Antisipasi kondisi pasar kerja memburuk
A
A
A
PERIODE 2004 sampai 2013 adalah masa di mana pertumbuhan ekonomi Indonesia berbuah manis. Manisnya dirasakan dengan terbukanya peluang kerja, berkurangnya jumlah penduduk miskin.
Dapat dibayangkan lapangan kerja yang tersedia sebanyak 93,7 juta pada 2004, naik menjadi 102,0 juta pada 2008, dan mencapai 114,0 juta pada 2013 (kondisi Maret). Selama periode itu tiga indikasi positif yang terlihat dari pasar kerja. Pertama, semakin meningkatnya serapan tenaga kerja dalam dua periode berbeda. Selama periode 2004 sampai 2008 rata-rata pertumbuhan daya serap pasar kerja sebesar 2,1 juta per tahun, meningkat menjadi 2,4 juta per tahunnya selama periode 2008 hingga 2013 (Maret).
Sangat jelas pertumbuhan daya serap ekonomi terhadap pasar kerja terutama disebabkan oleh membaiknya ekonomi nasional, ekspansinya konsumsi masyarakat, semakin rendahnya inflasi (year-to-year) dan menurunnya suku bunga. Dalam literatur ekonomi faktor-faktor itu berkontribusi terhadap perluasan pasar kerja. Kedua, selain pertumbuhan positif pasar kerja, kondisi yang menarik juga semakin positifnya arah dari transformasi pasar kerja.
Pasar kerja yang baik adalah semakin banyaknya tambahan tenaga kerja yang masuk ke dalam status kerja upahan. Logikanya sederhana, status kerja upahan memberikan kepastian kepada tenaga kerja berupa upah yang diterima dibandingkan status pekerja sendiri atau pekerja keluarga tanpa dibayar. Indonesia dengan jumlah tenaga kerja berpendidikan rendah dengan upah yang relatif rendah memperoleh keberuntungan dengan stabilnya pertumbuhan ekonomi mengingat ternyata tambahan lapangan kerja terisi untuk mereka yang berpendidikan rendah.
Saat bersamaan juga terjadi semakin bervariasinya lapangan pekerjaan seperti pekerja lepas di sektor pertanian dan nonpertanian serta pekerja keluarga tanpa dibayar. Masa kejayaan pasar kerja jelas telah membawa efek positif terhadap tingkat kesejahteraan secara keseluruhan. Namun, dengan kondisi internal dan eksternal ekonomi Indonesia, bukan tidak mungkin persoalan pasar kerja pada masa yang akan datang salah satu agenda yang penting dan mencemaskan kita.
Bayangan memburuk
Mengingat akhir-akhir ini situasi ekonomi global yang tidak menentu, puncak resesi ekonomi telah membawa dampak meningkatnya pengangguran di negara maju. Banyak dugaan awal yang percaya bahwa ekonomi dunia relatif membaik mulai 2013. Namun, kenyataannya pada 2013 kondisi ekonomi dunia telah berdampak secara domino terhadap perekonomian negara-negara besar seperti China, India, dan Indonesia.
Pada 2013 saja diperkirakan pertumbuhan ekonomi China dan Indonesia sama-sama mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Membaliknya foreign direct investment ke Amerika telah membawa perbaikan ekonomi Amerika Serikat. Kondisi demikian juga berakibat terhadap perbaikan kondisi mata uang Amerika Serikat.
Kita merasakan begitu kondisi dalam tiga bulan terakhir akibat dari melemahnya rupiah, meningkatnya inflasi yang hingga Agustus telah mencapai 8,79%, kenaikan suku bunga dari 5,57% berangsur naik mencapai 7,5%, diikuti oleh transaksi neraca perdagangan yang memburuk dalam sejarah ekonomi Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir (Kontan, 3 September, 2013).
Memburuknya transaksi perdagangan dipicu oleh tingginya konsumsi BBM impor dan nonmigas. Impor nonmigas terutama datang dari China, Thailand, dan Jepang. Sementara surplus neraca perdagangan masih dirasakan untuk tujuan negara partner dagang Indonesia seperti India, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Singapura.
Ketidakpastian kondisi makroekonomi ini dapat dipastikan ekonomi Indonesia tidak sebaik kondisi tahun sebelumnya dan keadaan demikian akan mengancam kondisi pasar kerja. Mengikuti logika hubungan antara inflasi secara negatif terhadap perluasan lapangan kerja jelas memperlihatkan kenaikan inflasi dan suku bunga dalam waktu dekat akan terjadi pengurangan jumlah pemakaian tenaga kerja.
