Gratifikasi = suap
A
A
A
MASIH merupakan teka-teki masyarakat termasuk ahli bahkan tersangka apakah gratifikasi dan suap ada perbedaannya? Teka-teki tersebut dapat dipahami karena membaca rumusan kalimat gratifikasi dan suap dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2001 perubahan UU RI Nomor 31 Tahun 1999, memang tidak jelas dan bahkan ada kesamaan.
Ketika Reviewer Ahli dari UNDOC PBB mengkaji UU tersebut, maka direkomendasikan agar ketentuan Pasal 12 B dst tentang gratifikasi dihapus karena tumpang tindih dengan ketentuan tentang suap pasif dan aktif (Pasal 5-6,11-12). Riwayat ketentuan tentang gratifikasi seolah sama dengan suap terjadi dalam pembahasan dengan Komisi II DPR RI ketika pemerintah mengajukan usul dalam perubahan UU RI Nomor 31 Tahun 1999 memasukkan draf gratifikasi.
Usulan ini bermula dari keinginan Baharudin Lopa, menteri kehakiman ketika itu, agar ada pembuktian terbalik murni terhadap penyelenggara negara menerima uang tanpa diketahui asal usulnya, yaitu terdakwa wajib membuktikan bahwa asal usul perolehan uang yang diterimanya, dengan rumusan, ”gratifikasi dianggap suap, diancam dengan pidana….”. Hasil pembahasan sifatnya kompromistis, maka rumusan tersebut diubah menjadi, ”Gratifikasi dianggap pemberian suap jika berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya..”.
Nilai gratifikasi kemudian ditentukan, hanya nilai Rp10 juta atau lebih, beban pembuktian pada penerima gratifikasi; sedangkan nilai gratifikasi kurang dari Rp10 juta, beban pembuktian pada penuntut umum. Rumusan berbeda dengan rumusan diajukan pemerintah yang tidak menghendaki adanya pembuktian pada penuntut, tetapi pada penerima gratifikasi berapa pun nilai gratifikasinya.
Namun, hasil pembahasan dengan DPR RI, rumusan gratifikasi melemahkan pembuktian terbalik murni dan mengganti dengan pembuktian terbalik berimbang, yaitu baik penerima maupun penuntut diberikan beban pembuktian hanya dibatasi pada nilai gratifikasi. Ketentuan gratifikasi dengan pembuktian terbalik berimbang, kemudian menjadi lemah karena gratifikasi menjadi tindak pidana jika tidak dilaporkan dalam jangka waktu 30 hari kepada KPK terhitung sejak penerimaan gratifikasi.
Dalam konteks ini, KPK berwenang menentukan apakah gratifikasi harus diserahkan dan menjadi milik negara atau dikembalikan kepada penerima gratifikasi. Satu-satunya kasus gratifikasi yang tidak menjadi tindak pidana adalah gratifikasi salah satu gubernur Kalimantan yang setelah dilaporkan kepada KPK, kemudian KPK mengembalikan penerimaan tersebut kepada gubernur yang bersangkutan.
Rumusan gratifikasi eks Pasal 12B UU RI Nomor 20 Tahun 2001, memberikan kewajiban kepada penuntut untuk membuktikan hubungan penerimaan gratifikasi dengan jabatan atau kedudukan atau tugas penerima gratifikasi selaku penyelenggara negara. Rumusan ini kemudian dikritik karena tidak berbeda dengan ketentuan suap (aktif dan pasif).
Kerancuan ketentuan gratifikasi dalam praktik seperti kasus gratifikasi Rudi Rubiandini, mantan kepala SKK Migas; sangat memengaruhi kejelasan kasus sesungguhnya apakah penerimaan uang USD700.000 oleh yang bersangkutan, dapat dimasukkan sebagai ketentuan Pasal 12B (gratifikasi) atau Pasal suap pasif (Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a atau b UU RI Nomor 20 Tahun 2001).
Kasus Rudi, menurut pendapat saya, jika diterapkan Pasal 12 B maka menjadi persoalan karena peristiwanya adalah tertangkap tangan (redhanded) sehingga bagi yang bersangkutan tidak mungkin diberikan kesempatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 12 C. Jika demikian halnya, kepada yang bersangkutan diterapkan ketentuan Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a dan b, sebagai penerima suap (suap pasif).
