Potensi diaspora
A
A
A
BISA jadi masih sedikit yang tahu tentang diaspora. Dalam definisinya, diaspora merujuk kepada bangsa atau penduduk yang terpaksa atau terdorong untuk meninggalkan tanah airnya ke negara atau wilayah lain.
Arti sederhananya adalah perantau. Fenomena diaspora pun sudah berumur ratusan, bahkan ribuan tahun seperti bangsa Yahudi, China, Afrika, dan lain-lain. Diaspora adalah sebuah fenomena yang biasa, namun menyimpan potensi yang luar biasa. Indonesia sebagai bangsa yang besar dengan peradaban yang sangat tua pun tak luput dari kondisi ini. Salah satu fenomena diaspora di Tanah Air yang banyak dikenal oleh masyarakat luas adalah saudara kita di Maluku dan Jawa.
Masyarakat Maluku sejak dulu sudah banyak yang merantau ke Belanda, begitu juga dengan masyarakat Jawa yang saat ini masih mempunyai ikatan darah dengan masyarakat Suriname. “Peninggalan-peninggalan” para diaspora tersebut masih sangat kita rasakan saat ini terlebih mereka yang populer di dunia olahraga. Terlepas diaspora adalah fenomena yang lumrah atau biasa, namun menyimpan potensi yang luar biasa. World Bank bahkan mengakui diaspora mampu mengangkat perekonomian dengan menurunkan tingkat kemiskinan.
China yang mempunyai diaspora sekitar 50 juta orang mempunyai sumbangsih yang besar bagi kemajuan negeri asal mereka. Begitu juga dengan India yang memiliki 20 juta diaspora. Bagaimana dengan Indonesia? Indonesian Diaspora Network (IDN) mencatat sekitar 8 juta orang dan tampaknya jumlah ini bisa terus bertambah jika terus diperkenalkan. Potensi nyata dari diaspora Indonesia adalah pengiriman uang dari luar ke dalam negeri.
Sri Mulyani bahkan meyakini pada kuartal I/2013, remitansi dari para diaspora mencapai angka USD1,8 miliar atau sekitar Rp18 triliun. Remitansi para diaspora setiap tahun diperkirakan sekitar USD7 miliar atau Rp70 triliun. Sayang, potensi ini tampaknya tak bisa begitu dihiraukan oleh pemerintah dengan memasang biaya remitansi sekitar 10% bahkan 15%. Padahal hampir seluruh negara hanya mematok biaya sekitar 5%. Kondisi ini yang membuat sebagian diaspora mengirim uangnya ke Indonesia karena tingginya biaya.
Semestinya pemerintah bisa memangkas hingga 5% yang akan menstimulus semakin banyak diaspora mengirim uangnya lebih banyak lagi. Jumlahnya diyakini akan mencapai ratusan triliun. Ini baru potensi remitansi, belum lagi potensi intangible lain yang bisa digunakan bangsa ini untuk membangun. Peningkatan investasi karena sebagian besar diaspora kita adalah pengusaha dan ilmuwan.
Kebanyakan diaspora Indonesia adalah orang dengan pemikiran cemerlang yang justru lebih banyak membantu negara tujuan. Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani salah satu diaspora yang saat ini menjabat sebagai direktur pelaksana Bank Dunia yang tentu sangat tahu tentang persoalan bangsa ini. Pada Kongres Diaspora II yang diselenggarakan di Jakarta pada 18-20 Agustus kemarin, dia menyebutkan tiga fokus pembangunan negeri ini yaitu pembangunan infrastruktur, pembangunan infrastruktur lunak (kesehatan dan pendidikan), dan pemanfaatan sumber daya alam yang melimpah di negeri ini.
Sri Mulyani seperti sudah memberikan rambu-rambu kepada para diaspora dan pemerintah untuk fokus pada tiga hal tersebut. Sayang, bangsa ini memang masih sangat lemah dalam memanfaatkan potensi besarnya. Lahan pertanian yang melimpah justru menyebabkan impor beras dan komoditas lain. Memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada, namun garam masih impor. Mempunyai potensi peternakan sapi di Indonesia timur, tapi daging sapi juga impor.
Mempunyai potensi perikanan, malah tidak dikembangkan secara maksimal. Memiliki potensi alam wisata yang besar, hanya dipandang sebelah mata dan masih banyak lagi. Nah, diaspora adalah bagian dari potensi bangsa ini yang jika dimanfaatkan akan memberikan sumbangsih yang luar biasa.