Lay off dan self employed
Taksiran demi taksiran telah dilakukan sebelumnya. Jika ekonomi tumbuh, akan berdampak pada perluasan lapangan kerja dengan elastisitas kesempatan kerja yang elastis. Tentunya kondisi itu juga berlaku pada masa depan pasar kerja Indonesia. Jika dalam empat tahun terakhir pertumbuhan dari pasar kerja terutama disebabkan oleh semakin banyaknya terserap buruh, tahun-tahun mendatang akan terlihat tanda-tanda pemutusan hubungan kerja.
Perusahaan yang menggunakan komponen bahan baku impor lambat laun diperkirakan akan semakin mengurangi intensitas dan skala produksinya. Tindakan berikutnya akan mem-PHK-kan karyawannya. Tindakan ini diperparah juga dengan semakin tingginya tekanan dari asosiasi buruh yang menuntut kenaikan upah minimum regional. Tindakan untuk menekan sementara waktu kenaikan upah minimum sebenarnya jauh lebih baik untuk mengamankan pemutusan hubungan kerja sebagai akibat dari semakin besarnya biaya produksi.
Harapan tertumpu terhadap status pekerjaan mandiri, self employed, di mana status pekerjaan ini sebenarnya jauh lebih tahan terhadap guncangan eksternal. Tinggal bagaimana memelihara dan menumbuhkan inisiatif individual pekerja untuk tetap bertahan dalam situasi sesulit apa pun. Pertumbuhan alamiah pekerja mandiri self employed ini mestinya didorong dengan berbagai upaya yang dapat meningkatkan keterampilan kerja dan akses terhadap modal kerja.
Di balik itu, dampak dari melemahnya ekonomi Indonesia semestinya masih ada harapan untuk mengintensifkan dan memantapkan sasaran-sasaran anggaran negara yang ditujukan pada proyek-proyek padat karya. Upaya untuk memastikan berjalannya proyek padat karya dalam membangun infrastruktur publik, jalan-jalan desa, serta modal kerja bersubsidi mungkin andalan utama untuk menahan memburuknya kondisi pasar kerja. Penanganan pasar kerja mesti serius sebelum efek domino kondisi ekonomi benar-benar dirasakan.
Elfindri
Profesor Ekonomi SDM dan Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi Universita Andalas
Dapat dibayangkan lapangan kerja yang tersedia sebanyak 93,7 juta pada 2004, naik menjadi 102,0 juta pada 2008, dan mencapai 114,0 juta pada 2013 (kondisi Maret). Selama periode itu tiga indikasi positif yang terlihat dari pasar kerja. Pertama, semakin meningkatnya serapan tenaga kerja dalam dua periode berbeda. Selama periode 2004 sampai 2008 rata-rata pertumbuhan daya serap pasar kerja sebesar 2,1 juta per tahun, meningkat menjadi 2,4 juta per tahunnya selama periode 2008 hingga 2013 (Maret).
Sangat jelas pertumbuhan daya serap ekonomi terhadap pasar kerja terutama disebabkan oleh membaiknya ekonomi nasional, ekspansinya konsumsi masyarakat, semakin rendahnya inflasi (year-to-year) dan menurunnya suku bunga. Dalam literatur ekonomi faktor-faktor itu berkontribusi terhadap perluasan pasar kerja. Kedua, selain pertumbuhan positif pasar kerja, kondisi yang menarik juga semakin positifnya arah dari transformasi pasar kerja.
Pasar kerja yang baik adalah semakin banyaknya tambahan tenaga kerja yang masuk ke dalam status kerja upahan. Logikanya sederhana, status kerja upahan memberikan kepastian kepada tenaga kerja berupa upah yang diterima dibandingkan status pekerja sendiri atau pekerja keluarga tanpa dibayar. Indonesia dengan jumlah tenaga kerja berpendidikan rendah dengan upah yang relatif rendah memperoleh keberuntungan dengan stabilnya pertumbuhan ekonomi mengingat ternyata tambahan lapangan kerja terisi untuk mereka yang berpendidikan rendah.
Saat bersamaan juga terjadi semakin bervariasinya lapangan pekerjaan seperti pekerja lepas di sektor pertanian dan nonpertanian serta pekerja keluarga tanpa dibayar. Masa kejayaan pasar kerja jelas telah membawa efek positif terhadap tingkat kesejahteraan secara keseluruhan. Namun, dengan kondisi internal dan eksternal ekonomi Indonesia, bukan tidak mungkin persoalan pasar kerja pada masa yang akan datang salah satu agenda yang penting dan mencemaskan kita.