Lalu menjadi kewajiban penuntut KPK untuk membuktikan ada hubungan antara penerimaan uang USD700.000 dan kedudukannya atau jabatannya atau ada fakta bahwa, (1) penerimaan tersebut untuk menggerakkan agar tersangka melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya atau bertentangan dengan kewajibannya selaku ketua SKK Migas atau, (2) penerimaan uang USD700.000 adalah akibat atau disebabkan tersangka telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya atau bertentangan dengan kewajibannya, atau (3) penerimaan uang USD700.000 oleh tersangka ada hubungannya kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau yang menurut pikiran orang yang memberikan uang tersebut ada hubungannya dengan jabatan tersangka.
Logika sederhana dalam kasus ini bahwa pasti ada pemilik dana dan ada perantara serta ada penerima dana serta ada proyek berkaitan dengan Migas. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 diubah UU RI Nomor 20 Tahun 2001, tidak mengatur (mengakui) perantara (intermediaries) sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Akan tetapi ketentuan Pasal 55 ayat (1) sub ke-1 KUHP dapat diterapkan kepada “perantara” tersebut.
Hal yang menarik dalam kasus Rudi Rubiandini adalah dugaan keterlibatan PT Kernel Oil, perusahaan asing yang berpusat di Singapura, yang memerlukan kajian hukum dalam tiga hal. Pertama, mengenai status badan hukum Kernel Oil di Indonesia. Kedua, mengenai keterikatan Indonesia dan Singapura dalam perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana (MLAT).
Ketiga, mengenai pertanggungjawaban pidana badan hukum di dalam yurisdiksi Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Indonesia dan Singapura, serta beberapa negara anggota ASEAN telah menjadi negara pihak dalam perjanjian sejak 29 November 2004; dan Indonesia telah meratifikasi perjanjian tersebut dengan UU RI Nomor 15 Tahun 2008.
KPK dan CPIB (KPK) Singapura telah menandatangani MOU bersama Brunei Darussalam dan Malaysia tanggal 15 Desember 2004, dan salah satu lingkup MOU adalah tukar menukar informasi mengenai metode dan cara tindak pidana korupsi, dan data intelijen keuangan, serta perbantuan kegiatan operasional.
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emiretus Universitas Padjadjaran (Unpad)
Ketika Reviewer Ahli dari UNDOC PBB mengkaji UU tersebut, maka direkomendasikan agar ketentuan Pasal 12 B dst tentang gratifikasi dihapus karena tumpang tindih dengan ketentuan tentang suap pasif dan aktif (Pasal 5-6,11-12). Riwayat ketentuan tentang gratifikasi seolah sama dengan suap terjadi dalam pembahasan dengan Komisi II DPR RI ketika pemerintah mengajukan usul dalam perubahan UU RI Nomor 31 Tahun 1999 memasukkan draf gratifikasi.
Usulan ini bermula dari keinginan Baharudin Lopa, menteri kehakiman ketika itu, agar ada pembuktian terbalik murni terhadap penyelenggara negara menerima uang tanpa diketahui asal usulnya, yaitu terdakwa wajib membuktikan bahwa asal usul perolehan uang yang diterimanya, dengan rumusan, ”gratifikasi dianggap suap, diancam dengan pidana….”. Hasil pembahasan sifatnya kompromistis, maka rumusan tersebut diubah menjadi, ”Gratifikasi dianggap pemberian suap jika berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya..”.
Nilai gratifikasi kemudian ditentukan, hanya nilai Rp10 juta atau lebih, beban pembuktian pada penerima gratifikasi; sedangkan nilai gratifikasi kurang dari Rp10 juta, beban pembuktian pada penuntut umum. Rumusan berbeda dengan rumusan diajukan pemerintah yang tidak menghendaki adanya pembuktian pada penuntut, tetapi pada penerima gratifikasi berapa pun nilai gratifikasinya.
Namun, hasil pembahasan dengan DPR RI, rumusan gratifikasi melemahkan pembuktian terbalik murni dan mengganti dengan pembuktian terbalik berimbang, yaitu baik penerima maupun penuntut diberikan beban pembuktian hanya dibatasi pada nilai gratifikasi. Ketentuan gratifikasi dengan pembuktian terbalik berimbang, kemudian menjadi lemah karena gratifikasi menjadi tindak pidana jika tidak dilaporkan dalam jangka waktu 30 hari kepada KPK terhitung sejak penerimaan gratifikasi.
