiknya. Respons berlebihan PD yang terasa bernuansa antidemokratis dan antimeritokratis dalam menggeser posisi-posisi strategis para politisinya yang ikut dalam PPI merupakan bumerang tersendiri.
Selain secara umum tindakan yang segera dibaca sebagai penuntasan de-Anasisasi PD, itu juga tidak bijak dan menambah citra paradoks demokrasi PD. Apalagi, sebelumnya PD disorot terkait suksesi politik internalnya yang memosisikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai ketua umum, sekaligus ketua Dewan Pembina, dan ketua Majelis Tinggi sekaligus.
Sorotan lebih ditujukan pada diingkarinya prinsip ”checks and balances” dalam demokrasi internal PD. Kehadiran PPI merupakan peristiwa demokrasi, penyikapan elite-elite PD pun akan dilihat dari perspektif itu. Kedewasaan elite parpol dalam berdemokrasi tentu juga ditentukan oleh sejauh mana mereka mampu mengelola realitas faksional.
Ketika suatu tindakan politik dilakukan secara berlebihan tanpa pertimbangan rasionalitas yang mudah diterima, ia segera menjadi bumerang. Ketika politik selalu dilihat statis dan harga mati, ia mengingkari sunatullah politik bahwa politik selalu membuka banyak kemungkinan. Demikian pula dengan cara pandang mengenai konflik. Kalau konflik direspons secara tradisional, yang muncul adalah sejumlah kerancuan. Sebaliknya, konflik mesti dilihat secara modern sebagai sesuatu yang tidak mungkin ditiadakan.
Upaya meniadakan konflik akan selalu sia-sia. Karena itu, cara menyikapi konflik yang benar adalah mengelolanya. Kelas-kelas politisi yang membentang dari bermutu dan tidak selalu dinilai dari cara menyikapi konflik. Sejarah politik Indonesia yang panjang, bahkan apabila kita tarik ke era pergerakan nasional, memang tidak selalu menghadirkan para demokrat. Para elite di panggung sejarah juga tidak selalu dipenuhi oleh sosok-sosok yang mampu mengelola perbedaan.
Tetapi, justru karena itulah, elite-elite kekuasaan masa kini seharusnya elite-elite pembelajar supaya bisa bersikap lebih arif dalam menyikapi perbedaan. Peristiwa-peristiwa awal yang menyertai kehadiran PPI ini seyogianya menjadi hikmah bagi siapa saja bahwa demokrasi adalah rasionalisasi. Setiap upaya untuk menghambat laju demokrasi pasti ia berlawanan dengan akal sehat. Demokrasi juga menyiratkan ada kompetisi rasional yang berkeadaban.
Konteks tinggi
Tentu kita menginginkan ada tradisi demokrasi politik yang berkonteks tinggi atau apa yang dulu sering diistilahkan oleh M Amien Rais sebagai ”high politics”, bukan ”low politics”. Tentu yang relevan dengan keperluan peningkatan kualitas berdemokrasi ialah penguatan tradisi berdemokrasi itu sendiri. Demokrasi membuka peluang bagi interaksi heterogen yang dinamis dan konfliktual. Elite politik selalu dituntut untuk bijak dalam menyikapi heterogenitas dan realitas konfliktual yang terjadi.
Yang berkonteks tinggi memiliki cita rasa seni politik yang tinggi bahwa demokrasi selalu diterjemahkan secara fungsional dan meritokratik. Yang berkonteks rendah ialah yang selalu berorientasi homogenisasi atau meminjam istilah yang populer pada awal masa Orde Baru, bolduserisasi politik sebagai respons yang salah terhadap realitas konfliktual. Jelas bahwa ia tidak menyelesaikan persoalan pula.
Sepanjang perjalanan demokrasi kita mengajarkan agar kualitasnya meningkat. Mutu demokrasi akan tampak manakala yang hadir dalam arus utama kepolitikan kita ialah sosok-sosok berkompeten yang hadir dari suatu sistem yang demokratis. Kita akan segera menjumpai krisis kompetensi dalam ranah kepolitikan manakala yang dominan dalam pentas politik utama bukan mereka yang tersaring secara meritokratik.
Bahaya besar akan dihadapi oleh tidak saja lembaga politik bersangkutan, tetapi juga lebih luas lagi terhadap bangsa kita juga apabila aspek meritokrasi tersapu dalam tradisi politik kita.
Mengapa demikian? Bayangkan saja, manakala para aktor yang menyembul dalam sejarah masa depan demokrasi kita ialah yang asal-asalan alias berkonteks rendah. Dalam konteks inilah, tidak saja PD, tetapi juga semua parpol bahkan semua entitas sosial dan politik di negeri kita dituntut untuk menampilkan konteks tinggi dalam pentas kebangsaan.
Masa depan PPI
Bagi PPI sebagai ormas, terlepas dari nuansa politik yang diterimanya, tentu saja yang terbaik adalah mencatat semua fenomena yang menimpanya, mengambil hikmahnya, dan fokus pada visi keindonesiaannya. Dalam sambutan peluncuran Rumah Pergerakan, Anas menyatakan PPI tidak identik dengan dirinya, tetapi ia wadah perjuangan yang terbuka bagi yang bervisi sama.
Pernyataan itu menegaskan depriyayisasi organisasi dan sebaliknya menggariskan corak egaliterismenya. Dari sisi PPI, ini modal awal untuk menegaskan politik konteks tinggi. Kendatipun PPI adalah ormas, sebagaimana semua elemen lain tetap punya tanggung jawab dalam pendidikan politik. Eksistensi dan survivalitas PPI sebagai ormas juga akan ditempa sejarah. Tantangan yang dihadapi PPI tentu tak sekadar menghadapi reaksi bernuansa antidemokrasi para aktivisnya yang berkiprah di PD, tetapi jauh lebih luas dan kompleks lagi.
PPI telah menggariskan visinya sebagai gerakan yang bersemangatkan pergerakan nasional yang terus bergerak untuk menggapai cita-cita bangsa. Orientasinya juga bukan jangka pendek. Beberapa pengamat mengemukakan analisisnya mengenai nasib PPI ditentukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terkait status tersangka yang disandang Anas. Anas yakin bahwa ia tengah dikriminalisasi dan dizalimi secara politik.
Sebagai ormas yang visioner dan dukungan yang dinamis, KPK bukan penentu masa depannya. Sebagaimana ormas-ormas lain yang hadir beberapa tahun belakangan seperti ormas Nasional Demokrat (Nasdem), ormas Persatuan Indonesia (Perindo), dan yang lain, dengan jaringan yang dimiliki, PPI dinantikan kiprahnya dalam berbuat sekecil apa pun demi bangsa. PPI dipimpin oleh tokoh muda dan memiliki peluang untuk merangkul kalangan muda dalam segenap aktivitas sosial dan pendidikan politik yang dikembangkan. Ormas-ormas Indonesia tetap harus optimistis dalam melangkah ke depan. Wallahualam.
M Alfan Alfian
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional
(hyk)