Dari Banjarsari ke Tanah Abang

Senin, 02 September 2013 - 11:30 WIB
Dari Banjarsari ke Tanah...
Dari Banjarsari ke Tanah Abang
A A A
AKHIRNYA relokasi pedagang kaki lima (PKL) di Tanah Abang berjalan dengan lancar dan damai. Tanpa kekerasan. Tanpa pentungan. Apalagi tanpa tetesan darah sebagaimana yang sering terjadi di berbagai daerah dalam penertiban PKL di berbagai daerah.

PKL Tanah Abang yang membuat macet dan kota semrawut berhasil direlokasi ke Blok G. Masa depan PKL di Blok G memang masih panjang. Tetapi sebagai langkah awal, upaya penertiban PKL di Tanah Abang yang mencakup hampir 1.000 PKL merupakan langkah berani dan harus diapresiasi dalam politik kota yang digalakkan Jokowi-Basuki. Menariknya, dilihat dari kompleksitas PKL di Tanah Abang, inilah relokasi terbesar yang terjadi di Indonesia.

Ini sekaligus menjadi kasus terbaik dalam penataan dan relokasi PKL di berbagai daerah. Kita memang masih menunggu hari-hari panjang PKL di Blok G. Tetapi kasus ini menjadi contoh bahwa penertiban PKL bisa dilakukan nirkekerasan. Dilihat dari pendekatan yang dilakukan Jokowi selama merelokasi PKL Tanah Abang, ini adalah prestasi kedua Jokowi dalam merelokasi PKL.

Kasus relokasi di Banjarsari dianggap menjadi best practise dalam hal penataan kelembagaan di Asia oleh beberapa akademisi dan peneliti luar negeri. Relokasi di Banjarsari dilakukan tanpa kekerasan, melalui dialog dan bahkan berbasiskan kultural. Keberhasilan Kota Solo menata sektor informal, menjadikan kota ini sebagai pusat percontohan bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di Asia-Pasifik.

Tentu suasana dan kondisi Banjarsari dengan Tanah Abang berbeda jauh. Tanah Abang dikenal sebagai daerah keras yang sudah rahasia umum dikuasai oleh tokoh-tokoh lokal yang puluhan tahun menggantungkan kehidupannya dari wilayah Tanah Abang. Ada ribuan orang yang nasibnya juga bergantung dari Pasar Tanah Abang. Sudah berapa gubernur Jakarta berganti, Tanah Abang tetap saja macet dan semrawut. Preman-preman berkeliaran dengan leluasa.

Menertibkan Tanah Abang sebenarnya sangat berisiko. Ibarat membangunkan macan dari kandangnya. Berbagai pihak mengkhawatirkan dan menolak relokasi tersebut. Karena dianggap bisa mengganggu urusan dapur orang-orang di belakangnya. Tetapi, pendekatan dan komunikasi bisa dilakukan oleh Jokowi-Basuki dalam proses relokasi ini.

Pemberdayaan PKL
PKL adalah salah satu contoh keberadaan sektor informal yang marak dihadapi kota-kota negara dunia ketiga. Keberadaan PKL banyak dialami oleh kota-kota di Asia dan Afrika. Bahkan, di Prancis misalnya, karena pengaruh krisis ekonomi, jumlah PKL mulai bertambah banyak. Jika Anda bepergian ke pusat-pusat wisata di Paris seperti kawasan Menara Eiffel, pasti dijumpai PKL yang menjual berbagai hiasan dan suvenir khas Paris.

Masalahnya sama, PKL dianggap ilegal dan membuat kota semrawut. Mereka dihadapkan pada berbagai operasi penertiban PKL. Berbagai studi tentang sektor informal di kota-kota Asia menunjukkan perlawanan yang regulatif dari rezim kota terhadap eksistensi sektor informal. Padahal, sektor informal juga memiliki peran dalam menyerap surplus angkatan kerja. Faktanya di lapangan sektor informal masih menjadi sektor kelas kedua.

