Bertetangga dengan teroris
A
A
A
PEMERINTAH dikabarkan akan membangun penjara-penjara khusus bagi narapidana teroris, narkoba, dan koruptor. Masing-masing tipe penjahat tersebut akan mendapat gedung penjara yang terpisah satu sama lain.
Gara-gara media massa mewartakan bahwa penjara khusus teroris akan didirikan di kawasan Sentul, dekat Kota Bogor, sebuah milis warga Bogor sontak riuh rendah oleh penolakan rencana tersebut. “Jangan biarkan Guantanamo menjadi tetangga kita!” seru seorang warga berapi-api. “Ya, penjara seperti itu semestinya di pulau terpencil,” imbuh anggota milis. “Kalau ada yang kabur, risikonya terhadap kota kita bakal mengerikan,” timpal pengirim komentar lainnya.
Ringkas cerita, tidak ada satu pun—hampir tidak satu pun, tepatnya—yang menyetujui gagasan pembangunan penjara teroris di sebelah Bogor. Kegundahan macam itu bisa dimaklumi. Analogi sederhana: kalau bertetangga dengan bajingan saja, hidup tak tenang; kalau tinggal sekampung dengan bromocorah saja, bisa mendatangkan aib; apalagi hidup berdampingan dengan penjara yang isinya dianggap sebagai ahli neraka semua!
Tidak hanya citra kampung tercemar, usia pun dapat memendek akibat tekanan batin yang tak berkeputusan. Sembari tetap berempati terhadap kalangan yang kontra, beberapa hal penting patut ditimbang- timbang kembali. Pertama, bukankah pulau terpencil justru lebih tak terawasi? Sebagai ilustrasi, selama ini nyaris tidak ada masyarakat dan media yang tahu apa yang sesungguhnya berlangsung di penjarapenjara yang berlokasi di daerah pedalaman dan wilayah terpencil.
Seorang petinggi lembaga nasional, dalam sebuah perbincangan empat mata dengan saya, berujar bahwa anak bekas tokoh diktator Indonesia, yang seharusnya masuk bui karena menjadi otak pembunuhan hakim agung, faktanya sama sekali tidak pernah bermukim di dalam selnya di Nusakambangan. Padahal, Nusakambangan berada di daerah terasing dan distigma sebagai kubangan bagi titisan setan.
Situasi seperti itu pula yang memunculkan kekhawatiran ketika mafia narkoba, Freddy Budiman, dipindah dari Penjara Cipinang ke salah satu penjara di Nusakambangan. Alih-alih terisolasi sehingga mata rantai bisnis haramnya langsung hancur berantakan, pemenjaraan di lokasi terpencil seperti Nusakambangan bisa jadi malah mempermudah komplotan Freddy untuk melakukan operasi penyerbuan ke penjara tempat Freddy dihukum badan.
Rupa-rupa potensi penyimpangan, termasuk yang melibatkan otoritas penjara sendiri, pun semakin sulit terawasi di situ. Masyarakat dan media lebih terfokus untuk melakukan pengawasan non institusional di penjara-penjara di kota besar. Jadi, bertolak belakang dengan persepsi awam, menempatkan penjara teroris di kota semacam Sentul-Bogor memungkinkan pengawasan dilakukan secara lebih ketat oleh berbagai pihak.
Kedua, karena terorisme tergolong sebagai kejahatan luar biasa, penjara khusus teroris akan didesain sebagai fasilitas dengan tingkat pengamanan super maksimum. Ibaratnya, jangankan manusia, angin pun bisa putus asa menemukan gerbang masuk dan pintu keluar dari situ. Tetapi, dalam keadaan terburuk, andaikan ada teroris yang berhasil kabur, kecil kemungkinan mereka akan lari dan bermukim di—misalnya— Kota Bogor.
