Pemberontakan napi: masalah kemanusiaan, bukan keamanan

Rabu, 21 Agustus 2013 - 09:38 WIB
Pemberontakan napi: masalah kemanusiaan, bukan keamanan
Pemberontakan napi: masalah kemanusiaan, bukan keamanan
A A A
DUA kasus besar dalam perjalanan pemasyarakatan sejak Era Reformasi adalah kasus pemberontakan narapidana (napi) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Tanjung Gusta (Juli 2013) dan Lapas Hulubatu (Agustus 2013).

Kejadian itu hanya berselang satu bulan dan kerugian pasti lebih dari satu miliar rupiah. Belum lagi korban-korban dan napi yang melarikan diri, sampai saat ini tidak ada keterangan resmi pemerintah, Kemenhukham, tentang kerugian negara akibat peristiwa tersebut. Peristiwa tersebut tentu telah diperkirakan terjadi terutama oleh pegawai dan pimpinan lapas yang telah berpengalaman puluhan tahun menangani pemasyarakatan.

Studi tentang kondisi dan kultur penjara (prison subculture) telah dilakukan sejak lama di negara maju, khususnya Amerika Serikat (AS) terutama di pantai barat. Studi penulis di Indonesia telah dilakukan sejak 1975. Ketika itu 365 lapas telah menghasilkan manual pemasyarakatan dan kemudian UU RI Nomor 12/1995. Hasil studi di negara maju dan di Indonesia tidak berbeda banyak dan satu persamaan yang ada adalah kehidupan napi telah membentuk subkultur napi (prisoner’s culture) yang berbeda dengan kultur masyarakat di luar penjara.

Loyalitas, solidaritas, dan gerakan tutup mulut diperkuat dengan “kode etik napi” dalam “bermasyarakat” merupakan “kekuatan moral” pada setiap napi. Alasan inilah, dalam pelaksanaan pemasyarakatan telah berjalan lama, dimunculkan istilah “tamping” alias pemuka napi sekaligus pembina; mereka yang dipercaya karena berkelakuan baik membantu tugas-tugas pegawai lapas khusus bagian keamanan.

Tamping inilah perpanjangan tangan petugas dalam mengelola kehidupan napi sekaligus mediator antara napi dan petugas. Tamping memperoleh hak dan kebebasan yang lebih besar dibandingkan dengan rekan lain sesama napi. Kondisi dan metode pembinaan napi ini berlangsung sejak 1950-an mungkin juga sampai saat ini dan hampir tidak ada gejolak di lapas. Jika Anda memasuki kehidupan napi di lapas, dipastikan tergantung di dinding kalender yang penuh coretan.

Di situlah mereka menghitung dan menanti remisi, cuti, asimilasi, dan bebas bersyarat sesuai ketentuan perundangan yang mereka pelajari. Kehidupan normal napi di lapas sangat dipengaruhi oleh dua hal penting yaitu hak dan kondisi sel serta keperluan air dan makan diperkuat oleh kunjungan keluarga. Pengalaman penelitian saya di Nusakambangan, ada seorang napi yang nekat berenang melintasi pulau tersebut dan terdampar di Pantai Pangandaran hanya untuk menemui anaknya yang sakit dan istri yang akan melahirkan.

Intinya, napi juga manusia seperti kita yang memiliki perasaan (nurani) kemanusiaan. Informasi kondisi lapas saat ini penuh sesak oleh napi di 32 (tiga puluh dua) kantor wilayah Kemenhukham, 162.551 napi/ tahanan, dibandingkan dengan kapasitas hunian hanya untuk 108.350 napi. Kondisi tersebut semakin kritis jika dibandingkan dengan jumlah tenaga pengamanan sebanyak 11.868 orang, belum termasuk jumlah petugas lapas 30.186 orang (KORAN SINDO, 9 Agustus 2013).

Kondisi lapas di 32 kanwil tersebut seluruhnya overcapacity telah mencapai 150% (KORAN SINDO, 9 Agustus 2013) sehingga peristiwa di Lapas Tanjung Gusta dan Labuhan Ruku, juga yang telah terjadi di Lapas Tulungagung, tidak mustahil terjadi lagi di lapas lain jika pemerintah tidak segera bertindak mengambil langkah positif dan konstruktif terhadap kehidupan napi di lapas. Pengalaman saya mengunjungi rutan di Cipinang memang menyedihkan.

Tahanan dan napi berdesak-desakan berdiri tidak dapat duduk santai dan hal itu terjadi dalam keadaan tidur malam hari. Satu-satunya tempat yang lapang bagi mereka adalah di masjid dan gereja untuk melampiaskan istirahat. Sesungguhnya kondisi overcapacity tentu juga berdampak terhadap kekurangan gizi dan menu makan napi.

Merupakan pelanggaran HAM oleh negara karena jika negara berhak menghukum, kewajiban negara menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi standar kehidupan layak sesuai SMR hasil Kongres PBB Tahun 1955 yang telah diadopsi dalam UU Pemasyarakatan Tahun 1995. Dalam serbakekurangan dan keterbatasan sarana dan prasarana lapas, setiap langkah kebijakan pemerintah apa pun alasannya untuk membatasi apalagi mengurangi hak (asasi) napi untuk memperoleh remisi, asimilasi, cuti, dan bebas bersyarat sangat rentan terhadap pemberontakan napi.

Langkah pemindahan napi dari satu lapas ke lapas lain bukan solusi. Sebaiknya juga dibuka kembali kebijakan lapas terbuka yang pernah dilaksanakan di Lapas Nusakambangan (1960-1965), “Kampung Sendang Waringin”, di mana napi berkelakuan baik dan telah menjalani 2/3 hukuman ditempatkan di lapas terbuka. Kehidupan lapas terbuka layaknya kehidupan masyarakat di luar lapas, bercocok tanam, dan menjalani kegiatan produktif lain.

Kebijakan lapas terbuka dapat dilaksanakan di pulau-pulau terluar di wilayah Nusantara yang tidak terurus oleh pemerintah sehingga mereka membiasakan diri kembali bermasyarakat dan memperoleh hasil dari aktivitas bercocok tanam dan berkarya lainnya. Cara ini juga mengurangi beban pemerintah mengelola lapas dan mengurangi secara maksimal overcapacity hunian lapas.

Sentuhan kemanusiaan dengan tetap penuh kewaspadaan terhadap kehidupan napi di lapas akan lebih bermaslahat dan kontributif terhadap situasi kamtibamas dibandingkan dengan pendekatan keamanan semata-mata yang hanya fobia terhadap manusia yang disebut “penjahat”.

ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3835 seconds (0.1#10.140)