Di perkotaan, sektor informal sering kali tak pernah terakomodasi dalam kebijakan perencanaan dan penataan ulang kota. Sektor informal sering dianaktirikan bahkan dianggap sebagai “penyakit” dalam sistem perekonomian sebuah kota. Sektor informal dianggap hanya melahirkan kawasan kumuh yang menggunakan jalur hijau. Rezim kota juga menolak sektor informal karena mendorong lahirnya kriminalitas dan aksi premanisme yang membahayakan bagi warga kota.

Penataan kelembagaan

Menurut Alisjahbana dalam bukunya Urban Hidden Economy; Peran Tersembunyi Sektor Informal Perkotaan, sektor informal memiliki daya serap tinggi dan tidak bertitik jenuh. Di Indonesia, jumlah sektor informal bisa mencapai 70% dari tenaga kerja di perkotaan. Hal tersebut didukung data BPS yang menyebutkan jumlah penduduk yang bekerja di kegiatan informal pada 2005 mencapai 63,9% dari total penduduk yang bekerja.

Sektor informal perkotaan dapat menjadi katup pengaman ekonomi nasional. Hal itu dapat dilihat pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997, sektor informal terbukti mampu menunjukkan ketangguhan dan mampu menjadi peredam (buffer) gejolak di pasar kerja perkotaan dengan menampung limpahan jutaan buruh korban PHK. Keberadaan PKL membuat angka pengangguran dan kemiskinan tidak meledak sedahsyat yang ditakutkan.

Dengan peran ini, pemerintah tidak seharusnya memarjinalkan PKL dalam kebijakan pembangunan ekonomi kota. Agenda yang diperlukan adalah penataan kelembagaan dengan mengakomodasi sektor informal dalam struktur ekonomi kota. Strategi ini dilakukan dengan beberapa cara. Memberikan lahan khusus untuk sektor informal dengan melibatkan paguyuban/organisasi sektor informal dan pihak swasta.

Kebijakan pemberian lahan khusus bagi sektor informal juga dilihat contoh Pemerintah Prancis di seluruh kotanya. Prancis adalah salah satu negara yang memiliki fondasi ekonomi kuat di Eropa selain Jerman. Meski ekonomi negaranya ditopang dominan oleh sektor formal, pemerintah kota tidak mengabaikan peran sektor informal. Pemerintah kota mengakomodasi sektor informal dengan memberikan lahan khusus kepada sektor informal.

Biasanya disediakan lahan khusus dengan luas yang cukup besar. Pedagang kaki lima bisa melakukan kegiatan ekonominya secara kondusif. Pedagang sektor informal ini tidak berjualan setiap hari tetapi ada hari-hari tertentu yang sudah ditetapkan pemerintah kota setempat. Waktu berjualan juga dibatasi. Secara umum mulai buka pukul 06.00 hingga pukul 14.00. Setelah kegiatan ekonomi di lahan tersebut selesai, petugas kebersihan membersihkan lokasi tersebut.

Tidak kalah pentingnya adalah menghilangkan strategi represif yang sering dilakukan dengan penggusuran di berbagai kawasan. Memberdayakan sektor informal sebagai salah satu aktor pentingpembangunanekonomi rasanya adalah sebuah strategi yang rasional. Pemberdayaan yang dilakukan dengan berbagai strategi penataan sejatinya menjadi kebijakan kolektif di seluruh pemerintah kota. Dengan cara ini, ada tanggung jawab bersama bagi seluruh pemangku kepentingan agar sektor informal bisa lebih berperan mengorganisasi dirinya dalam menggerakkan dinamika ekonomi kota.

Pengorganisasian sektor informal juga menjadi hal penting untuk menghilangkan berbagai stigma negatif yang selama ini melekat. Berbagai pendekatan dan strategi konvensional menghadapi sektor informal sudah tidak lagi relevan dilakukan. Era pemberdayaan menjadi keniscayaan dalam konteks pembangunan sosial.

RAKHMAT HIDAYAT
Dosen Sosiologi Perkotaan Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
Kandidat PhD Universite Lumiere Lyon 2 Fance
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.5837 seconds (0.1#10.140)