Lazimnya perilaku buron, teroris yang berhasil menjebol jeruji sel besar kemungkinan akan pergi ke kampung halaman guna bertemu sanak saudaranya. Alternatif lain, si pelarian akan berangkat menuju lokasi para komplotannya berada. Sependek yang saya ketahui, Bogor bukan merupakan basis kelompok teror. Setidaknya untuk masa sekarang dan, mudah-mudah, begitu terus ke depannya.
Benar, dari sisi pencitraan, rasanya kurang pas di hati sekiranya ada penjara khusus teroris yang sebelah-menyebelah dengan kampung kita. Sekian banyak jenazah terduga teroris yang ditembus peluru oleh Densus Antiteror saja ditolak oleh masyarakat manakala akan dimakamkan di desa kelahiran mereka sendiri. Tapi, ini poin ketiga, bayangkan seandainya program privatisasi berhasil diselenggarakan di penjara khusus teroris di Sentul tersebut.
Swastanisasi penjara merupakan model yang selaras dengan filosofi rehabilitasi bagi narapidana. Sejak pertama kali saya usulkan pada awal tahun dua ribuan, kerusuhan Penjara Tanjung Gusta membuat wacana ini kian sering diangkat. Dengan melibatkan pihak swasta sebagai pengelola kegiatan bisnis berorientasi profit, bangunan penjara khusus dijadikan misalnya sebagai pabrik batu bata. Para pekerjanya adalah narapidana teroris itu sendiri.
Pada saat yang sama, karena Bogor sedang asyik membangun (tanpa cetak biru yang jelas di mata khalayak luas), pabrik batu bata seperti itu akan luar biasa menguntungkan. Profitnya dibagi-bagi antarpemangku kepentingan. Misalnya, 30% diserahkan ke pemerintah pusat agar dapat dialokasikan untuk pemeliharaan dan pembangunan infrastruktur lapas serta pembinaan narapidana, 30% untuk swasta, dan 40% untuk pemerintah kota madya dan kabupaten Bogor.
Kalau setiap tahun pabrik batu bata tersebut menghasilkan dua miliar rupiah, jatah yang diperoleh Bogor sangat bermanfaat untuk merapikan pasar-pasar tradisional di Bogor yang secara kasatmata sudah tak ada lagi perbedaannya antara tempat berdagang dan tempat penimbunan sampah. Betapa ironis namun indah; Bogor yang saking berantakan sering terkesan laksana kawasan tak bertuan, justru bisa menjadi lebih tertata akibat amal kebaikan para narapidana teroris!
Produktivitas teroris di balik dinding penjara menjadi suri teladan bagi para pengelola daerah Bogor! Sejarah pun menjadi saksi banyak daerah yang menjadi masyhur berkat keberadaan penjara di sana. Semua bukan penjara bagi bandit kelas teri, tapi bagi sosok-sosok yang oleh sebagian kalangan dianggap buas lagi menakutkan. Ambil misal penjara Alcatraz di Teluk San Francisco yang pernah dihuni mafia Al Capone.
Ada pula Penjara Pulau Robben di Pantai Barat Cape Town. Menjadi hotel prodeo bagi para narapidana kaliber maut, penjara tersebut juga tempat pengasingan pahlawan antiapartheid, Nelson Mandela. Tak kalah tenar adalah penjara di Pulau Elba di kawasan Laut Mediterania dan Penjara Saint Helena di Samudera Atlantik Selatan.
Sosok sekaliber Napoleon Bonaparte adalah ikon di kedua penjara tersebut. Satu lagi, penjara di Kepulauan Coiba, Pantai Pasifik Panama. Bangunan angker itu kini tercatat sebagai Warisan Dunia UNESCO. Tidak tertutup kemungkinan, penjara khusus teroris di Sentul-Bogor kelak juga dapat dieksploitasi sebagai objek historis yang mendatangkan keuntungan finansial.
Jadi, mari lakukan pemungutan suara ulang: siapa yang setuju ada penjara khusus teroris di sebelah rumah kita? Saya acungkan jari. Wallahualam.
