Hunian vertikal kota besar
A
A
A
SESAKNYA kota besar sudah sangat terasa. Apalagi kalau kita melangkahkan kaki ke wilayah permukiman kumuh dan padat penduduk (slum area) yang tersebar di berbagai pelosok kotakota besar di Indonesia seperti DKI Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Semarang, Pekanbaru, Makassar, Balikpapan, dan banyak kota besar lainnya.
Permukiman-permukiman kumuh dan padat penduduk tersebut sebenarnya sudah tidak layak huni. Rumah-rumah berimpit dengan jalan gang yang kumuh, serta sistem sanitasi yang buruk merupakan resep bencana. Kebakaran cepat merembet, penyakit mudah menyebar, serta yang tak kalah penting minimnya ruang terbuka untuk bersosialisasi atau rekreasi meningkatkan tingkat stres warga.
Hal yang kelihatan sepele ini ternyata sangat besar pengaruhnya dalam meningkatnya masalah masyarakat seperti tawuran. Kita lihat saja, belakangan ini tawuran makin sering terjadi. Terakhir di Kampung Rawa, Johar Baru, Jakarta Pusat, tawuran terjadi dua hari berturut-turut, Kamis (29/8) dan Jumat (30/8). Seperti umumnya tawuran yang menahun, akar penyebabnya sudah tak bisa lagi dilacak.
Biasanya terjadi karena sejarah lama pemuda antarkampung/ pemukiman yang kerap bergesekan saat sekadar kongko. Gesekan wajar terjadi, karena memang ruang terbuka yang memungkinkan pemuda yang memiliki energi besar untuk bersosialisasi dan beraktivitas sangat minim. Belakangan ini ruang opini publik ramai dengan program pembangunan rumah susun atau kampung deret sebagai program andalan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Dalam program ini akan dilakukan relokasi para penghuni permukiman kumuh dan padat penduduk serta ditempatkan dalam hunian vertikal yang disediakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Tentunya dengan membangun hunian vertikal akan menghemat lahan, sehingga makin banyak lahan terbuka yang bisa dipakai warga kota untuk bersosialisasi dan berekreasi yang berfungsi untuk melepas stres setelah mendapatkan tekanan kerja.
Berbagai studi sudah membuktikan bahwa warga kota membutuhkan ruang terbuka dan tempat rekreasi yang memadai. Program seperti ini harus direplikasi oleh kota-kota besar lain. Tak perlu selalu menunggu gerak pemerintah pusat seperti Program 1000 Menara, yang hanya selesai sekitar 100 menara dan juga tak tepat sasaran itu.
Selain menyelesaikan masalah di atas, satu hal yang bisa sekaligus diselesaikan dengan rekayasa permukiman dengan hunian vertikal ini adalah penyempurnaan sistem transportasi massal. Rekayasa transportasi tak akan berhasil jika pemerintah kota tidak melakukan rekayasa permukiman. Jalan akan terus macet ketika permukiman tersebar dalam skala kecil-kecil, sehingga tak ada sistem transportasi umum yang bisa efisien sebagai solusinya.
Warga kota baru akan menggunakan transportasi umum jika menjangkau ke dekat tempat tinggalnya. Sudah saatnya kita mengubah berbagai asumsi yang sudah ketinggalan zaman, seperti orang Indonesia alergi tinggal di permukiman vertikal dan orang Indonesia selalu mengedepankan gengsi untuk mengendarai kendaraan pribadi. Nyatanya permukiman vertikal dari level rumah susun hingga apartemen mewah laris manis di Jakarta.
Bukti lainnya, ketika tarif kereta commuterline turun drastis, rupanya penumpang sedemikian membeludak. Ramainya penumpang menunjukkan warga kota besar sudah rasional. Tanpa dipaksa, mereka lebih memilih kereta daripada karena jauh lebih murah daripada kendaraan pribadi, bahkan motor sekalipun. Sayangnya karena belum banyak permukiman vertikal berharga terjangkau di sekeliling stasiun, ternyata pengeluaran untuk ojek atau angkot lebih mahal daripada tiket kereta.
