Pembantaian komunis di Madiun perintah Hatta?
A
A
A
NEGARA Republik Soviet Indonesia berdiri di Madiun, pada 18 September 1948. Pemerintah dalam pemerintahan baru ini biasa disebut dengan Pemerintahan Front Nasional. Karena merupakan perwujudan ide pemerintahan akar rumput yang digagas tokoh pemberontakan rakyat tahun 1926-1927 Musso.
Pemerintahan "rakyat" komunis itu, dibentuk pada 19 September 1948 oleh Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Buruh (PB), Partai Sosialis (PS), Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Letkol Sumantri (Wakil Komandan Teritorial), Isdarto (Wakil Residen), dan Wali Kota Purbo.
Susunan pemerintahannya terdiri atas orang-orang komunis. Sebagai Residen Madiun dipilih Abdul Mutalib (eks Wakil Residen Surabaya), Gubernur Militer Sumarsono (Ketua Kongres Pemuda Republik Indonesia), Komandan Militer Kolonel Djoko Soedjono (eks Biro Perjuangan), dan Komandan Militer Kota Mayor Mustofa (dari Brigade Dahlan).
Setelah melihat susunan pemerintahan kecil itu, dapat dipastikan Negara Madiun yang didirikan oleh Front Demokrasi Rakyat (FDR) tidak direncanakan dengan matang dan terkesan dadakan.
Saat pemerintahan Front Nasional berdiri, pemimpin besar FDR/PKI Musso, Amir Sjarifuddin, dan Setiadjid sedang tidak berada di Madiun. Mereka tengah mengadakan tur ke daerah-daerah republik yang dekat dengan daerah demarkasi. Sedang pimpinan CC PKI lainnya sedang rapat di Yogyakarta, sejak 17-18 September 1948.
Setelah mendengar peristiwa itu, tur Musso, Amir Sjarifuddin, dan Setiadjid tidak dilanjutkan. Mereka langsung bergegas ke Madiun. Begitupun dengan Soeripno, dia tiba ke Madiun pada 19 September 1948 untuk berpidato. Saat, itu dia belum tahu jika situasi di Madiun sudah genting.
Pada 18 September 1948 malam menjelang 19 September 1948, sejumlah pimpinan FDR/PKI ditangkap. Mereka adalah Tan Ling Djie, Maruto Darusman, dan Ngadiman. Bahkan, Ny Surjadarma dari Lembaga Persahabatan Indonesia-Uni Soviet ikut ditangkap. Sejak itu, operasi penumpasan PKI di Madiun mulai dilakukan.
Aktivis SOBSI ditangkapi, koran-koran pro FDR/PKI ditutup. Situasi kian gawat ketika Soekarno berpidato di depan moncong radio RRI, pada 19 September 1948. Dalam pidatonya, rakyat disuruh pilih ikut Musso-PKI yang akan membawa hancurnya republik atau Soekarno-Hatta yang membawa Indonesia merdeka, tidak dijajah negara manapun.
Kontan, rakyat langsung menjawab Soekarno-Hatta yang akan memimpin Indonesia merdeka. Sejak itu, pilihan aktivis PKI dan tentara maupun rakyat di Madiun hanya dua, membunuh atau dibunuh. Perang saudara pun pecah menjadi amuk massa.
Mendapat ancaman seperti itu, Musso naik darah. Tidak lama setelah Soekarno pidato, dia balas melakukan serangan. Dengan sengit, di hadapan corong radio Madiun, Musso meradang. Dia balik menuding Soekarno-Hatta sebagai kolabolator Jepang yang menjual rakyat menjadi romusha.
Menurutnya, Soekaro-Hatta telah memakai alasan palsu dengan menuding FDR/PKI dan Musso sebagai pengacau. Sebaliknya, dalang dari penculikan-penculikan aktivis PKI di Solo tidak lain adalah Soekarno-Hatta. Bahkan, dengan bekerja sama kaum Trotskys Tan Malaka, mereka mengacau di Solo dengan sasaran FDR/PKI.