REZA INDRAGIRI AMRIEL
Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne, Bermukim di Bogor
Gara-gara media massa mewartakan bahwa penjara khusus teroris akan didirikan di kawasan Sentul, dekat Kota Bogor, sebuah milis warga Bogor sontak riuh rendah oleh penolakan rencana tersebut. “Jangan biarkan Guantanamo menjadi tetangga kita!” seru seorang warga berapi-api. “Ya, penjara seperti itu semestinya di pulau terpencil,” imbuh anggota milis. “Kalau ada yang kabur, risikonya terhadap kota kita bakal mengerikan,” timpal pengirim komentar lainnya.
Ringkas cerita, tidak ada satu pun—hampir tidak satu pun, tepatnya—yang menyetujui gagasan pembangunan penjara teroris di sebelah Bogor. Kegundahan macam itu bisa dimaklumi. Analogi sederhana: kalau bertetangga dengan bajingan saja, hidup tak tenang; kalau tinggal sekampung dengan bromocorah saja, bisa mendatangkan aib; apalagi hidup berdampingan dengan penjara yang isinya dianggap sebagai ahli neraka semua!
Tidak hanya citra kampung tercemar, usia pun dapat memendek akibat tekanan batin yang tak berkeputusan. Sembari tetap berempati terhadap kalangan yang kontra, beberapa hal penting patut ditimbang- timbang kembali. Pertama, bukankah pulau terpencil justru lebih tak terawasi? Sebagai ilustrasi, selama ini nyaris tidak ada masyarakat dan media yang tahu apa yang sesungguhnya berlangsung di penjarapenjara yang berlokasi di daerah pedalaman dan wilayah terpencil.
Seorang petinggi lembaga nasional, dalam sebuah perbincangan empat mata dengan saya, berujar bahwa anak bekas tokoh diktator Indonesia, yang seharusnya masuk bui karena menjadi otak pembunuhan hakim agung, faktanya sama sekali tidak pernah bermukim di dalam selnya di Nusakambangan. Padahal, Nusakambangan berada di daerah terasing dan distigma sebagai kubangan bagi titisan setan.
Situasi seperti itu pula yang memunculkan kekhawatiran ketika mafia narkoba, Freddy Budiman, dipindah dari Penjara Cipinang ke salah satu penjara di Nusakambangan. Alih-alih terisolasi sehingga mata rantai bisnis haramnya langsung hancur berantakan, pemenjaraan di lokasi terpencil seperti Nusakambangan bisa jadi malah mempermudah komplotan Freddy untuk melakukan operasi penyerbuan ke penjara tempat Freddy dihukum badan.
Rupa-rupa potensi penyimpangan, termasuk yang melibatkan otoritas penjara sendiri, pun semakin sulit terawasi di situ. Masyarakat dan media lebih terfokus untuk melakukan pengawasan non institusional di penjara-penjara di kota besar. Jadi, bertolak belakang dengan persepsi awam, menempatkan penjara teroris di kota semacam Sentul-Bogor memungkinkan pengawasan dilakukan secara lebih ketat oleh berbagai pihak.
Kedua, karena terorisme tergolong sebagai kejahatan luar biasa, penjara khusus teroris akan didesain sebagai fasilitas dengan tingkat pengamanan super maksimum. Ibaratnya, jangankan manusia, angin pun bisa putus asa menemukan gerbang masuk dan pintu keluar dari situ. Tetapi, dalam keadaan terburuk, andaikan ada teroris yang berhasil kabur, kecil kemungkinan mereka akan lari dan bermukim di—misalnya— Kota Bogor.
Lazimnya perilaku buron, teroris yang berhasil menjebol jeruji sel besar kemungkinan akan pergi ke kampung halaman guna bertemu sanak saudaranya. Alternatif lain, si pelarian akan berangkat menuju lokasi para komplotannya berada. Sependek yang saya ketahui, Bogor bukan merupakan basis kelompok teror. Setidaknya untuk masa sekarang dan, mudah-mudah, begitu terus ke depannya.