Kalau kita melihat kota-kota besar yang sudah maju transportasi umumnya, permukiman akan dikumpulkan di wilayah tertentu dan berjarak sangat dekat dengan stasiun (walking distance). Warga kota pun dengan rasional memilih untuk menggunakan transportasi umum karena lebih efisien serta lebih murah.
Permukiman-permukiman kumuh dan padat penduduk tersebut sebenarnya sudah tidak layak huni. Rumah-rumah berimpit dengan jalan gang yang kumuh, serta sistem sanitasi yang buruk merupakan resep bencana. Kebakaran cepat merembet, penyakit mudah menyebar, serta yang tak kalah penting minimnya ruang terbuka untuk bersosialisasi atau rekreasi meningkatkan tingkat stres warga.
Hal yang kelihatan sepele ini ternyata sangat besar pengaruhnya dalam meningkatnya masalah masyarakat seperti tawuran. Kita lihat saja, belakangan ini tawuran makin sering terjadi. Terakhir di Kampung Rawa, Johar Baru, Jakarta Pusat, tawuran terjadi dua hari berturut-turut, Kamis (29/8) dan Jumat (30/8). Seperti umumnya tawuran yang menahun, akar penyebabnya sudah tak bisa lagi dilacak.
Biasanya terjadi karena sejarah lama pemuda antarkampung/ pemukiman yang kerap bergesekan saat sekadar kongko. Gesekan wajar terjadi, karena memang ruang terbuka yang memungkinkan pemuda yang memiliki energi besar untuk bersosialisasi dan beraktivitas sangat minim. Belakangan ini ruang opini publik ramai dengan program pembangunan rumah susun atau kampung deret sebagai program andalan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Dalam program ini akan dilakukan relokasi para penghuni permukiman kumuh dan padat penduduk serta ditempatkan dalam hunian vertikal yang disediakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Tentunya dengan membangun hunian vertikal akan menghemat lahan, sehingga makin banyak lahan terbuka yang bisa dipakai warga kota untuk bersosialisasi dan berekreasi yang berfungsi untuk melepas stres setelah mendapatkan tekanan kerja.
Berbagai studi sudah membuktikan bahwa warga kota membutuhkan ruang terbuka dan tempat rekreasi yang memadai. Program seperti ini harus direplikasi oleh kota-kota besar lain. Tak perlu selalu menunggu gerak pemerintah pusat seperti Program 1000 Menara, yang hanya selesai sekitar 100 menara dan juga tak tepat sasaran itu.
Selain menyelesaikan masalah di atas, satu hal yang bisa sekaligus diselesaikan dengan rekayasa permukiman dengan hunian vertikal ini adalah penyempurnaan sistem transportasi massal. Rekayasa transportasi tak akan berhasil jika pemerintah kota tidak melakukan rekayasa permukiman. Jalan akan terus macet ketika permukiman tersebar dalam skala kecil-kecil, sehingga tak ada sistem transportasi umum yang bisa efisien sebagai solusinya.
Warga kota baru akan menggunakan transportasi umum jika menjangkau ke dekat tempat tinggalnya. Sudah saatnya kita mengubah berbagai asumsi yang sudah ketinggalan zaman, seperti orang Indonesia alergi tinggal di permukiman vertikal dan orang Indonesia selalu mengedepankan gengsi untuk mengendarai kendaraan pribadi. Nyatanya permukiman vertikal dari level rumah susun hingga apartemen mewah laris manis di Jakarta.
Bukti lainnya, ketika tarif kereta commuterline turun drastis, rupanya penumpang sedemikian membeludak. Ramainya penumpang menunjukkan warga kota besar sudah rasional. Tanpa dipaksa, mereka lebih memilih kereta daripada karena jauh lebih murah daripada kendaraan pribadi, bahkan motor sekalipun. Sayangnya karena belum banyak permukiman vertikal berharga terjangkau di sekeliling stasiun, ternyata pengeluaran untuk ojek atau angkot lebih mahal daripada tiket kereta.
Kalau kita melihat kota-kota besar yang sudah maju transportasi umumnya, permukiman akan dikumpulkan di wilayah tertentu dan berjarak sangat dekat dengan stasiun (walking distance). Warga kota pun dengan rasional memilih untuk menggunakan transportasi umum karena lebih efisien serta lebih murah.
(nfl)