Dia juga menegaskan, bahwa rakyat Indonesia lah yang melawan Inggris, Amerika, dan Belanda. Bukan Soekarno-Hatta sendiri. Rakyat harusnya menjawab, Soekarno-Hatta budak Jepang dan Amerika. Musso selamanya menghamba rakyat, merdeka!
Sebaliknya, dalam tulisannya Konfrontasi Peristiwa Madiun 1948, Peristiwa Sumatera 1956 DN Aidit membela Soekarno. Dia hanya menuding Hatta yang bertanggung jawab terhadap tewasnya sekira 8.000 komunis dan kaum progresif, serta rakyat dan tentara republik dalam peristiwa Madiun.
"Saya katakan sepenuhnya tanggung jawab pemerintah Hatta, karena Hatta lah yang menjadi Perdana Menteri ketika itu. Tapi karena Hatta tahu bahwa pengaruhnya sangat kecil di kalangan Angkatan Perang dan alat-alat negara lainnya. Apalagi di kalangan masyarakat, maka Hatta menggunakan mulut Soekarno," ujar Aidit, di Sidang DPR, pada 11 Februari 1957.
Sebagai Perdana Menteri, Hatta dinilai telah dengan secara gegabah mengerahkan alat-alat kekuasaan negara untuk menculik, membunuh, dan mengobarkan perang saudara. Langkah itu dia lakukan untuk melapangkan Konferensi Meja Bundar dengan Belanda yang langsung diawasi oleh Amerika Serikat.
Tindakan lain Hatta yang membuat geram sayap kiri adalah, ucapannya saat berpidato. Dia mempercayai desas-desus berdirinya negara Madiun dengan Musso sebagai Presiden Republik dan Mr. Amir Syarifuddin sebagai perdana menterinya. Kata-kata Hatta saat itu yang paling dikecam adalah "entah benar entah tidak".
Bagi seorang pemimpin bangsa, bergerak dengan landasan "entah benar entah tidak" sangat berbahaya. Apalagi, tindakan itu dimaksudkan untuk menumpas "pengacau" yang sebenarnya menjadi lawan politik Hatta.
Pemerintahan "rakyat" komunis itu, dibentuk pada 19 September 1948 oleh Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Buruh (PB), Partai Sosialis (PS), Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Letkol Sumantri (Wakil Komandan Teritorial), Isdarto (Wakil Residen), dan Wali Kota Purbo.
Susunan pemerintahannya terdiri atas orang-orang komunis. Sebagai Residen Madiun dipilih Abdul Mutalib (eks Wakil Residen Surabaya), Gubernur Militer Sumarsono (Ketua Kongres Pemuda Republik Indonesia), Komandan Militer Kolonel Djoko Soedjono (eks Biro Perjuangan), dan Komandan Militer Kota Mayor Mustofa (dari Brigade Dahlan).
Setelah melihat susunan pemerintahan kecil itu, dapat dipastikan Negara Madiun yang didirikan oleh Front Demokrasi Rakyat (FDR) tidak direncanakan dengan matang dan terkesan dadakan.
Saat pemerintahan Front Nasional berdiri, pemimpin besar FDR/PKI Musso, Amir Sjarifuddin, dan Setiadjid sedang tidak berada di Madiun. Mereka tengah mengadakan tur ke daerah-daerah republik yang dekat dengan daerah demarkasi. Sedang pimpinan CC PKI lainnya sedang rapat di Yogyakarta, sejak 17-18 September 1948.
Setelah mendengar peristiwa itu, tur Musso, Amir Sjarifuddin, dan Setiadjid tidak dilanjutkan. Mereka langsung bergegas ke Madiun. Begitupun dengan Soeripno, dia tiba ke Madiun pada 19 September 1948 untuk berpidato. Saat, itu dia belum tahu jika situasi di Madiun sudah genting.