Benar, dari sisi pencitraan, rasanya kurang pas di hati sekiranya ada penjara khusus teroris yang sebelah-menyebelah dengan kampung kita. Sekian banyak jenazah terduga teroris yang ditembus peluru oleh Densus Antiteror saja ditolak oleh masyarakat manakala akan dimakamkan di desa kelahiran mereka sendiri. Tapi, ini poin ketiga, bayangkan seandainya program privatisasi berhasil diselenggarakan di penjara khusus teroris di Sentul tersebut.
Swastanisasi penjara merupakan model yang selaras dengan filosofi rehabilitasi bagi narapidana. Sejak pertama kali saya usulkan pada awal tahun dua ribuan, kerusuhan Penjara Tanjung Gusta membuat wacana ini kian sering diangkat. Dengan melibatkan pihak swasta sebagai pengelola kegiatan bisnis berorientasi profit, bangunan penjara khusus dijadikan misalnya sebagai pabrik batu bata. Para pekerjanya adalah narapidana teroris itu sendiri.
Pada saat yang sama, karena Bogor sedang asyik membangun (tanpa cetak biru yang jelas di mata khalayak luas), pabrik batu bata seperti itu akan luar biasa menguntungkan. Profitnya dibagi-bagi antarpemangku kepentingan. Misalnya, 30% diserahkan ke pemerintah pusat agar dapat dialokasikan untuk pemeliharaan dan pembangunan infrastruktur lapas serta pembinaan narapidana, 30% untuk swasta, dan 40% untuk pemerintah kota madya dan kabupaten Bogor.
Kalau setiap tahun pabrik batu bata tersebut menghasilkan dua miliar rupiah, jatah yang diperoleh Bogor sangat bermanfaat untuk merapikan pasar-pasar tradisional di Bogor yang secara kasatmata sudah tak ada lagi perbedaannya antara tempat berdagang dan tempat penimbunan sampah. Betapa ironis namun indah; Bogor yang saking berantakan sering terkesan laksana kawasan tak bertuan, justru bisa menjadi lebih tertata akibat amal kebaikan para narapidana teroris!
Produktivitas teroris di balik dinding penjara menjadi suri teladan bagi para pengelola daerah Bogor! Sejarah pun menjadi saksi banyak daerah yang menjadi masyhur berkat keberadaan penjara di sana. Semua bukan penjara bagi bandit kelas teri, tapi bagi sosok-sosok yang oleh sebagian kalangan dianggap buas lagi menakutkan. Ambil misal penjara Alcatraz di Teluk San Francisco yang pernah dihuni mafia Al Capone.
Ada pula Penjara Pulau Robben di Pantai Barat Cape Town. Menjadi hotel prodeo bagi para narapidana kaliber maut, penjara tersebut juga tempat pengasingan pahlawan antiapartheid, Nelson Mandela. Tak kalah tenar adalah penjara di Pulau Elba di kawasan Laut Mediterania dan Penjara Saint Helena di Samudera Atlantik Selatan.
Sosok sekaliber Napoleon Bonaparte adalah ikon di kedua penjara tersebut. Satu lagi, penjara di Kepulauan Coiba, Pantai Pasifik Panama. Bangunan angker itu kini tercatat sebagai Warisan Dunia UNESCO. Tidak tertutup kemungkinan, penjara khusus teroris di Sentul-Bogor kelak juga dapat dieksploitasi sebagai objek historis yang mendatangkan keuntungan finansial.
Jadi, mari lakukan pemungutan suara ulang: siapa yang setuju ada penjara khusus teroris di sebelah rumah kita? Saya acungkan jari. Wallahualam.
REZA INDRAGIRI AMRIEL
Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne, Bermukim di Bogor
(nfl)