BI rate vs pengusaha
A
A
A
OBROLAN kalangan pelaku bisnis kini mulai berpindah tema. Kalau dalam dua bulan terakhir ini tema obrolan masih didominasi gejolak nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang merontokkan nilai alat pembayaran dalam negeri itu, kini bergeser pada dampak kenaikan suku bunga acuan (BI Rate) yang sudah menembus 150 basis poin.
Bagi pengusaha, kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) merupakan pilihan yang pahit, tetapi ada harapan untuk menguatkan nilai tukar rupiah dan meredam inflasi. Membiarkan nilai rupiah terus anjlok juga tak memberikan ruang sehat bagi pengusaha, bahkan dampaknya jauh lebih memprihatinkan. Kini para pengusaha berharap jurus ampuh dari pemerintah untuk meminimalisasi dampak dari kenaikan suku bunga acuan itu.
Kenaikan suku bunga acuan diakui Gubernur BI Agus Martowardojo sedikit akan mengganggu pertumbuhan perekonomian nasional, namun belum sampai merepotkan kalangan pelaku usaha sebab pihak bank sentral sudah mengkaji dan memperhitungkan dampaknya dengan matang.
“Secara umum kondisi ekonomi akan mengalami gangguan pertumbuhan, namun masih dalam posisi terkendali. Prioritas saat ini adalah stabilitas dalam menjalankan pembangunan yang berkesinambungan,” kata Agus Martowardojo menanggapi suara miring atas kebijakan menaikkan BI Rate. Sebelumnya bank sentral kembali memutuskan kenaikan suku bunga acuan dari level 7% ke level 7,25% atau sebesar 25 basis poin pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pekan lalu.
RDG juga merevisi prediksi pertumbuhan perekonomian nasional dari level 5,8% hingga 6,2% menjadi 5,5% sampai 5,9% pada tahun ini. Dari berbagai hasil survei BI terhadap perkembangan perekonomian nasional terungkap sejumlah indikator mesin pertumbuhan mulai menunjukkan kecenderungan aktivitas yang melambat.
Misalnya, survei keyakinan konsumen yang mengindikasikan konsumsi rumah tangga cenderung melambat pada semester kedua tahun ini. Bagi kalangan perbankan, kenaikan BI Rate dengan tenggang waktu yang begitu pendek ternyata cukup merepotkan karena kesulitan menetapkan angka yang pas untuk suku bunga baru yang kompetitif. Suku bunga––tentu suku bunga pinjaman yang tinggi–– selain memberatkan nasabah, juga bisa mendongkrak angka kredit macet.
Untuk menetapkan tingkat suku bunga, setidaknya para bankir berpedomanpada limakriteria. Pertama, biayadana (cost offund) adalah biaya bunga yang harus dikeluarkan bank untuk memperoleh simpanan. Kedua, biaya operasional di antaranya biaya karyawan dan administrasi. Ketiga, biaya pencadangan (provisi) untuk mengantisipasi risiko kredit bermasalah. Keempat, margin bank dengan menyesuaikan kondisi nasabah. Kelima, pajak yang menjadi kewajiban kepada negara.
Menaikkan suku bunga kreditdalam kondisipersaingan yang ketat antarbank adalah sebuah tantangan tersendiri bagi para bankir. Pada umumnya kalangan perbankan akan memilih “memanjakan” nasabah korporasi karena sangat rentan terhadap kenaikansukubunga. Pilihannya adalahmenggenjotsukubungakredit konsumsi seperti kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB).
Sejak awal bulan ini sejumlah bank swasta dan bank pemerintah sudah merevisi suku bunga KPR yang besarannya bervariasi dari 0,25% sampai 1%. Kita berharap pengenaan suku bunga tersebut hendaknya mempertimbangkan debitur lama agar tidak menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Idealnya, kenaikan suku bunga tersebut dibebankan pada nasabah baru saja. Meski konsekuensi kenaikan suku bunga acuan BI cukup berat, terutama bagi pengusaha, kita harus rela menerima kenyataan pahit tersebut.
Ibaratnya, BI Rate adalah obat pahit yang harus diminum guna menyembuhkan perekonomian nasional yang sedang sakit. Memang obat itu kelihatan belum manjur, buktinya nilai tukar rupiah terhadap dolar masih tetap berfluktuatif di atas Rp11.000 per dolar Amerika Serikat.
