Ekspor terancam ekonomi China

Rabu, 14 Agustus 2013 - 06:59 WIB
Ekspor terancam ekonomi China
Ekspor terancam ekonomi China
A A A
LAJU defisit neraca perdagangan (NP) Indonesia semakin kencang. Sepanjang semester pertama tahun ini angka NP sudah menembus sebesar USD3,31 miliar.

Pemerintah kesulitan menggenjot nilai ekspor di tengah kondisi fluktuatif perekonomian global, sementara nilai impor semakin susah ditekan. Sebagaimana dilansir Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor dari Januari hingga Juni 2013 tercatat sebesar USD91,05 miliar atau turun sekitar 6,09% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sedangkan, nilai impor mengungguli nilai ekspor yang tercetak sebesar USD94,36 miliar yang didominasi dari impor mesin dan peralatan mekanik.

Sebenarnya, volume ekspor Indonesia mengalami peningkatan namun nilainya justru menurun disebabkan sejumlah harga komoditas mengalami pelemahan di pasar internasional. Pangsa pasar ekspor terbesar masih tetap diduduki China, Jepang dan Amerika Serikat. Negara yang memasukkan barang ke Indonesia juga masih didominasi China, Jepang, dan Thailand yang banyak memasok kebutuhan kendaraan bermotor.

Nilai impor yang terus meroket belakangan ini menurut versi pemerintah didorong oleh kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat. Alasan tersebut cukup logis melihat perkembangan pertumbuhan perekonomian dalam tiga tahun terakhir ini yang terus mencetak kelas menengah dengan daya beli yang tinggi.Sayangnya, sejumlah komoditas impor terutama bahan pangan yang seharusnya bisa diproduksi di dalam negeri masih tetap diimpor.

Tengok saja, sepanjang periode Januari hingga Juni 2013, BPS mencatat sejumlah komoditas pangan yang diimpor cukup mencengangkan. Di antaranya, impor beras sebanyak 239.000 ton dengan nilai USD124,4 juta. Beras itu dipasok dari Pakistan sebesar 9.508 ton senilai USD3,7 juta, Vietnam sebesar 5.469 ton atau setara USD2,7 juta, dan Thailand sekitar 892 ton senilai USD507.000. Selanjutnya, impor jagung mencapai 1,3 juta ton senilai USD393 juta.

Berasal Jagung tersebut dari sejumlah negara, di mana India tampil sebagai pemasok terbesar yaitu 143.000 ton senilai USD42 juta. Kemudian Argentina sebesar 33.000 ton senilai 10,4 juta, Brasil sebanyak 4.500 ton senilai USD1,3 juta, dan AS sebanyak 201 ton senilai USD22.000. Masih banyak impor bahan pangan lainnya yang seharusnya bisa diadakan di dalam negeri, yang paling ironis adalah impor singkong dan garam.

Terlepas dari angka impor yang terus melambung, sebenarnya yang perlu dicermati dan disiapkan kebijakan yang tepat adalah dampak dari perlambatan perekonomian China. Mengapa? Sebab China adalah negara tujuan ekspor utama Indonesia selama ini. Apabila perekonomian negeri dengan kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia itu merosot, maka dipastikan berpengaruh terhadap Indonesia sebagai mitra dagang utama China.

Berdasarkan data BPS, nilai perdagangan China-Indonesia tercatat USD66,2 miliar pada tahun lalu. Nilai perdagangan tersebut meningkat sekitar 94% dibandingkan pada tahun sebelumnya. Sebelumnya Pemerintah China mengumumkan data ekspor dan impor masing-masing mengalami penurunan 3,1% dan 0,7% selama Juni 2013 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Hal itu melenceng dari prediksi sejumlah analis ekonomi di Negeri Panda yang memperkirakan kegiatan ekspor dan impor akan lebih baik dari pada bulan Mei sebelumnya. Anjloknya kegiatan ekspor China diprediksi masih berlangsung pada kuartal ketiga tahun ini. Dengan demikian, tantangan pemerintah mengendalikan pertumbuhan ekonomi agar sesuai dengan target yang dipatok dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) semakinberat.

Angka defisit NP yang semakin sulit dikendalikan karena faktor eksternal seperti perlambatan perekonomian China, diperparah oleh kondisi internal dengan laju angka inflasi yang makin tinggi, misalnya inflasi sekitar 3,29% pada Juli lalu. Kita berharap, pada Agustus dan September angka inflasi ini kembali ke pola normal, setelah melewati bulan Ramadan yang kerap menyumbang kenaikan inflasi dan meredanya dampak kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi.
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7955 seconds (0.1#10.140)