Dalam konteks ini, KPK berwenang menentukan apakah gratifikasi harus diserahkan dan menjadi milik negara atau dikembalikan kepada penerima gratifikasi. Satu-satunya kasus gratifikasi yang tidak menjadi tindak pidana adalah gratifikasi salah satu gubernur Kalimantan yang setelah dilaporkan kepada KPK, kemudian KPK mengembalikan penerimaan tersebut kepada gubernur yang bersangkutan.
Rumusan gratifikasi eks Pasal 12B UU RI Nomor 20 Tahun 2001, memberikan kewajiban kepada penuntut untuk membuktikan hubungan penerimaan gratifikasi dengan jabatan atau kedudukan atau tugas penerima gratifikasi selaku penyelenggara negara. Rumusan ini kemudian dikritik karena tidak berbeda dengan ketentuan suap (aktif dan pasif).
Kerancuan ketentuan gratifikasi dalam praktik seperti kasus gratifikasi Rudi Rubiandini, mantan kepala SKK Migas; sangat memengaruhi kejelasan kasus sesungguhnya apakah penerimaan uang USD700.000 oleh yang bersangkutan, dapat dimasukkan sebagai ketentuan Pasal 12B (gratifikasi) atau Pasal suap pasif (Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a atau b UU RI Nomor 20 Tahun 2001).
Kasus Rudi, menurut pendapat saya, jika diterapkan Pasal 12 B maka menjadi persoalan karena peristiwanya adalah tertangkap tangan (redhanded) sehingga bagi yang bersangkutan tidak mungkin diberikan kesempatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 12 C. Jika demikian halnya, kepada yang bersangkutan diterapkan ketentuan Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a dan b, sebagai penerima suap (suap pasif).
Lalu menjadi kewajiban penuntut KPK untuk membuktikan ada hubungan antara penerimaan uang USD700.000 dan kedudukannya atau jabatannya atau ada fakta bahwa, (1) penerimaan tersebut untuk menggerakkan agar tersangka melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya atau bertentangan dengan kewajibannya selaku ketua SKK Migas atau, (2) penerimaan uang USD700.000 adalah akibat atau disebabkan tersangka telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya atau bertentangan dengan kewajibannya, atau (3) penerimaan uang USD700.000 oleh tersangka ada hubungannya kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau yang menurut pikiran orang yang memberikan uang tersebut ada hubungannya dengan jabatan tersangka.
Logika sederhana dalam kasus ini bahwa pasti ada pemilik dana dan ada perantara serta ada penerima dana serta ada proyek berkaitan dengan Migas. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 diubah UU RI Nomor 20 Tahun 2001, tidak mengatur (mengakui) perantara (intermediaries) sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Akan tetapi ketentuan Pasal 55 ayat (1) sub ke-1 KUHP dapat diterapkan kepada “perantara” tersebut.
Hal yang menarik dalam kasus Rudi Rubiandini adalah dugaan keterlibatan PT Kernel Oil, perusahaan asing yang berpusat di Singapura, yang memerlukan kajian hukum dalam tiga hal. Pertama, mengenai status badan hukum Kernel Oil di Indonesia. Kedua, mengenai keterikatan Indonesia dan Singapura dalam perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana (MLAT).
Ketiga, mengenai pertanggungjawaban pidana badan hukum di dalam yurisdiksi Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Indonesia dan Singapura, serta beberapa negara anggota ASEAN telah menjadi negara pihak dalam perjanjian sejak 29 November 2004; dan Indonesia telah meratifikasi perjanjian tersebut dengan UU RI Nomor 15 Tahun 2008.
KPK dan CPIB (KPK) Singapura telah menandatangani MOU bersama Brunei Darussalam dan Malaysia tanggal 15 Desember 2004, dan salah satu lingkup MOU adalah tukar menukar informasi mengenai metode dan cara tindak pidana korupsi, dan data intelijen keuangan, serta perbantuan kegiatan operasional.
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emiretus Universitas Padjadjaran (Unpad)
(nfl)