Pada 18 September 1948 malam menjelang 19 September 1948, sejumlah pimpinan FDR/PKI ditangkap. Mereka adalah Tan Ling Djie, Maruto Darusman, dan Ngadiman. Bahkan, Ny Surjadarma dari Lembaga Persahabatan Indonesia-Uni Soviet ikut ditangkap. Sejak itu, operasi penumpasan PKI di Madiun mulai dilakukan.
Aktivis SOBSI ditangkapi, koran-koran pro FDR/PKI ditutup. Situasi kian gawat ketika Soekarno berpidato di depan moncong radio RRI, pada 19 September 1948. Dalam pidatonya, rakyat disuruh pilih ikut Musso-PKI yang akan membawa hancurnya republik atau Soekarno-Hatta yang membawa Indonesia merdeka, tidak dijajah negara manapun.
Kontan, rakyat langsung menjawab Soekarno-Hatta yang akan memimpin Indonesia merdeka. Sejak itu, pilihan aktivis PKI dan tentara maupun rakyat di Madiun hanya dua, membunuh atau dibunuh. Perang saudara pun pecah menjadi amuk massa.
Mendapat ancaman seperti itu, Musso naik darah. Tidak lama setelah Soekarno pidato, dia balas melakukan serangan. Dengan sengit, di hadapan corong radio Madiun, Musso meradang. Dia balik menuding Soekarno-Hatta sebagai kolabolator Jepang yang menjual rakyat menjadi romusha.
Menurutnya, Soekaro-Hatta telah memakai alasan palsu dengan menuding FDR/PKI dan Musso sebagai pengacau. Sebaliknya, dalang dari penculikan-penculikan aktivis PKI di Solo tidak lain adalah Soekarno-Hatta. Bahkan, dengan bekerja sama kaum Trotskys Tan Malaka, mereka mengacau di Solo dengan sasaran FDR/PKI.
Dia juga menegaskan, bahwa rakyat Indonesia lah yang melawan Inggris, Amerika, dan Belanda. Bukan Soekarno-Hatta sendiri. Rakyat harusnya menjawab, Soekarno-Hatta budak Jepang dan Amerika. Musso selamanya menghamba rakyat, merdeka!
Sebaliknya, dalam tulisannya Konfrontasi Peristiwa Madiun 1948, Peristiwa Sumatera 1956 DN Aidit membela Soekarno. Dia hanya menuding Hatta yang bertanggung jawab terhadap tewasnya sekira 8.000 komunis dan kaum progresif, serta rakyat dan tentara republik dalam peristiwa Madiun.
"Saya katakan sepenuhnya tanggung jawab pemerintah Hatta, karena Hatta lah yang menjadi Perdana Menteri ketika itu. Tapi karena Hatta tahu bahwa pengaruhnya sangat kecil di kalangan Angkatan Perang dan alat-alat negara lainnya. Apalagi di kalangan masyarakat, maka Hatta menggunakan mulut Soekarno," ujar Aidit, di Sidang DPR, pada 11 Februari 1957.
Sebagai Perdana Menteri, Hatta dinilai telah dengan secara gegabah mengerahkan alat-alat kekuasaan negara untuk menculik, membunuh, dan mengobarkan perang saudara. Langkah itu dia lakukan untuk melapangkan Konferensi Meja Bundar dengan Belanda yang langsung diawasi oleh Amerika Serikat.
Tindakan lain Hatta yang membuat geram sayap kiri adalah, ucapannya saat berpidato. Dia mempercayai desas-desus berdirinya negara Madiun dengan Musso sebagai Presiden Republik dan Mr. Amir Syarifuddin sebagai perdana menterinya. Kata-kata Hatta saat itu yang paling dikecam adalah "entah benar entah tidak".
Bagi seorang pemimpin bangsa, bergerak dengan landasan "entah benar entah tidak" sangat berbahaya. Apalagi, tindakan itu dimaksudkan untuk menumpas "pengacau" yang sebenarnya menjadi lawan politik Hatta.
(san)