Tetapi, jauh lebih baik meminum obat yang pahit, tetapi ada harapan sembuh daripada membiarkan energi rupiah terus terkuras di depan mata tanpa tindakan berarti. Kita percaya pemerintah sudah memikirkan kebijakan khusus mengatasi dampak dari kenaikan suku bunga acuan itu.
Bagi pengusaha, kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) merupakan pilihan yang pahit, tetapi ada harapan untuk menguatkan nilai tukar rupiah dan meredam inflasi. Membiarkan nilai rupiah terus anjlok juga tak memberikan ruang sehat bagi pengusaha, bahkan dampaknya jauh lebih memprihatinkan. Kini para pengusaha berharap jurus ampuh dari pemerintah untuk meminimalisasi dampak dari kenaikan suku bunga acuan itu.
Kenaikan suku bunga acuan diakui Gubernur BI Agus Martowardojo sedikit akan mengganggu pertumbuhan perekonomian nasional, namun belum sampai merepotkan kalangan pelaku usaha sebab pihak bank sentral sudah mengkaji dan memperhitungkan dampaknya dengan matang.
“Secara umum kondisi ekonomi akan mengalami gangguan pertumbuhan, namun masih dalam posisi terkendali. Prioritas saat ini adalah stabilitas dalam menjalankan pembangunan yang berkesinambungan,” kata Agus Martowardojo menanggapi suara miring atas kebijakan menaikkan BI Rate. Sebelumnya bank sentral kembali memutuskan kenaikan suku bunga acuan dari level 7% ke level 7,25% atau sebesar 25 basis poin pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pekan lalu.
RDG juga merevisi prediksi pertumbuhan perekonomian nasional dari level 5,8% hingga 6,2% menjadi 5,5% sampai 5,9% pada tahun ini. Dari berbagai hasil survei BI terhadap perkembangan perekonomian nasional terungkap sejumlah indikator mesin pertumbuhan mulai menunjukkan kecenderungan aktivitas yang melambat.
Misalnya, survei keyakinan konsumen yang mengindikasikan konsumsi rumah tangga cenderung melambat pada semester kedua tahun ini. Bagi kalangan perbankan, kenaikan BI Rate dengan tenggang waktu yang begitu pendek ternyata cukup merepotkan karena kesulitan menetapkan angka yang pas untuk suku bunga baru yang kompetitif. Suku bunga––tentu suku bunga pinjaman yang tinggi–– selain memberatkan nasabah, juga bisa mendongkrak angka kredit macet.
Untuk menetapkan tingkat suku bunga, setidaknya para bankir berpedomanpada limakriteria. Pertama, biayadana (cost offund) adalah biaya bunga yang harus dikeluarkan bank untuk memperoleh simpanan. Kedua, biaya operasional di antaranya biaya karyawan dan administrasi. Ketiga, biaya pencadangan (provisi) untuk mengantisipasi risiko kredit bermasalah. Keempat, margin bank dengan menyesuaikan kondisi nasabah. Kelima, pajak yang menjadi kewajiban kepada negara.
Menaikkan suku bunga kreditdalam kondisipersaingan yang ketat antarbank adalah sebuah tantangan tersendiri bagi para bankir. Pada umumnya kalangan perbankan akan memilih “memanjakan” nasabah korporasi karena sangat rentan terhadap kenaikansukubunga. Pilihannya adalahmenggenjotsukubungakredit konsumsi seperti kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB).
Sejak awal bulan ini sejumlah bank swasta dan bank pemerintah sudah merevisi suku bunga KPR yang besarannya bervariasi dari 0,25% sampai 1%. Kita berharap pengenaan suku bunga tersebut hendaknya mempertimbangkan debitur lama agar tidak menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Idealnya, kenaikan suku bunga tersebut dibebankan pada nasabah baru saja. Meski konsekuensi kenaikan suku bunga acuan BI cukup berat, terutama bagi pengusaha, kita harus rela menerima kenyataan pahit tersebut.
Ibaratnya, BI Rate adalah obat pahit yang harus diminum guna menyembuhkan perekonomian nasional yang sedang sakit. Memang obat itu kelihatan belum manjur, buktinya nilai tukar rupiah terhadap dolar masih tetap berfluktuatif di atas Rp11.000 per dolar Amerika Serikat.
Tetapi, jauh lebih baik meminum obat yang pahit, tetapi ada harapan sembuh daripada membiarkan energi rupiah terus terkuras di depan mata tanpa tindakan berarti. Kita percaya pemerintah sudah memikirkan kebijakan khusus mengatasi dampak dari kenaikan suku bunga acuan itu.
(nfl)