Bayangan memburuk
Mengingat akhir-akhir ini situasi ekonomi global yang tidak menentu, puncak resesi ekonomi telah membawa dampak meningkatnya pengangguran di negara maju. Banyak dugaan awal yang percaya bahwa ekonomi dunia relatif membaik mulai 2013. Namun, kenyataannya pada 2013 kondisi ekonomi dunia telah berdampak secara domino terhadap perekonomian negara-negara besar seperti China, India, dan Indonesia.
Pada 2013 saja diperkirakan pertumbuhan ekonomi China dan Indonesia sama-sama mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Membaliknya foreign direct investment ke Amerika telah membawa perbaikan ekonomi Amerika Serikat. Kondisi demikian juga berakibat terhadap perbaikan kondisi mata uang Amerika Serikat.
Kita merasakan begitu kondisi dalam tiga bulan terakhir akibat dari melemahnya rupiah, meningkatnya inflasi yang hingga Agustus telah mencapai 8,79%, kenaikan suku bunga dari 5,57% berangsur naik mencapai 7,5%, diikuti oleh transaksi neraca perdagangan yang memburuk dalam sejarah ekonomi Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir (Kontan, 3 September, 2013).
Memburuknya transaksi perdagangan dipicu oleh tingginya konsumsi BBM impor dan nonmigas. Impor nonmigas terutama datang dari China, Thailand, dan Jepang. Sementara surplus neraca perdagangan masih dirasakan untuk tujuan negara partner dagang Indonesia seperti India, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Singapura.
Ketidakpastian kondisi makroekonomi ini dapat dipastikan ekonomi Indonesia tidak sebaik kondisi tahun sebelumnya dan keadaan demikian akan mengancam kondisi pasar kerja. Mengikuti logika hubungan antara inflasi secara negatif terhadap perluasan lapangan kerja jelas memperlihatkan kenaikan inflasi dan suku bunga dalam waktu dekat akan terjadi pengurangan jumlah pemakaian tenaga kerja.
Lay off dan self employed
Taksiran demi taksiran telah dilakukan sebelumnya. Jika ekonomi tumbuh, akan berdampak pada perluasan lapangan kerja dengan elastisitas kesempatan kerja yang elastis. Tentunya kondisi itu juga berlaku pada masa depan pasar kerja Indonesia. Jika dalam empat tahun terakhir pertumbuhan dari pasar kerja terutama disebabkan oleh semakin banyaknya terserap buruh, tahun-tahun mendatang akan terlihat tanda-tanda pemutusan hubungan kerja.
Perusahaan yang menggunakan komponen bahan baku impor lambat laun diperkirakan akan semakin mengurangi intensitas dan skala produksinya. Tindakan berikutnya akan mem-PHK-kan karyawannya. Tindakan ini diperparah juga dengan semakin tingginya tekanan dari asosiasi buruh yang menuntut kenaikan upah minimum regional. Tindakan untuk menekan sementara waktu kenaikan upah minimum sebenarnya jauh lebih baik untuk mengamankan pemutusan hubungan kerja sebagai akibat dari semakin besarnya biaya produksi.
Harapan tertumpu terhadap status pekerjaan mandiri, self employed, di mana status pekerjaan ini sebenarnya jauh lebih tahan terhadap guncangan eksternal. Tinggal bagaimana memelihara dan menumbuhkan inisiatif individual pekerja untuk tetap bertahan dalam situasi sesulit apa pun. Pertumbuhan alamiah pekerja mandiri self employed ini mestinya didorong dengan berbagai upaya yang dapat meningkatkan keterampilan kerja dan akses terhadap modal kerja.
Di balik itu, dampak dari melemahnya ekonomi Indonesia semestinya masih ada harapan untuk mengintensifkan dan memantapkan sasaran-sasaran anggaran negara yang ditujukan pada proyek-proyek padat karya. Upaya untuk memastikan berjalannya proyek padat karya dalam membangun infrastruktur publik, jalan-jalan desa, serta modal kerja bersubsidi mungkin andalan utama untuk menahan memburuknya kondisi pasar kerja. Penanganan pasar kerja mesti serius sebelum efek domino kondisi ekonomi benar-benar dirasakan.
Elfindri
Profesor Ekonomi SDM dan Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi Universita Andalas
(hyk)