Pemerintah semestinya bisa memberlakukan diaspora tidak seperti beras, garam, daging sapi, perikanan, wisata, dan potensi lain bangsa ini.
Arti sederhananya adalah perantau. Fenomena diaspora pun sudah berumur ratusan, bahkan ribuan tahun seperti bangsa Yahudi, China, Afrika, dan lain-lain. Diaspora adalah sebuah fenomena yang biasa, namun menyimpan potensi yang luar biasa. Indonesia sebagai bangsa yang besar dengan peradaban yang sangat tua pun tak luput dari kondisi ini. Salah satu fenomena diaspora di Tanah Air yang banyak dikenal oleh masyarakat luas adalah saudara kita di Maluku dan Jawa.
Masyarakat Maluku sejak dulu sudah banyak yang merantau ke Belanda, begitu juga dengan masyarakat Jawa yang saat ini masih mempunyai ikatan darah dengan masyarakat Suriname. “Peninggalan-peninggalan” para diaspora tersebut masih sangat kita rasakan saat ini terlebih mereka yang populer di dunia olahraga. Terlepas diaspora adalah fenomena yang lumrah atau biasa, namun menyimpan potensi yang luar biasa. World Bank bahkan mengakui diaspora mampu mengangkat perekonomian dengan menurunkan tingkat kemiskinan.
China yang mempunyai diaspora sekitar 50 juta orang mempunyai sumbangsih yang besar bagi kemajuan negeri asal mereka. Begitu juga dengan India yang memiliki 20 juta diaspora. Bagaimana dengan Indonesia? Indonesian Diaspora Network (IDN) mencatat sekitar 8 juta orang dan tampaknya jumlah ini bisa terus bertambah jika terus diperkenalkan. Potensi nyata dari diaspora Indonesia adalah pengiriman uang dari luar ke dalam negeri.
Sri Mulyani bahkan meyakini pada kuartal I/2013, remitansi dari para diaspora mencapai angka USD1,8 miliar atau sekitar Rp18 triliun. Remitansi para diaspora setiap tahun diperkirakan sekitar USD7 miliar atau Rp70 triliun. Sayang, potensi ini tampaknya tak bisa begitu dihiraukan oleh pemerintah dengan memasang biaya remitansi sekitar 10% bahkan 15%. Padahal hampir seluruh negara hanya mematok biaya sekitar 5%. Kondisi ini yang membuat sebagian diaspora mengirim uangnya ke Indonesia karena tingginya biaya.
Semestinya pemerintah bisa memangkas hingga 5% yang akan menstimulus semakin banyak diaspora mengirim uangnya lebih banyak lagi. Jumlahnya diyakini akan mencapai ratusan triliun. Ini baru potensi remitansi, belum lagi potensi intangible lain yang bisa digunakan bangsa ini untuk membangun. Peningkatan investasi karena sebagian besar diaspora kita adalah pengusaha dan ilmuwan.
Kebanyakan diaspora Indonesia adalah orang dengan pemikiran cemerlang yang justru lebih banyak membantu negara tujuan. Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani salah satu diaspora yang saat ini menjabat sebagai direktur pelaksana Bank Dunia yang tentu sangat tahu tentang persoalan bangsa ini. Pada Kongres Diaspora II yang diselenggarakan di Jakarta pada 18-20 Agustus kemarin, dia menyebutkan tiga fokus pembangunan negeri ini yaitu pembangunan infrastruktur, pembangunan infrastruktur lunak (kesehatan dan pendidikan), dan pemanfaatan sumber daya alam yang melimpah di negeri ini.
Sri Mulyani seperti sudah memberikan rambu-rambu kepada para diaspora dan pemerintah untuk fokus pada tiga hal tersebut. Sayang, bangsa ini memang masih sangat lemah dalam memanfaatkan potensi besarnya. Lahan pertanian yang melimpah justru menyebabkan impor beras dan komoditas lain. Memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada, namun garam masih impor. Mempunyai potensi peternakan sapi di Indonesia timur, tapi daging sapi juga impor.
Mempunyai potensi perikanan, malah tidak dikembangkan secara maksimal. Memiliki potensi alam wisata yang besar, hanya dipandang sebelah mata dan masih banyak lagi. Nah, diaspora adalah bagian dari potensi bangsa ini yang jika dimanfaatkan akan memberikan sumbangsih yang luar biasa.
Pemerintah semestinya bisa memberlakukan diaspora tidak seperti beras, garam, daging sapi, perikanan, wisata, dan potensi lain bangsa ini.
(nfl)