Ricuh keraton

Rabu, 28 Agustus 2013 - 06:55 WIB
Ricuh keraton
Ricuh keraton
A A A
SEMESTINYA pihak Keraton Solo malu mendengar atau membaca pernyataan sejarawan dan budayawan Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo Tunjung W Sutirta.

Menanggapi kericuhan yang terjadi di keraton pecahan Kerajaan Mataram Islam ini, Tunjung mempertanyakan eksistensi keraton tersebut. ”Secara ekstrem, saya menggugat apakah ini masih termasuk keraton atau tepatnya bekas keraton,” kata Tunjung kepada wartawan (KORAN SINDO, Selasa (27/8)). Jelas itu pernyataan keras dan kesal karena kericuhan yang terjadi Senin (26/8) lalu bukan mencerminkan adat istiadat dan budaya keraton yang menjunjung tata krama dan susila.

Bagaimana dua kubu saling serang kata-kata yang tak pantas, saling dorong, bahkan ada pihak membawa ”pasukan” lain untuk membubarkan acara. Ketika membawa puluhan bahkan ratusan ”pasukan” bela diri, tentu keinginannya adalah terjadinya bentrok atau adu fisik. Apa yang terjadi di Keraton Solo memang sangat memalukan bukan hanya bagi warga Solo, melainkan juga masyarakat Indonesia.

Solo yang distereotipekan sebagai daerah yang kental dengan budaya Jawa adiluhung, serta mengedepankan tata krama dan kesusilaan justru dinodai oleh kerabat keraton. Kericuhan yang terjadi beberapa tahun ini seolah menyanggah anggapan bahwa Solo adalah daerah dengan tutur kata yang halus, tingkah laku yang bertata krama, dan mengedepankan etika atau moral. Semua sepertinya sirna, karena simbol-simbol tata krama dan kesusilaan justru melakukan hal yang sebaliknya.

Bahkan bagi sebagian orang, kericuhan tersebut tidak bisa masuk nalar manusia. Mata masyarakat seolah tidak percaya bagaimana seorang kerabat penting keraton dengan bersuara keras sambil mendorong pintu keraton. Dengan muka penuh kemarahan, mereka mengumbar kata-kata marah kepada puluhan media yang merekam kericuhan tersebut. Mereka seolah tak malu dengan apa yang telah dilakukan bisa direkam dengan baik oleh awak media.

Kondisi ini justru menunjukkan bahwa apa yang dilakukan para kerabat keraton tersebut sebuah kebobrokan dan sikap yang begitu jauh dari tatanan tata krama dan kesusilaan. Ini sungguh ironi, budaya keraton yang selalu menyembunyikan dengan rapat aib sekecil apa pun. Bagi yang membocorkan aib keraton, mereka akan mendapat hukuman yang berat. Idealnya memang kedua kubu harus duduk bersama menyelesaikan kericuhan secara damai.

Misi pertemuan bukan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah, namun mengembalikan harkat dan martabat Keraton Solo yang telah jatuh. Pertemuan bukan lagi hanya untuk kepentingan kedua pihak, namun harus mengedepankan harkat martabat keraton. Jika pertemuan nantinya hanya membahas tentang siapa yang menang-kalah dan berhak-tidak, maka munculnya kericuhan akan kembali muncul. Pihak yang bertikai harus membahas sesuatu yang lebih luas lagi yaitu harkat martabat keraton.

Pertemuan atau rekonsiliasi haruslah lebih mengedepankan bagaimana keraton ini dianggap sebagai simbol budaya yang adiluhung dengan menjunjung tinggi tata krama dan kesusilaan. Memang dibutuhkan pihak penengah, dalam hal ini pemerintah, karena keraton memang di bawah pembinaan pemerintah daerah ataupun pusat. Bahkan untuk mempertahankan eksistensi keraton, pemerintah pun secara materi juga ikut membantu.

Artinya memang peran pemerintah sebagai mediator sangat diperlukan, karena keraton adalah aset bangsa ini yang patut dipertahankan eksistensinya. Pemerintah hanyalah pihak penengah atau mediator. Semua akan kembali niat baik dari kedua kubu yang bertikai, apakah masih ingin menunjukkan kepada masyarakat dan bangsa ini bahwa mereka adalah simbol bahkan kiblat dari budaya dan tata krama bangsa ini.

Keraton adalah simbol budaya bangsa ini. Eksistensi keraton tidak hanya pada bangunan atau benteng yang mengitari keraton, namun lebih pada nilai-nilai keraton yang harus dijaga khususnya oleh kerabat dan masyarakat pada umumnya. Kericuhan di Keraton Solo harus segera diakhiri dengan mengembalikan harkat dan martabat keraton yang telah jatuh.
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6340 seconds (0.1#10.140)